mimpi-mimpiku

Selasa, 21 Juni 2016

PROLOG NOVEL METAFORA SUNYI


Senja di Perbatasan Lhoknga




Lhoknga, 2017
Aku berlari. Bersama sepotong bayangan yang hitam pekat. Menelusuri riak sepi dalam lembayung senja. Kedua kakiku menghentak gundukan pasir putih di pantai Lampuuk. Melebur sunyi. Lewat jerit dan isak yang bersahutan. Di dadaku ada luka. Dan di nadiku ada dusta. Segenap kata takkan bisa meretak perih yang menikam sukmaku. Hanya kenangan berseliweran. Muncul bagai siluet yang mengiris permukaan tubuh. Menjadi bayang-bayang hitam yang melapisi raga. Lalu terdampar bagai daun kering dihempas gerombolan ombak.
Aku tersungkur. Cairan hangat melapisi mataku yang kecoklatan. Tetes demi tetes air mata bening itu berlompatan. Terhisap mengering, menembus cela-cela pori yang berlekatan. Kugenggam jilbab putih yang menggantung sampai ke dada. Kuremas dada yang sesak menimbun perih. Hatiku berteriak. Namun luluh oleh kesucian. Adakah luka pantas dicaci maki??
Aku masih tak mengerti. Mengapa aku berada di sini? Mengasingkan diri untuk menikmati kehancuran. Sementara di luar sana ada banyak orang yang mencintaiku. Aku tak mengerti, mengapa aku memilih untuk menumpahkan air mata di tempat ini, di atas gundukan pasir? Sementara ada banyak pundak yang dengan sukarela menjadi tumpuan kepedihanku. Dan aku tak mengerti,_mengapa aku mesti menangis?
Tiba-tiba saja seorang pria menyodorkan lembaran-lembaran kusam. Berisi catatan hidup, lengkap dengan dinamika tanggal yang berbeda. Aku tak bisa menutupi kumparan air mata. Sesekali kutatap langit gelap yang mendesakkan mendungnya. Di bawah terik senja yang memerah. Dan tiba-tiba saja lautan di hadapanku bagai riak darah yang menggelegak. Membawa harumnya nafas kematian. Menyilaukan lentera di balik punggung awan yang bergerak mengintai mentari. Dalam genang lautan, meliuk, mengantarkan sukma para pejuang. Dengan getar cinta pada kematian yang damai. Ditutup dengan selembar kafiyeh. Hingga senyum abadi mereka hanya tertancap dalam ingatan. Lalu pergi bersama hempasan cahaya yang terbenam di balik cakrawala.
Kicau murai bagai nyanyian kerinduan. Lirihnya menggantung di liang telinga. Mengalirkan gelombang longitudinal. Sunyi seketika. Begitu jemari yang halus membelai lembaran-lembaran cerita. Membaca sekilas. Penuh kebingungan. Tapi aku hafal tulisan tangan itu. Begitu familiar di mataku. Hanya kegelisahan kembali mengurai batin. Ingin rasanya kuhempas lembaran-lembaran itu. Melemparnya ke tengah lautan. Membiarkan lembaran itu dicabik-cabik gerombolan ombak pesisir. Atau meremasnya, membentuk bola-bola. Lalu menimpuki lautan dengan bola-bola kertas itu. Melempar sekuat tenaga, agar bersamanya, ikut terbuang rasa penat yang sejak tadi menikam batinku. Tapi aku tahu, aku terlalu lemah untuk melakukannya.
Lembaran itu berantakan, tapi sistematis tumpukannya. Di dalamnya ada sebuah foto medium close up. Foto itu tampak hidup dan berteriak ingin bercerita, sebelum senja menutup kelamnya. Dan mendung semakin menggelap. Mengantarkan burung-burung pulang ke sarangnya. Mengantarkan cerita pada satu titik akhir. Hingga keabadian hanyalah impian kosong. Semua akan berakhir. Semua akan menuju pada titik-titik yang baru. Pada cerita yang baru.
Kabar itu melintas dengan cepat. Hadir bagai kilatan petir yang menyambar jantung harapan. Segenap jiwaku terasa mati. Dipecut nasib. Impian itu hangus terbakar. Apa yang selama ini kutakuti, ia hadir. Bagai mimpi buruk. Ia meletup-letup. Kemudian meledak. Mendiaspora.
Ingin sekali rasanya aku berteriak. Mengalahkan deru ombak yang membentur karang. Meneriaki keangkuhan diri, dan mencaci maki kebodohan ini. Aku ingin tenggelam, menghisap kedalaman lautan. Hingga air mata ini terhimpun bersama air laut. Tidak lagi sebagai titik-titik jenuh yang menyisakan jejak di pipi. Dan kutegaskan, bahwa aku baik-baik saja.
Seandainya aku adalah zat cair bervolume tetap. Aku ingin terik mentari ini lebih panas memanggang tubuhku. Menguapkan diri. Membumbungku terbang ke angkasa. Meski tubuh ini tak lagi utuh. Paling tidak aku tak lagi menapaki bumi. Begitu lebih baik.
Kutatap langit yang kuning keemasan. Mencari sketsa wajahmu dalam serat mega yang bergerak dibelai angin senja. Tanpa sadar, aku terlihat bodoh dengan semua ketidakmungkinan ini. Aku seperti berharap ada pelangi tanpa cahaya yang membias.
Di jemariku masih mengerat lembaran-lembaran itu. Perlahan aku beranjak. Berdiri. Pria di sampingku menjauh. Meninggalkanku dalam ritme gerak yang teratur. Telapak kakinya membentuk jejak cekungan di pasir yang halus. Aku ingin berteriak jangan pergi! Tapi bibirku kelu. Ia berlalu. Dan aku mulai sendirian di tempat ini.
Aku duduk di bongkahan batang fillicium yang menua. Terserak kaku di atas pasir. Aku mengeja deretan huruf yang menghiasi cover lembaran tersebut. Dari bibirku keluar suara; metafora sunyi: sebuah catatan yang termakhtub di dalam hati.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar