Mengapa saya memilih LDF (Lembaga Dakwah Fakultas)???
jawaban mutlaknya; karena Allah...
tapi akan saya paparkan sedikit, perjalanan menemukan jawaban itu...
Awalnya.. masuk LDF itu sesuatu yang asing, karena memang pada dasarnya, Islam hadir sebagai sesuatu yang asing di tengah kehidupan jahiliah. Masuk organisasi dakwah sebenarnya bukan sesuatu yang spontanitas. Sempat terpikir ketika SMK, sebelum akhirnya saya memilih ekskul jurnalistik, dan melepas keinginan masuk rohis.
Seperti kebanyakan naluri maba; menyeleksi daftar ormawa (atau umumnya disebut UKM, istilah anak SMA-nya ekskul) yang ingin diselancari. Kala itu, saya tertarik untuk ikut BEM, LKM, KOPMA, dan FSI-KU. Setelah fix jadi anak BEM (departemen HUMAS), seorang teman berucap; "kalau BEM itu... lebih ke duniawi. Dan FSI-KU untuk akhiratnya. Biar seimbang."
Saat itu, ada banner besar di Mesjid tercinta UNJ: Mesjid Nurul Irfan, yang isinya Open Recruitment FSI-KU. Saya baca sejenak setiap selesai wudhu. Dan tertancap sebuah nama: MCNR (Media Center N' Relationship). Kala itu, masih berpikir: mungkin gak ya?? jadi anak LDF? Sikap masih amburadul... ilmu agama masih cetek.. dan haahh.. masih banyak masih-masih yang lain...
Beberapa bulan sebelumnya, seorang teman meminjamkan buku karya Helvy Tiana Rosa yang judulnya; Ketika Mas Gagah Pergi. Dia bilang; "buku ini pas banget dibaca sama orang-orang kayak Heri." Alhasil, saya jadi penasaran. Dan... setelah baca sampai habis, saya merasa masih jauh sekali dengan karakteristik Mas Gagah yang dicitrakan sebagai Ikhwan dalam cerita itu. Tapi ajaib, saya ingin meniru tokoh tersebut. Dan mulai memasukkan nama FSI-KU ke dalam daftar ormawa yang ingin diikuti.
Setelah lama kuliah di UNJ, saya mulai melek tentang dunia kampus yang keras. Pertarungan ideologi menyelinap di tengah-tengah perkuliahan dan diskusi. Salah gaul sedikit, bisa terjerumus ke arah yang menjauhkan diri kita dari nilai-nilai keIslaman. Maka, masuk FSI-KU menjadi harga mati bagi saya untuk mereformasi iman. Saya nggak betah dengan hidup yang gini-gini ajah. Jadi umat Islam yang hanya menjalankan ritual rutin keagamaan, seperti shalat, puasa, zakat. Tahajudnya masih di musim-musim pengharapan (saat UN, SBMPTN, dan ajang lomba), jarang mengkaji Al-Qur'an, dan cuek sama perkembangan Islam.
Dan entah... sudut hati bagian mana yang menggerakkan saya untuk mengetik SMS: Daftar FSI-KU_MCNR dan blablabla. Hmm... hidayahkah?? Yang jelas, prinsip saya; jika seseorang ikut BEM, ia punya kapasitas lebih untuk berurusan dengan birokrat dan punya pengalaman mengurus event. Anak LKM terasah jiwa kritis dan kelihaian menulisnya. Anak teater jago akting dan lebih PD berekspresi di depan umum. Anak UKO lebih tangkas di bidang olahraga yang ia geluti. Dan tentu... sobat muslim punya jawaban yang homogen, jika menjadi anak FSI-KU... maka... (Silogisme ini sudah konvensional untuk dimengerti).
Barangkali, jika dulu saya masih menuruti hawa nafsu berfikir dengan perspeksi negatif; "Ahh, gak usah masuk LDF. Kalau mau Islami, secara autodidak ajah berkembangnya." Saya tidak tahu... apakah hati ini sampai untuk menjerat cintanya Allah. Apakah hati ini sanggup menebas ganasnya hidup? Jika dulu saya tidak menancapkan tombak perjuangan mereformasi iman, mungkin saat ini masih jauh dari nilai-nilai Islam. Langkah kaki ini masih amat berat untuk shalat berjamaah di Mesjid. Masih sering menyisipkan emoticon titik dua bintang kepada lawan jenis dalam hubungan sosial media. Tidak keberatan berkhalwat. Pakai celana dandy yang ketat. Masih hobi setel musik Lady Gaga, Rihanna, Eminem. Menulis cerita cinta yang kurang bermanfaat. Makan sambil berdiri. Baca Al-Qur'an kalau lagi mood doang.. dan masih banyak sederet sikap jahiliah yang tertanam dalam akhlak.
