Islam itu Indah.. Islam itu cinta..
Bait-bait penggugah jiwa itu terdapat dalam cerpen Ketika Mas Gagah Pergi karangan Helvy Tiana Rossa. Ditulis dengan memadukan estetika, kesederhanaan, dan kecintaan pada Islam. Lalu, benarkah, Islam itu indah?? Sebuah pertanyaan yang menuntut jawaban. Argumentasi yang mengharap pembuktian. Dan seperti inilah, perjuangan tanpa henti yan akan dirasakan oleh tiap-tiap orang yang membenamkan hidupnya di jalan dakwah. Perjuangan untuk membumikan cinta yang termuat dalam ajaran Islam.
***
Seperti bagian dari peradaban, Universitas Negeri Jakarta, dengan luas wilayah yang jauh lebih sempit dari Universitas Indonesia, mencoba meluapkan pengaruh dalam tatanan kehidupan di Indonesia. Sebagai pabrik sarjana pendidikan, UNJ menjadi bagian dari peradaban yang lambat laun berakumulasi menjadi sebuah kekuatan besar. Melahirkan guru-guru, yang berjuang membina intelektualitas akal dan moral generasi bangsa, UNJ dan beberapa institusi penggerak pendidikan, memiliki andil besar terhadap perkembangan Indonesia.
Di dalam universitas itu, ada sebuah wilayah yang paling luas, dan memiliki karakter unik, sekaligus ekspresif. Orang-orang menyebutnya fakultas Bahasa dan Seni. Tempat di mana pegiat seni dan ahli bahasa berkumpul dengan jarak yang membentang di pusat kampus UNJ. Fakultas Bahasa dan Seni adalah fakultas yang tak pernah mati dari senar gitar yang bergetar, gerak-gerik tubuh yang estetis, lukisan mural, dan tujuh ragam bahasa yang harmonis, menjadikan fakultas ini bukan sekadar gabungan program studi, melainkan miniatur peradaban, dan seni, adalah ujung tombak dari peradaban tersebut.
Berada dalam situasi yang multikultural, menjadikan fakultas ini rawan akan gesekan. Adopsi budaya, liberalisme, kreativitas tanpa batas, kebebasan ekspresi, adalah warna warni yang menjerat fakultas ini pada satu dinamika benturan budaya dan ideologi yang akrab disebut perang pemikiran. Tatanan kehidupan di FBS adalah keragaman yang mendatangkan tantangan bagi siapapun yang nekat menjebloskan dirinya dalam lingkaran dakwah.
Sebetulnya, dua disiplin ilmu yang bertemu dalam satu fakultas, tampaknya menjadikan FBS semakin rumit untuk dipahami karakternya. Sebab, interdisiplin ilmu bahasa dan seni memiliki karakter yang jauh berbeda, dan tentunya, karakter mahasiswa yang juga berbeda. Sehingga, pemetaan dakwah hendaknya dibuat dengan perspeksi yang terpisah. Agar, tidak salah sasaran dalam pergerakan dakwah berbasis karakteristik budaya.
Mengenali medan FBS, sejatinya dapat ditarik tiga karakteristik pokok. Pertama, FBS merupakan fakultas yang bernilai seni tinggi, dengan beragam bentuk karya seni yang berbeda. Kedua, FBS pada prinsipnya, bukan fakultas yang bisa berdamai pada aturan agama langit yang dianggap membatasi kebebasan ekspresi,_menuangkan gagasan seni. Ketiga, FBS memiliki karakter kuat sebagai fakultas yang mengadopsi nilai-nilai budaya peradaban lain, sehingga, berada di fakultas ini, seperti menginjakkan kaki di tiga per empat dunia.
Jiwa seni, adalah modal penting bagi lokomotor dakwah di FBS. Jiwa seni menjadi kendaraan yang dapat mengantarkan da’i untuk menerobos pergaulan yang multikultural. Komunitas sosial dengan beragam ideologi, dan pemahaman tentang akidah. Latar belakang seni inilah yang kemudian menjadi perhatian khusus bagi pergerakan dakwah FSI-KU. FSI-KU sebagai lembaga yang mengakomodasi gerakan dakwah, berusaha menyesuaikan diri dengan karakter FBS. Dengan suguhan Islamic art performance di acara puncak Salim EXPO-KU, yang mengundang perwakilan jurusan untuk mengisi acara. Selain itu, perkembangan musik nasyid, dan pertunjukan ekspresif (drama, musikalisasi, dan pembacaan puisi) ikut serta mewarnai kegiatan dakwah di FBS.
Filtrasi Islam terhadap ekspresi seni di FBS, tampaknya menjadi pembatas antara kebebasan ekspresi dan hukum Allah. Hal inilah yang menumbuhkan benih-benih kebencian di hati sebagian orang, yang sangat anti terhadap aturan agama langit di setiap sendi kehidupan. Bagi mereka, seni adalah barang estetis yang takkan bisa hidup, jika hukum Allah berada di sebelahnya. Maka, hukum itu harus dijauhkan sejauh-jauhnya, sampai tak terdengar lagi lafaz adzan mengisi dimensi seni. Benturan inilah yang mesti disikapi para punggawa dakwah di FBS. Tentunya dengan pendekatan yang perlahan. Penanaman nilai-nilai pergaulan yang diawali dengan dakwah lewat akhlak, bukan dengan lisan yang tajam, apalagi tangan yang tak bersahabat. Suatu ketika, dakwah FBS mendapat ujian kedewasaan dan kesabaran, melalui coretan-coretan bernafas kebencian pada lukisan mural yang mensyiarkan agenda SHOW FBS. Maka, kemarahan itu mesti dikubur dalam-dalam, diganti oleh indahnya kesabaran dan kebeningan akhlak. Sebab, bukan pada musuh-musuh Islam, da’i harus meletakkan kebenciannya, melainkan pada dirinya sendiri. Segala akivitas kemunduran dakwah, acapkali berawal dari kemaksiatan yang dilakukan oleh da’i.
Satu hal lagi yang perlu diperhatikan dalam berdakwah di FBS, adalah adopsi budaya, yang melahirkan keragaman, dan keenganan untuk menunjukkan identitas diri sebagai bangsa Indonesia. Perang pemikiran telah lama membangun kejayaannya di fakultas ini. FBS memang menjadi santapan menggiurkan bagi proyek penghancuran budaya dan akidah. Berawal dari memanfaatkan ketertarikan mahasiswa dalam mempelajari budaya luar, maka, filtrasi yang gagal, telah melahirkan perubahan paradigma berpikir. Ujung dari perubahan paradigma berpikir tersebut adalah menjauhi ajaran Islam. Benturan budaya dan peradaban ini telah menghasilkan civitas akademika yang ragu pada agamanya sendiri. Merasa kehidupan adalah lahan kesenangan, dan sejenak lupa akan keabadiaan akhirat. Setiap hal yang berhubungan dengan Islam, seolah-olah ingin disingkirkan, agar lenyaplah rasa bersalah pada tiap-tiap kesalahan yang melampaui batas. Benturan budaya inilah yang mesti dihadapi setiap punggawa dakwah di FBS, yang membuat mereka seperti bernafas dalam lumpur.
Tiga karakter tersebut mesti diperhatikan untuk menyusun strategi perang yang ideal. Sebab, betapapun rumitnya keadaan di FBS, fakultas ini memiliki rekam jejak yang memukau. Banyak kisah hijrah yang terekam di FBS. Seolah petunjuk Allah telah ada di setiap tikungan di fakultas ini. Bertabur hikmah di balik gemerlapnya kehidupan sekuler. Meski begitu, pergerakan dakwah mesti terus berjalan, demi menjaga roda perubahan terus berputar ke arah kemenangan. Jangan sampai berbalik arah menuju kematian dakwah.
Kematian dakwah di FBS dapat ditandai dengan menurunnya kapasitas seni para punggawa dakwah, penyisipan unsur keindahan Islam yang gagal menyelinap masuk dalam dimensi seni, serta cengkeraman perang pemikiran yang tidak bisa diimbangi. Lebih dari itu, kemerosotan akhlak dan ruhiyat para punggawa dakwah, tentunya menjadi alasan utama. Maka, kekuatan besar mesti dipersiapkan. Sebab berdakwah di FBS bukanlah pekerjaan mudah. Banyak hal yang harus dibenahi. Banyak ancaman yang harus dihadapi, dan semua itu dilakukan dengan jumlah pasukan dakwah yang tidak banyak. Sebab jalan dakwah memang pilihan yang rumit.
Berdakwah di FBS seperti menabur benih kebaikan di hamparan padang gurun yang buas. Maka bersiaplah dengan letih yang mengepung dari beragam arah, dan hirup aroma tandusnya. Berdakwah di FBS seperti menopang bumi Eropa, maka bersiaplah dengan tubuk yang remuk, dan tulang belulang yang retak. Berdakwah di FBS seperti menggenggam bara api, maka bersiaplah dengan panas yang membakar. Berdakwah di FBS adalah suatu kepastian, sebab tak ada tempat yang tak ada Allah di dalamnya, dan cahaya hidayah telah lama bersinar di langit FBS. Maka jadilah mutiara-mutiara surgawi yang bersinar di langit FBS.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar