mimpi-mimpiku

Senin, 12 Januari 2015

Detak Jantung Sang Pembunuh


Jam dua malam Leha masih terjaga. Ia menyeret sebongkah mayat yang berlumuran darah. Mata mayat itu membelalak, seperti menagih nyawa. Di lehernya ada bekas sabitan celurit. Dan dadanya koyak dihantam tujuh belas tusukan yang mencipratkan darah. Leha duduk sebentar. Ia kelelahan. Dalam benaknya melintas pertanyaan; “mau kuapakan mayat ini?”
Leha berpikir keras. Ia mengamati darah segar yang menetes dari lingkar leher Sapri. Seketika ia teringat saat sepuluh menit yang lalu. Saat ia membunuh lelaki itu. Dengan tujuh belas tusukan di pusaran jantung, dan sabitan di leher. Beruntung lelaki itu tengah tertidur lelap, sehingga tak ada kesempatan untuk menyerang balik. Leha menang. Ia berhasil menebus rasa sakit yang ditimbulkan oleh mayat itu,_yang tidak lain adalah suaminya sendiri.
Mula-mula Leha menyetel radio. Tidak penting apa salurannya, dan siapa penyiarnya,_yang penting bisa menelan kesunyian malam dan kengerian bersama mayat. Sekali lagi ia bertanya; “mau kuapakan mayat ini.” Tetes keringat meluncur lagi. Pikiran Leha kalap direjam ketakutan.
Leha mengambil pisau daging. Lalu memotong jasad suaminya menjadi delapan bagian. Takk!! Mula-mula kepala, agar ia bisa membungkus wajah ngeri yang ditampilkan jasad itu. Kemudian kedua tangannya. Takut tangan-tangan itu tiba-tiba saja menggerayang dan membalas membunuh Leha. Darah memburai lagi. Mengalir di lantai kamar mandi menuju lubang saluran air. Lantas Leha memotong kedua kaki mayat tepat dua senti di bawah lututnya. Terakhir, ia memotong lingkar perut yang penuh lemak. Leha terus memotong-motong jasad di hadapannya. Menghentakkan pisau dengan tulang kaki yang keras. Membelah daging dan organ tubuh di perut. Darah bercipratan di wajah Leha. Tangannya bermandikan cairan merah. Isi perutnya mulai melonjak, begitu organ tubuh Sapri menyembul di balik potongan tubuh.
Potongan-potongan itu dimasukkan ke dalam karung. Bersama helai demi helai kain dan cairan pembersih lantai ditumpahkan di dalamnya. Leha bergidik setiap kali tangannya mengangkat potongan mayat yang kaku, dan menaruhnya dalam karung. Kulit-kulit yang dingin seakan menempel dalam relung takutnya. Juga sisa-sisa serpihan daging yang berceceran di lantai.
Leha kembali bingung. Sementara keringat dingin terus menetes di sekujur wajahnya. Tangannya gemetar. Debar-debur jantungnya kian menghentak keras. “Mau dibuang kemana mayat ini?” pikir Leha. Ia melihat jarum jam. Sudah hampir jam tiga.
Leha ke luar lewat pintu belakang. Ia celingukan. Memandang sekitar. Gelap. Di hadapannya berdiri pepohonan pisang yang memagari halaman belakang rumah. Halaman itu sempit, gelap dan dipenuhi belukar. Di sekeliling sepi. Hanya ada suara jangkrik dan lolongan anjing yang berasal dari bukit. Tak kan ada siapapun yang berkeliaran di sini. Aman.
Leha menggali gundukan tanah yang lembab. Membentuk liang lahat. Sesekali ia menatap di sekitar, dan melirik jam lewat celah pintu. Sepuluh menit berselang, belum juga terlihat pas. Belum dalam. Ia terus menggali, sampai nafasnya habis, ngos-ngos-an. Jantungnya masih memburu. Hidungnya gelagapan mencium bau amis darah yang bersumber dari saluran air. Tapi Leha terus menggali. Menggali sampai menemukan kedalaman.
Menjelang subuh, semuanya telah beres. Bercak-bercak darah sudah dibersihkan. Bau amis sudah ditelan bau parfum dan karbol. Jasad itu sudah dikubur bersama barang-barang bukti yang berlapiskan darah. Tapi Leha masih cemas. Jantungnya masih berlompatan. Ia mencoba untuk tidur. Mendekap guling dan membenamkan wajahnya dalam ketakutan.
***
Leha terbangun saat mentari berdiri tepat di ubun-ubun. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat. Jantungnya kembali berdebar. Ia mengecek lagi seluruh lapisan lantai. Takut masih ada darah yang tertinggal. Ia juga mengecek halaman belakang. Pundaknya bergidik.
Seluruh gorden jendela ditarik oleh Leha. Ia tak membiarkan hembusan angin masuk ke rumahnya,_dan mengabarkan pada khalayak soal kasus pembunuhan yang ia lakukan. Leha kembali menarik selimut, dan menonton televisi. Tapi kemudian dimatikan. Karena jam segini televisi banyak menggelar siaran berita. Terutama berita kematian.
Leha tak jadi tiduran. Hari ini ia harus membayar tagihan sewa. Tapi tak ada uang. Mau tidak mau ia pergi menemui Sundari untuk pinjam uang. Di perjalanan menuju rumah Sundari, Leha mengamati wajah-wajah penduduk. Tatapan mereka seperti mengintai gerak-gerik Leha. Seperti ada belatung yang menggeliat di bola mata. Setiap kali mereka mendekat, Leha bergerak cemas menghindar. Takut ditangkap dan diadili. Ia terus bergerak. Seperti anak tikus yang dikepung dalam labirin. Di setiap ujungnya berkobar api dari neraka. Dan lahar panas meleleh dari setiap dinding yang ia temui. Bayangan Leha seperti roh Sapri yang mengikutinya. Menagih potongan-potongan tubuh dan minta dikembalikan nyawanya. Dan lagi, setiap wajah yang ia temui, seperti gumpalan belatung yang menari-nari dalam karung. Menghisap darah dan menggerogoti daging busuk. Leha tak jadi ke rumah Sundari. Bias pucat di wajahnya telah membentuk kecurigaan.
“Leha? Kau kenapa? Sakit? Wajahmu pucat sekali..” tutur lembut Mirah sambil menyentuh pipi Leha. Leha menggeleng. “Kau mau kemana? Biar kuantar..” Entah mengapa Leha merasa Mirah akan mengantarnya ke kantor polisi. Ia bergegas menjauh dari perempuan itu. Kembali ia menyaksikan belatung-belatung halus di bola mata Mirah.
Dua hari sudah Leha mengurung diri di dalam rumah. Hanya keluar untuk belanja dan menjemur pakaian. Ia sering mengecek kuburan Sapri. Takut kuburan itu menyembulkan bau busuk, dan diusik orang. Leha juga mulai jarang tidur di kamar, dan selalu ketakutan setiap kali melangkah masuk ke dalam toilet.
Kini Leha menjadi pemurung. Bayang-bayang wajah mengenaskan suaminya selalu menghiasi tidur Leha. Ia takut roh Sapri gentayangan dan menuntut balasan. Terutama di malam-malam dingin dan sepi. Malam kliwon, dan bulan menggenapkan terangnya. Lela selalu merasa dihantui bisikan-bisikan gaib. Seolah ada getaran halus yang mengetuk-ngetuk sukmanya. Memanggil nama Leha. Dan minta dikuburkan dengan semestinya.
Menjelang sore, ada seorang pria yang bertandang ke rumah Leha.
“Saprinya ada??” tanya Jafar. Karib Sapri yang tinggal di kampung sebelah.
“B..b..Bang Sapri,_udah tiga hari ini ke Purworejo. Ada proyek di sana,” jawab Leha seraya memalingkan ketakutannya.
“Kok dia nggak bilang?”
“Mungkin nggak sempet bilang kali bang.. Soalnya mendadak,” Jafar mengangguk-angguk. “Ada sesuatu yang penting?”
“ng.. nggak ada kok._kapan dia balik ke rumah?”
“Mungkin satu bulan lagi,” jawab Leha asal. Kini ia mulai menikmati kebohongannya.
“Ya sudah.. bang Jafar balik dulu ya Ha... jaga diri kau baik-baik. Kalau Sapri sudah pulang, suruh ia main ke rumah abang.”
“Iya bang.. nanti Leha sampaikan..”
Leha segera menutup pintu begitu Jafar pergi. Ia menarik nafas lega. Tapi beberapa detik kemudian, pintu diketuk kembali. Leha berpikir sejenak. Debar-debur di jantungnya kembali berulah. Ketukan pintu semakin keras dan mendesak. Leha membuka pintu. Sepasang matanya menangkap paras bu Lastri yang masam. Leha ingat; ia belum bayar sewa bulan ini.
“mm.. Bang Sapri._lagi ada proyek di Purworejo. Baru tiga hari ini. Jadi belum bisa kirim uang. Barangkali minggu depan.” Bu Lastri diam saja. Tatapan matanya kembali menusuk. Leha merasakan ada belatung-belatung kecil yang menggeliat di bola mata perempuan itu. Lengkap dengan jarum dan mata paku.
“mulai besok! datang ke rumah saya jam delapan. Jangan telat!” Bu Lastri langsung pergi. Leha menutup pintu cepat-cepat. Seperti biasa, jika uang sewa kontrakan telat dibayar, Leha menjadi buruh cuci dan setrika di rumah bu Lastri. Setidaknya, ia tidak perlu repot-repot lagi memikirkan makan siang.
***
Leha baru pulang dari rumah bu Lastri ketika seonggok mobil polisi bertengger di depan rumahnya. Ia gelagapan. Di halaman rumahnya berkerumun orang-orang dengan bias wajah muram. Sebagian menangis terisak. Sebagian menampilkan paras kebingungan. Ada garis polisi yang melintang di rumah  bu Tuminah. Dan beberapa polisi bermasker mondar-mandir sekitar pekarangan rumah tersebut. Leha semakin bingung. Paling tidak ia aman, karena semua ini tidak ada sangkut pautnya dengan kematian Sapri.
Dalam hati, sebetulnya Leha ingin cepat-cepat pergi. Ia takut dimintai keterangan sebagai saksi. Tapi ketika ia membalikkan tubuhnya, bu Sundari datang dan menarik lengan Leha. Pipi perempuan itu lembab oleh air mata.
“Leha..” lirih Sundari sembari memeluk sahabatnya. Leha semakin bingung.
“Ada apa??”
“b..bu.. bu Minah Leha..! BU MINAH..!”
“ADA APA dengan bu Minah?” tanya Leha sembari mencoba melepas pelukan Sundari. Sundari menahan isak.
 “Bu Minah BUNUH DIRI!!” Leha shock mendengar jawaban Sundari. Dadanya sesak. Ia tidak percaya dengan apa yang dikatakan Sundari. “Innalillahi..wa inna ilaihi roji’un..” ucapnya kemudian. “Ke sana yuk.. polisi dari tadi menunggumu untuk memberikan kesaksian.”
Dugg. Jantung Leha kembali berdetak kencang. Ia menelan ludah. Terbayang tatapan mata penyidik yang mengintai setiap perubahan wajah. Dan gerak serta ucapan-ucapan seseorang yang sedang menutupi kriminalitas akan mudah ditafsirkan. Derap langkah Leha semakin berat. Ia melihat seorang polisi bergerak mendekatinya.
“Anda bu Leha? Tetangga dekat bu Minah?” tanya seorang polisi. Leha mengangguk, dan menelan ludah.
“Boleh minta waktunya sebentar? Kami butuh kesaksian dari Anda.” Leha menggangguk lagi. Jemarinya dingin dan nafasnya tercekat.
Satu jam tiga puluh menit Leha memberi kesaksian. Selepas itu ia lansung pulang ke rumah. Mendekap di bilik kamar yang gelap. Senja semakin merangkak menuju malam. Sementara di luar masih ramai. Telah berkali-kali orang bertanya seputar keberadaan suami Leha. Perempuan itu selalu menjawab bahwa suaminya di Purworejo. Dan baru kembali sebulan kemudian.
Malamnya, seorang pemuda berkunjung ke rumah Leha. Namanya Bahri. Ia anak semata wayang Leha dan Sapri yang merantau ke Jakarta sejak dua tahun yang lalu. Bagi Leha, kehadiran Sapri bisa menebas rasa takut sekaligus kesepiannya. Tapi juga menambah kecemasan Leha soal pembunuhan beberapa hari yang lalu.
“Bapak ke mana bu??” tanya Bahri sambil menggantungkan jaketnya di paku tembok.
“Bapakmu lagi ada proyek,_di Purworejo. Baru selesai tiga atau empat minggu kemudian..” jawab Leha. Tampaknya ia mulai terbiasa dengan kebohongan ini. “Gak papa kan?” Leha mengamati paras kecewa Bahri. Pemuda itu lantas tersenyum hangat pada Leha. Meskipun ia sering berantem dengan bapaknya, tapi lelaki itu masih sangat peduli, dan menyimpan kasih sayang yang dalam.
“Bapak masih seperti dulu bu??” tanya Bahri kemudian. Leha berkaca-kaca sambil menghentikan gerak tangannya menjahit baju. “Masih suka pukulin ibu kalau kalah judi?_Dan nyuri duit simpanan buat mabok-mabokan. Terakhir.. masih suka main serong sama perempuan lain?”
“Cukup Bahri!” tukas Leha dingin. Ia meneruskan jahitannya. Suasana hening sesaat.
“Ibu nggak bisa terus-terusan diam begini dong bu.._Ibu jangan mau disakitin terus sama Bapak. Ibu harus lakuin sesuatu.”
“Cukup! Ibu lagi nggak mau bahas masalah ini!” Bahri diam sejenak. Lalu berujar lagi. Anak itu semakin membandel.
“Liat ajah. Bapak pergi sebulan. Uang yang dibawa pulang gak seberapa. Udah abis duluan buat main judi!” Leha tak merespon. Hanya hatinya terasa terbakar. Seketika ia menemukan kembali alasannya membunuh Sapri. “Padahal ibu tuh cantik. Tipe istri yang penurut. Tapi Bapak ...” Bahri tak meneruskan ucapannya. Ia menatap wajah kosong ibunya.
“Ibu.. nggak ada niatan buat cerai sama Bapak??”
BRAKKK!
Leha menggebrak meja dengan keras. Tatapannya tajam menusuk bola mata Bahri. Lelaki itu terdiam. Suasana semakin dingin. Lekas Bahri beranjak menuju kamar tidur.
***
Pagi-pagi sekali Leha berurusan dengan anjing liar di belakang rumahnya. Lidah anjing itu menjulur kehausan. Tubuhnya yang kurus berlindung dalam bulu-bulu gelap. Matanya mengintai, seperti burung kematian yang mengepakkan sayap di atas jenazah. Leha terus mengusirnya dengan tongkat kayu, krikil, pelepah pisang, dan apa saja yang ada di sekitar.
HUSSH.. HUSSSH
Anjing itu tak bergeming. Ia terus-terusan mengendus tanah datar di halaman belakang rumah Leha. Cakarnya menggaruk-garuk tanah. Leha semakin jengah melihat tingkah anjing itu. Ia semakin keras mengusir anjing itu, tapi binatang itu semakin agresif menyerang sergapannya, dan mengerang buas ke arah Leha. Nyali Leha menciut. Anjing itu semakin buas memecah tanah kuburan.
Lagi-lagi Leha gregetan melihat anjing itu. Ia semakin cemas. Tapi rasa takutnya semakin besar. Setiap kali melihat taring-taring dan cakar-cakar yang meruncing. Begitu anjing yang liar itu menggonggong ke arahnya. Seperti hendak menerkam Leha. Anjing kelaparan. Benak Leha.
Ctakk!!
Anjing itu melompat kesakitan begitu peluru krikil menghantam betisnya. Ia berlari separuh pincang. Tiba-tiba saja Bahri keluar dari pintu sambil membawa ketapel. Ia hendak membidik anjing itu lagi. Tapi urung, begitu ibunya menyuruh Bahri untuk masuk kembali.
“Sebentar bu..” pinta Bahri. Setetes keringat mulai menjalar di pelipis Leha. Bahri mendekati tanah datar yang berserak dedaunan. Bekas cakaran anjing masih menghiasi gundukan itu. Membentuk lubang-lubang tak beraturan. Seperti bongkahan lubang di batu karang. Bahri mengamati sebentar, lalu mengambil cangkul yang terletak di pojok pohon pisang. Leha berkeringat lagi. Di genggam tangannya ada setetes dingin yang menggigil.
***




Tidak ada komentar:

Posting Komentar