Intinya, LDF menjadi wadah untuk berdakwah. Dakwah untuk diri sendiri, keluarga, teman-teman, dan orang-orang terdekat lainnya. Buat teman-teman yang masih terombang-ambing (seperti sebongkah sekoci di lautan lepas... halaah) dalam mencari cintanya Allah. Mencari makna tersembunyi dari kata I-S-L-A-M., tak pernah ada kata terlambat selagi nafas belum di penghabisan. Jaringlah teman-teman, yang ketika kamu bersamanya, kamu lebih mengingat Allah dan menghindari kemaksiatan. dan ingatlah kawan... hidup hanya sekali, matipun sekali. Sebenarnya tak ada pilihan dalam hidup. Pilihannya hanya satu; menjadi orang baik dan shalih.
Kejarlah hidayahnya Allah... jemput dia... dan dapati dirimu dalam keadaan... tengah menangis di dua pertiga malam, untuk menyesali masa-masa jahiliah yang pernah mengisi hidupmu. Seorang teman di awal perjumpaannya mengatakan:
"setiap orang punya sejarah kelamnya masing-masing"
Kau hanya harus memilih... masa kelam itu berakhir sebagai sejarah, atau berlanjut sebagai episode kelam yang di ujungnya telah menanti; sebuah penyesalan tak bertepi.
-Semoga tulisan dari manusia yang fakir ini bisa bermanfaat....-
Jakarta, 11 Januari 2015
*berikut, link untuk membaca cerpen yang bagi saya... sangat inspiratif. Ketika Mas Gagah Pergi
http://dunia-cerpen.blogspot.com/2007/09/oleh-helvi-tyana-rosa-mas-gagah-berubah.html
jawaban mutlaknya; karena Allah...
tapi akan saya paparkan sedikit, perjalanan menemukan jawaban itu...
Awalnya.. masuk LDF itu sesuatu yang asing, karena memang pada dasarnya, Islam hadir sebagai sesuatu yang asing di tengah kehidupan jahiliah. Masuk organisasi dakwah sebenarnya bukan sesuatu yang spontanitas. Sempat terpikir ketika SMK, sebelum akhirnya saya memilih ekskul jurnalistik, dan melepas keinginan masuk rohis.
Seperti kebanyakan naluri maba; menyeleksi daftar ormawa (atau umumnya disebut UKM, istilah anak SMA-nya ekskul) yang ingin diselancari. Kala itu, saya tertarik untuk ikut BEM, LKM, KOPMA, dan FSI-KU. Setelah fix jadi anak BEM (departemen HUMAS), seorang teman berucap; "kalau BEM itu... lebih ke duniawi. Dan FSI-KU untuk akhiratnya. Biar seimbang."
Saat itu, ada banner besar di Mesjid tercinta UNJ: Mesjid Nurul Irfan, yang isinya Open Recruitment FSI-KU. Saya baca sejenak setiap selesai wudhu. Dan tertancap sebuah nama: MCNR (Media Center N' Relationship). Kala itu, masih berpikir: mungkin gak ya?? jadi anak LDF? Sikap masih amburadul... ilmu agama masih cetek.. dan haahh.. masih banyak masih-masih yang lain...
Beberapa bulan sebelumnya, seorang teman meminjamkan buku karya Helvy Tiana Rosa yang judulnya; Ketika Mas Gagah Pergi. Dia bilang; "buku ini pas banget dibaca sama orang-orang kayak Heri." Alhasil, saya jadi penasaran. Dan... setelah baca sampai habis, saya merasa masih jauh sekali dengan karakteristik Mas Gagah yang dicitrakan sebagai Ikhwan dalam cerita itu. Tapi ajaib, saya ingin meniru tokoh tersebut. Dan mulai memasukkan nama FSI-KU ke dalam daftar ormawa yang ingin diikuti.
Setelah lama kuliah di UNJ, saya mulai melek tentang dunia kampus yang keras. Pertarungan ideologi menyelinap di tengah-tengah perkuliahan dan diskusi. Salah gaul sedikit, bisa terjerumus ke arah yang menjauhkan diri kita dari nilai-nilai keIslaman. Maka, masuk FSI-KU menjadi harga mati bagi saya untuk mereformasi iman. Saya nggak betah dengan hidup yang gini-gini ajah. Jadi umat Islam yang hanya menjalankan ritual rutin keagamaan, seperti shalat, puasa, zakat. Tahajudnya masih di musim-musim pengharapan (saat UN, SBMPTN, dan ajang lomba), jarang mengkaji Al-Qur'an, dan cuek sama perkembangan Islam.
Dan entah... sudut hati bagian mana yang menggerakkan saya untuk mengetik SMS: Daftar FSI-KU_MCNR dan blablabla. Hmm... hidayahkah?? Yang jelas, prinsip saya; jika seseorang ikut BEM, ia punya kapasitas lebih untuk berurusan dengan birokrat dan punya pengalaman mengurus event. Anak LKM terasah jiwa kritis dan kelihaian menulisnya. Anak teater jago akting dan lebih PD berekspresi di depan umum. Anak UKO lebih tangkas di bidang olahraga yang ia geluti. Dan tentu... sobat muslim punya jawaban yang homogen, jika menjadi anak FSI-KU... maka... (Silogisme ini sudah konvensional untuk dimengerti).
Barangkali, jika dulu saya masih menuruti hawa nafsu berfikir dengan perspeksi negatif; "Ahh, gak usah masuk LDF. Kalau mau Islami, secara autodidak ajah berkembangnya." Saya tidak tahu... apakah hati ini sampai untuk menjerat cintanya Allah. Apakah hati ini sanggup menebas ganasnya hidup? Jika dulu saya tidak menancapkan tombak perjuangan mereformasi iman, mungkin saat ini masih jauh dari nilai-nilai Islam. Langkah kaki ini masih amat berat untuk shalat berjamaah di Mesjid. Masih sering menyisipkan emoticon titik dua bintang kepada lawan jenis dalam hubungan sosial media. Tidak keberatan berkhalwat. Pakai celana dandy yang ketat. Masih hobi setel musik Lady Gaga, Rihanna, Eminem. Menulis cerita cinta yang kurang bermanfaat. Makan sambil berdiri. Baca Al-Qur'an kalau lagi mood doang.. dan masih banyak sederet sikap jahiliah yang tertanam dalam akhlak.
Intinya, LDF menjadi wadah untuk berdakwah. Dakwah untuk diri sendiri, keluarga, teman-teman, dan orang-orang terdekat lainnya. Buat teman-teman yang masih terombang-ambing (seperti sebongkah sekoci di lautan lepas... halaah) dalam mencari cintanya Allah. Mencari makna tersembunyi dari kata I-S-L-A-M., tak pernah ada kata terlambat selagi nafas belum di penghabisan. Jaringlah teman-teman, yang ketika kamu bersamanya, kamu lebih mengingat Allah dan menghindari kemaksiatan. dan ingatlah kawan... hidup hanya sekali, matipun sekali. Sebenarnya tak ada pilihan dalam hidup. Pilihannya hanya satu; menjadi orang baik dan shalih.
Kejarlah hidayahnya Allah... jemput dia... dan dapati dirimu dalam keadaan... tengah menangis di dua pertiga malam, untuk menyesali masa-masa jahiliah yang pernah mengisi hidupmu. Seorang teman di awal perjumpaannya mengatakan:
"setiap orang punya sejarah kelamnya masing-masing"
Kau hanya harus memilih... masa kelam itu berakhir sebagai sejarah, atau berlanjut sebagai episode kelam yang di ujungnya telah menanti; sebuah penyesalan tak bertepi.
-Semoga tulisan dari manusia yang fakir ini bisa bermanfaat....-
Jakarta, 11 Januari 2015
*berikut, link untuk membaca cerpen yang bagi saya... sangat inspiratif. Ketika Mas Gagah Pergi
http://dunia-cerpen.blogspot.com/2007/09/oleh-helvi-tyana-rosa-mas-gagah-berubah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar