Jam
dua malam Leha masih terjaga. Ia menyeret sebongkah mayat yang berlumuran
darah. Mata mayat itu membelalak, seperti menagih nyawa. Di lehernya ada bekas
sabitan celurit. Dan dadanya koyak dihantam tujuh belas tusukan yang mencipratkan
darah. Leha duduk sebentar. Ia kelelahan. Dalam benaknya melintas pertanyaan;
“mau kuapakan mayat ini?”
Leha
berpikir keras. Ia mengamati darah segar yang menetes dari lingkar leher Sapri.
Seketika ia teringat saat sepuluh menit yang lalu. Saat ia membunuh lelaki itu.
Dengan tujuh belas tusukan di pusaran jantung, dan sabitan di leher. Beruntung
lelaki itu tengah tertidur lelap, sehingga tak ada kesempatan untuk menyerang
balik. Leha menang. Ia berhasil menebus rasa sakit yang ditimbulkan oleh mayat
itu,_yang tidak lain adalah suaminya sendiri.
Mula-mula
Leha menyetel radio. Tidak penting apa salurannya, dan siapa penyiarnya,_yang
penting bisa menelan kesunyian malam dan kengerian bersama mayat. Sekali lagi
ia bertanya; “mau kuapakan mayat ini.” Tetes keringat meluncur lagi. Pikiran
Leha kalap direjam ketakutan.
Leha
mengambil pisau daging. Lalu memotong jasad suaminya menjadi delapan bagian.
Takk!! Mula-mula kepala, agar ia bisa membungkus wajah ngeri yang ditampilkan
jasad itu. Kemudian kedua tangannya. Takut tangan-tangan itu tiba-tiba saja
menggerayang dan membalas membunuh Leha. Darah memburai lagi. Mengalir di
lantai kamar mandi menuju lubang saluran air. Lantas Leha memotong kedua kaki
mayat tepat dua senti di bawah lututnya. Terakhir, ia memotong lingkar perut
yang penuh lemak. Leha terus memotong-motong jasad di hadapannya. Menghentakkan
pisau dengan tulang kaki yang keras. Membelah daging dan organ tubuh di perut.
Darah bercipratan di wajah Leha. Tangannya bermandikan cairan merah. Isi perutnya
mulai melonjak, begitu organ tubuh Sapri menyembul di balik potongan tubuh.
Potongan-potongan
itu dimasukkan ke dalam karung. Bersama helai demi helai kain dan cairan
pembersih lantai ditumpahkan di dalamnya. Leha bergidik setiap kali tangannya
mengangkat potongan mayat yang kaku, dan menaruhnya dalam karung. Kulit-kulit
yang dingin seakan menempel dalam relung takutnya. Juga sisa-sisa serpihan
daging yang berceceran di lantai.
Leha
kembali bingung. Sementara keringat dingin terus menetes di sekujur wajahnya.
Tangannya gemetar. Debar-debur jantungnya kian menghentak keras. “Mau dibuang
kemana mayat ini?” pikir Leha. Ia melihat jarum jam. Sudah hampir jam tiga.
Leha
ke luar lewat pintu belakang. Ia celingukan. Memandang sekitar. Gelap. Di
hadapannya berdiri pepohonan pisang yang memagari halaman belakang rumah.
Halaman itu sempit, gelap dan dipenuhi belukar. Di sekeliling sepi. Hanya ada
suara jangkrik dan lolongan anjing yang berasal dari bukit. Tak kan ada
siapapun yang berkeliaran di sini. Aman.
Leha
menggali gundukan tanah yang lembab. Membentuk liang lahat. Sesekali ia menatap
di sekitar, dan melirik jam lewat celah pintu. Sepuluh menit berselang, belum
juga terlihat pas. Belum dalam. Ia terus menggali, sampai nafasnya habis, ngos-ngos-an.
Jantungnya masih memburu. Hidungnya gelagapan mencium bau amis darah yang
bersumber dari saluran air. Tapi Leha terus menggali. Menggali sampai menemukan
kedalaman.
Menjelang
subuh, semuanya telah beres. Bercak-bercak darah sudah dibersihkan. Bau amis
sudah ditelan bau parfum dan karbol. Jasad itu sudah dikubur bersama
barang-barang bukti yang berlapiskan darah. Tapi Leha masih cemas. Jantungnya
masih berlompatan. Ia mencoba untuk tidur. Mendekap guling dan membenamkan
wajahnya dalam ketakutan.
***
Leha
terbangun saat mentari berdiri tepat di ubun-ubun. Sekujur tubuhnya basah oleh
keringat. Jantungnya kembali berdebar. Ia mengecek lagi seluruh lapisan lantai.
Takut masih ada darah yang tertinggal. Ia juga mengecek halaman belakang.
Pundaknya bergidik.
Seluruh
gorden jendela ditarik oleh Leha. Ia tak membiarkan hembusan angin masuk ke
rumahnya,_dan mengabarkan pada khalayak soal kasus pembunuhan yang ia lakukan.
Leha kembali menarik selimut, dan menonton televisi. Tapi kemudian dimatikan.
Karena jam segini televisi banyak menggelar siaran berita. Terutama berita
kematian.
Leha
tak jadi tiduran. Hari ini ia harus membayar tagihan sewa. Tapi tak ada uang.
Mau tidak mau ia pergi menemui Sundari untuk pinjam uang. Di perjalanan menuju
rumah Sundari, Leha mengamati wajah-wajah penduduk. Tatapan mereka seperti
mengintai gerak-gerik Leha. Seperti ada belatung yang menggeliat di bola mata.
Setiap kali mereka mendekat, Leha bergerak cemas menghindar. Takut ditangkap
dan diadili. Ia terus bergerak. Seperti anak tikus yang dikepung dalam labirin.
Di setiap ujungnya berkobar api dari neraka. Dan lahar panas meleleh dari
setiap dinding yang ia temui. Bayangan Leha seperti roh Sapri yang
mengikutinya. Menagih potongan-potongan tubuh dan minta dikembalikan nyawanya.
Dan lagi, setiap wajah yang ia temui, seperti gumpalan belatung yang
menari-nari dalam karung. Menghisap darah dan menggerogoti daging busuk. Leha
tak jadi ke rumah Sundari. Bias pucat di wajahnya telah membentuk kecurigaan.
“Leha?
Kau kenapa? Sakit? Wajahmu pucat sekali..” tutur lembut Mirah sambil menyentuh
pipi Leha. Leha menggeleng. “Kau mau kemana? Biar kuantar..” Entah mengapa Leha
merasa Mirah akan mengantarnya ke kantor polisi. Ia bergegas menjauh dari
perempuan itu. Kembali ia menyaksikan belatung-belatung halus di bola mata
Mirah.
Dua
hari sudah Leha mengurung diri di dalam rumah. Hanya keluar untuk belanja dan
menjemur pakaian. Ia sering mengecek kuburan Sapri. Takut kuburan itu
menyembulkan bau busuk, dan diusik orang. Leha juga mulai jarang tidur di
kamar, dan selalu ketakutan setiap kali melangkah masuk ke dalam toilet.
Kini
Leha menjadi pemurung. Bayang-bayang wajah mengenaskan suaminya selalu
menghiasi tidur Leha. Ia takut roh Sapri gentayangan dan menuntut balasan.
Terutama di malam-malam dingin dan sepi. Malam kliwon, dan bulan menggenapkan
terangnya. Lela selalu merasa dihantui bisikan-bisikan gaib. Seolah ada getaran
halus yang mengetuk-ngetuk sukmanya. Memanggil nama Leha. Dan minta dikuburkan
dengan semestinya.
Menjelang
sore, ada seorang pria yang bertandang ke rumah Leha.
“Saprinya
ada??” tanya Jafar. Karib Sapri yang tinggal di kampung sebelah.
“B..b..Bang
Sapri,_udah tiga hari ini ke Purworejo. Ada proyek di sana,” jawab Leha seraya
memalingkan ketakutannya.
“Kok
dia nggak bilang?”
“Mungkin
nggak sempet bilang kali bang.. Soalnya mendadak,” Jafar mengangguk-angguk. “Ada
sesuatu yang penting?”
“ng..
nggak ada kok._kapan dia balik ke rumah?”
“Mungkin
satu bulan lagi,” jawab Leha asal. Kini ia mulai menikmati kebohongannya.
“Ya
sudah.. bang Jafar balik dulu ya Ha... jaga diri kau baik-baik. Kalau Sapri
sudah pulang, suruh ia main ke rumah abang.”
“Iya
bang.. nanti Leha sampaikan..”
Leha
segera menutup pintu begitu Jafar pergi. Ia menarik nafas lega. Tapi beberapa
detik kemudian, pintu diketuk kembali. Leha berpikir sejenak. Debar-debur di
jantungnya kembali berulah. Ketukan pintu semakin keras dan mendesak. Leha
membuka pintu. Sepasang matanya menangkap paras bu Lastri yang masam. Leha
ingat; ia belum bayar sewa bulan ini.
“mm..
Bang Sapri._lagi ada proyek di Purworejo. Baru tiga hari ini. Jadi belum bisa
kirim uang. Barangkali minggu depan.” Bu Lastri diam saja. Tatapan matanya
kembali menusuk. Leha merasakan ada belatung-belatung kecil yang menggeliat di
bola mata perempuan itu. Lengkap dengan jarum dan mata paku.
“mulai
besok! datang ke rumah saya jam delapan. Jangan telat!” Bu Lastri langsung
pergi. Leha menutup pintu cepat-cepat. Seperti biasa, jika uang sewa kontrakan
telat dibayar, Leha menjadi buruh cuci dan setrika di rumah bu Lastri.
Setidaknya, ia tidak perlu repot-repot lagi memikirkan makan siang.
***
Leha
baru pulang dari rumah bu Lastri ketika seonggok mobil polisi bertengger di
depan rumahnya. Ia gelagapan. Di halaman rumahnya berkerumun orang-orang dengan
bias wajah muram. Sebagian menangis terisak. Sebagian menampilkan paras
kebingungan. Ada garis polisi yang melintang di rumah bu Tuminah. Dan beberapa polisi bermasker
mondar-mandir sekitar pekarangan rumah tersebut. Leha semakin bingung. Paling
tidak ia aman, karena semua ini tidak ada sangkut pautnya dengan kematian
Sapri.
Dalam
hati, sebetulnya Leha ingin cepat-cepat pergi. Ia takut dimintai keterangan
sebagai saksi. Tapi ketika ia membalikkan tubuhnya, bu Sundari datang dan
menarik lengan Leha. Pipi perempuan itu lembab oleh air mata.
“Leha..”
lirih Sundari sembari memeluk sahabatnya. Leha semakin bingung.
“Ada
apa??”
“b..bu..
bu Minah Leha..! BU MINAH..!”
“ADA
APA dengan bu Minah?” tanya Leha sembari mencoba melepas pelukan Sundari.
Sundari menahan isak.
“Bu Minah BUNUH DIRI!!” Leha shock mendengar
jawaban Sundari. Dadanya sesak. Ia tidak percaya dengan apa yang dikatakan
Sundari. “Innalillahi..wa inna ilaihi roji’un..” ucapnya kemudian. “Ke sana
yuk.. polisi dari tadi menunggumu untuk memberikan kesaksian.”
Dugg.
Jantung Leha kembali berdetak kencang. Ia menelan ludah. Terbayang tatapan mata
penyidik yang mengintai setiap perubahan wajah. Dan gerak serta ucapan-ucapan
seseorang yang sedang menutupi kriminalitas akan mudah ditafsirkan. Derap
langkah Leha semakin berat. Ia melihat seorang polisi bergerak mendekatinya.
“Anda
bu Leha? Tetangga dekat bu Minah?” tanya seorang polisi. Leha mengangguk, dan
menelan ludah.
“Boleh
minta waktunya sebentar? Kami butuh kesaksian dari Anda.” Leha menggangguk
lagi. Jemarinya dingin dan nafasnya tercekat.
Satu
jam tiga puluh menit Leha memberi kesaksian. Selepas itu ia lansung pulang ke
rumah. Mendekap di bilik kamar yang gelap. Senja semakin merangkak menuju
malam. Sementara di luar masih ramai. Telah berkali-kali orang bertanya seputar
keberadaan suami Leha. Perempuan itu selalu menjawab bahwa suaminya di
Purworejo. Dan baru kembali sebulan kemudian.
Malamnya,
seorang pemuda berkunjung ke rumah Leha. Namanya Bahri. Ia anak semata wayang
Leha dan Sapri yang merantau ke Jakarta sejak dua tahun yang lalu. Bagi Leha,
kehadiran Sapri bisa menebas rasa takut sekaligus kesepiannya. Tapi juga
menambah kecemasan Leha soal pembunuhan beberapa hari yang lalu.
“Bapak
ke mana bu??” tanya Bahri sambil menggantungkan jaketnya di paku tembok.
“Bapakmu
lagi ada proyek,_di Purworejo. Baru selesai tiga atau empat minggu kemudian..”
jawab Leha. Tampaknya ia mulai terbiasa dengan kebohongan ini. “Gak papa kan?”
Leha mengamati paras kecewa Bahri. Pemuda itu lantas tersenyum hangat pada
Leha. Meskipun ia sering berantem dengan bapaknya, tapi lelaki itu masih sangat
peduli, dan menyimpan kasih sayang yang dalam.
“Bapak
masih seperti dulu bu??” tanya Bahri kemudian. Leha berkaca-kaca sambil
menghentikan gerak tangannya menjahit baju. “Masih suka pukulin ibu kalau kalah
judi?_Dan nyuri duit simpanan buat mabok-mabokan. Terakhir.. masih suka main
serong sama perempuan lain?”
“Cukup
Bahri!” tukas Leha dingin. Ia meneruskan jahitannya. Suasana hening sesaat.
“Ibu
nggak bisa terus-terusan diam begini dong bu.._Ibu jangan mau disakitin terus
sama Bapak. Ibu harus lakuin sesuatu.”
“Cukup!
Ibu lagi nggak mau bahas masalah ini!” Bahri diam sejenak. Lalu berujar lagi.
Anak itu semakin membandel.
“Liat
ajah. Bapak pergi sebulan. Uang yang dibawa pulang gak seberapa. Udah abis
duluan buat main judi!” Leha tak merespon. Hanya hatinya terasa terbakar.
Seketika ia menemukan kembali alasannya membunuh Sapri. “Padahal ibu tuh
cantik. Tipe istri yang penurut. Tapi Bapak ...” Bahri tak meneruskan
ucapannya. Ia menatap wajah kosong ibunya.
“Ibu..
nggak ada niatan buat cerai sama Bapak??”
BRAKKK!
Leha
menggebrak meja dengan keras. Tatapannya tajam menusuk bola mata Bahri. Lelaki
itu terdiam. Suasana semakin dingin. Lekas Bahri beranjak menuju kamar tidur.
***
Pagi-pagi
sekali Leha berurusan dengan anjing liar di belakang rumahnya. Lidah anjing itu
menjulur kehausan. Tubuhnya yang kurus berlindung dalam bulu-bulu gelap.
Matanya mengintai, seperti burung kematian yang mengepakkan sayap di atas
jenazah. Leha terus mengusirnya dengan tongkat kayu, krikil, pelepah pisang,
dan apa saja yang ada di sekitar.
HUSSH..
HUSSSH
Anjing
itu tak bergeming. Ia terus-terusan mengendus tanah datar di halaman belakang
rumah Leha. Cakarnya menggaruk-garuk tanah. Leha semakin jengah melihat tingkah
anjing itu. Ia semakin keras mengusir anjing itu, tapi binatang itu semakin
agresif menyerang sergapannya, dan mengerang buas ke arah Leha. Nyali Leha
menciut. Anjing itu semakin buas memecah tanah kuburan.
Lagi-lagi
Leha gregetan melihat anjing itu. Ia semakin cemas. Tapi rasa takutnya
semakin besar. Setiap kali melihat taring-taring dan cakar-cakar yang
meruncing. Begitu anjing yang liar itu menggonggong ke arahnya. Seperti hendak
menerkam Leha. Anjing kelaparan. Benak Leha.
Ctakk!!
Anjing
itu melompat kesakitan begitu peluru krikil menghantam betisnya. Ia berlari
separuh pincang. Tiba-tiba saja Bahri keluar dari pintu sambil membawa ketapel.
Ia hendak membidik anjing itu lagi. Tapi urung, begitu ibunya menyuruh Bahri untuk
masuk kembali.
“Sebentar
bu..” pinta Bahri. Setetes keringat mulai menjalar di pelipis Leha. Bahri
mendekati tanah datar yang berserak dedaunan. Bekas cakaran anjing masih
menghiasi gundukan itu. Membentuk lubang-lubang tak beraturan. Seperti
bongkahan lubang di batu karang. Bahri mengamati sebentar, lalu mengambil
cangkul yang terletak di pojok pohon pisang. Leha berkeringat lagi. Di genggam
tangannya ada setetes dingin yang menggigil.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar