Senja di Perbatasan Lhoknga
Lhoknga, 2017
Aku berlari. Bersama sepotong
bayangan yang hitam pekat. Menelusuri riak sepi dalam lembayung senja. Kedua
kakiku menghentak gundukan pasir putih di pantai Lampuuk. Melebur sunyi. Lewat
jerit dan isak yang bersahutan. Di dadaku ada luka. Dan di nadiku ada dusta.
Segenap kata takkan bisa meretak perih yang menikam sukmaku. Hanya kenangan
berseliweran. Muncul bagai siluet yang mengiris permukaan tubuh. Menjadi
bayang-bayang hitam yang melapisi raga. Lalu terdampar bagai daun kering
dihempas gerombolan ombak.
Aku tersungkur. Cairan hangat
melapisi mataku yang kecoklatan. Tetes demi tetes air mata bening itu
berlompatan. Terhisap mengering, menembus cela-cela pori yang berlekatan.
Kugenggam jilbab putih yang menggantung sampai ke dada. Kuremas dada yang sesak
menimbun perih. Hatiku berteriak. Namun luluh oleh kesucian. Adakah luka
pantas dicaci maki??
Aku masih tak mengerti.
Mengapa aku berada di sini? Mengasingkan diri untuk menikmati kehancuran.
Sementara di luar sana ada banyak orang yang mencintaiku. Aku tak mengerti,
mengapa aku memilih untuk menumpahkan air mata di tempat ini, di atas gundukan
pasir? Sementara ada banyak pundak yang dengan sukarela menjadi tumpuan
kepedihanku. Dan aku tak mengerti,_mengapa aku mesti menangis?
Tiba-tiba saja seorang pria menyodorkan
lembaran-lembaran kusam. Berisi catatan hidup, lengkap dengan dinamika tanggal
yang berbeda. Aku tak bisa menutupi kumparan air mata. Sesekali kutatap langit
gelap yang mendesakkan mendungnya. Di bawah terik senja yang memerah. Dan
tiba-tiba saja lautan di hadapanku bagai riak darah yang menggelegak. Membawa
harumnya nafas kematian. Menyilaukan lentera di balik punggung awan yang
bergerak mengintai mentari. Dalam genang lautan, meliuk, mengantarkan sukma
para pejuang. Dengan getar cinta pada kematian yang damai. Ditutup dengan
selembar kafiyeh. Hingga senyum abadi mereka hanya tertancap dalam
ingatan. Lalu pergi bersama hempasan cahaya yang terbenam di balik cakrawala.
Kicau murai bagai nyanyian
kerinduan. Lirihnya menggantung di liang telinga. Mengalirkan gelombang
longitudinal. Sunyi seketika. Begitu jemari yang halus membelai
lembaran-lembaran cerita. Membaca sekilas. Penuh kebingungan. Tapi aku hafal
tulisan tangan itu. Begitu familiar di mataku. Hanya kegelisahan kembali
mengurai batin. Ingin rasanya kuhempas lembaran-lembaran itu. Melemparnya ke
tengah lautan. Membiarkan lembaran itu dicabik-cabik gerombolan ombak pesisir.
Atau meremasnya, membentuk bola-bola. Lalu menimpuki lautan dengan bola-bola
kertas itu. Melempar sekuat tenaga, agar bersamanya, ikut terbuang rasa penat
yang sejak tadi menikam batinku. Tapi aku tahu, aku terlalu lemah untuk
melakukannya.
Lembaran itu berantakan, tapi
sistematis tumpukannya. Di dalamnya ada sebuah foto medium close up.
Foto itu tampak hidup dan berteriak ingin bercerita, sebelum senja menutup
kelamnya. Dan mendung semakin menggelap. Mengantarkan burung-burung pulang ke
sarangnya. Mengantarkan cerita pada satu titik akhir. Hingga keabadian hanyalah
impian kosong. Semua akan berakhir. Semua akan menuju pada titik-titik yang
baru. Pada cerita yang baru.
Kabar itu melintas dengan
cepat. Hadir bagai kilatan petir yang menyambar jantung harapan. Segenap jiwaku
terasa mati. Dipecut nasib. Impian itu hangus terbakar. Apa yang selama ini
kutakuti, ia hadir. Bagai mimpi buruk. Ia meletup-letup. Kemudian meledak.
Mendiaspora.
Ingin sekali rasanya aku
berteriak. Mengalahkan deru ombak yang membentur karang. Meneriaki keangkuhan
diri, dan mencaci maki kebodohan ini. Aku ingin tenggelam, menghisap kedalaman
lautan. Hingga air mata ini terhimpun bersama air laut. Tidak lagi sebagai
titik-titik jenuh yang menyisakan jejak di pipi. Dan kutegaskan, bahwa aku
baik-baik saja.
Seandainya aku adalah zat cair
bervolume tetap. Aku ingin terik mentari ini lebih panas memanggang tubuhku.
Menguapkan diri. Membumbungku terbang ke angkasa. Meski tubuh ini tak lagi
utuh. Paling tidak aku tak lagi menapaki bumi. Begitu lebih baik.
Kutatap langit yang kuning
keemasan. Mencari sketsa wajahmu dalam serat mega yang bergerak dibelai angin
senja. Tanpa sadar, aku terlihat bodoh dengan semua ketidakmungkinan ini. Aku
seperti berharap ada pelangi tanpa cahaya yang membias.
Di jemariku masih mengerat
lembaran-lembaran itu. Perlahan aku beranjak. Berdiri. Pria di sampingku menjauh. Meninggalkanku dalam
ritme gerak yang teratur. Telapak kakinya membentuk jejak cekungan di pasir
yang halus. Aku ingin berteriak jangan pergi! Tapi bibirku kelu. Ia
berlalu. Dan aku mulai sendirian di tempat ini.
Aku duduk di bongkahan batang fillicium
yang menua. Terserak kaku di atas pasir. Aku mengeja deretan huruf yang
menghiasi cover lembaran tersebut. Dari bibirku keluar suara; metafora
sunyi: sebuah catatan yang termakhtub di dalam hati.
***

Tidak ada komentar:
Posting Komentar