Cerpen Thank Iz merupakan literasi remaja yang dimuat dalam majalah sekolah KERTAS tahun 2010. Bercerita tentang tokoh utama Disya yang harus menelan manis dan pahitnya cinta yang diberikan Faiz terhadapnya. Analisis cerpen ini mengarah pada konteks karakteristik Disya dan Faiz yang merupakan hasil bentukan budaya patriarkis di kalangan remaja.
Wacana patriarkis tampak di awal pengadeganan cerpen ini, di mana tokoh Disya tak memiliki kendali penuh untuk memutuskan perkara hatinya. Kelemahan diri seorang wanita ditunjukkan lewat adanya ketidakmandirian berpikir. Citra tokoh utama terkesan unindependent woman. Sehingga menganggap cinta hanya sebatas kompromi perasaan. Mencintai Faiz, karena Faiz mencintainya. Pada awalnya, Disya mencoba berpikir sebelum memutuskan untuk menerima cinta Faiz. Namun, watak Faiz digambarkan sebagai sosok yang tidak bisa menunggu, dan menciptakan pressure terhadap olah pikir Disya. Kelemahan diri seorang wanita ditampilkan lewa narasi yang menceritakan rasa kagum tersembunyi Disya pada kakak kelasnya, Zakki. Sebuah rasa yang harus terkubur dalam dan dihempas bersama dengan datangnya cinta Faiz. Ketidakmampuan wanita untuk "take control" menjadi lahan kepenulisan dari narasi ini. Bagaimana sebuah kultur yang berjenjang (hierarkis) membuat wanita tidak memiliki kesempatan untuk memilih, atau sekadar menyatakan kekaguman. Karena, telah lebih dulu muncul rasa tabu bagi seorang wanita untuk menunjukkan perasaannya. Alhasil, Disya tak memiliki otoritas untuk mengkontruksi kisah cintanya sendiri. Mulai dari ia harus membuang jauh-jauh rasa cintanya pada Zakki, sampai ia harus menerima dengan setengah hati cinta yang dihadirkan Faiz. Jadilah Disya sebagai korban ketidaksetaraan gender.
Tokoh Disya yang lebih tertutup dalam menjaga rahasia hubungannya dengan Faiz berbeda seratus delapan puluh derajat dengan sikap Faiz. Faiz digambarkan lebih terbuka dan acapkali mengirim sms, atau mendekati Disya di jam istirahat. Sehingga kendali relasi komunikasi ada di tangan Faiz. Karakteristik yang tidak setara kembali ditonjolkan. Di mana tokoh wanita dicitrakan pasif, dan tokoh pria dicitrakan aktif.
Pada struktur cerita berikutnya, terdapat penggalan yang memunculkan ketidakberdayaan wanita di bawah kekuasaan pria, mengenai hubungan Disya dan Rafi. Mulai dari wacana Disya meminta izin kepada Faiz untuk pulang bareng dengan teman lesnya, Rafi. Sampai pada terpurukmya Disya pada rasa bersalah. Sehingga memunculkan kesan, wanita harus lebih tunduk di bawah otoritas pria. Maka, lagi-lagi hierarki gender muncul dalam cerpen ini.
Sisi kelemahan diri tokoh utama kembali diperlihatkan lewat adanya serangan mental pasca ia memutuskan relasi cinta dengan Faiz. Kemampuan Faiz membangun suasanan dramatis telah menunjukkan adidaya dirinya dalam menyetir alur kisah cinta bersama Disya. Secara masif, orang-orang menghujat dan memojokkan Disya lewat ketangkasan Faiz dalam menjaring simpati. Disya digambarkan tak berdaya dan hanya bisa curhat pada temannya. Tak ada kesan meninggikan harga diri dalam benak Disya. Ia terlalu mudah terjebak dalam kubangan rasa bersalah. Padahal, rasa bersalah tersebut merupakan hasil settingan Faiz yang memanfaatkan kelemahan diri Disya, ditambah oleh rasa gengsi (prestise) karena diputuska oleh gadis itu. Maka, asumsi kehancuran hidup Faiz lahir dari pertautan rasa lemah diri Disya dan energi prestise-egoisme dalam diri Faiz.
Karakteristik Disya semakin diperlemah dan masuk zona hierarki dasar, manakala tokoh Faiz berhasil menipu dirinya. Dan memiliki kompetensi untuk melupakan cintanya pada Disya dengan cara menjalin hubungan dengan Yesi. Saat itu juga, tanpa sadar, penulis telah meruntuhkan daya proteksi harga diri tokoh Disya. Tokoh Disya terkesan sebagai tokoh yan menjadi korban karena kelemahan dalam dirinya. Dan kelemahan itu merupakan hasil bentukan dari budaya patriarki.
Di paragraf akhir dalam cerpen ini, diceritakan sebuah narasi yang merupakan ungkapan dan perasaan Disya setelah memuntahkan emosinya lewat kata-kata. Ia puas, karena telah menusuk hati Faiz dengan cercaan yang sifatnya elegan, dalam artian tidak terlalu emosional. Namun, memberi kesan kepasrahan yang berlebih. Seolah, cara wanita meluapkan emosinya hanya dalam bentuk kata-kata yang ketar-ketir di udara. Lalu, berhasil membuat lawan bicara tertunduk malu. Tapi lebih dari itu, emosi sakit hati dan rasa kesal Disya tak tersalurkan seratus persen. Sisanya mesti ditelan dalam kepahitan luka. Dia merasa dirinya tak punya kapasitas untuk membalas perilaku Faiz secara lebih ekstrem dan setimpal. Menunjukkan ciri perempuan yang lebih pemaaf dan rela untuk disakiti.
Secara keseluruhan, Cerpen Thank Iz menampakkan sisi kelemahan diri wanita dalam membuat putusan, sehingga menimbulkan kerisauan yang sulit tersalurkan, karena adanya tata nilai mengekal dalam budaya patriarkis. Dan kelemahan diri itu semakin menebal lewat karakteristik pemaaf dan terlalu pasrah menerima penipuan dan menelan hidangan rasa sakit yang disajikan oleh otoritas kekuasaan pria dalam hierarki gender tanpa dasar hakiki.
*Dibuat sebagai pemenuhan tugas akhir mata kuliah Kajian Prosa Fiksi
Wacana patriarkis tampak di awal pengadeganan cerpen ini, di mana tokoh Disya tak memiliki kendali penuh untuk memutuskan perkara hatinya. Kelemahan diri seorang wanita ditunjukkan lewat adanya ketidakmandirian berpikir. Citra tokoh utama terkesan unindependent woman. Sehingga menganggap cinta hanya sebatas kompromi perasaan. Mencintai Faiz, karena Faiz mencintainya. Pada awalnya, Disya mencoba berpikir sebelum memutuskan untuk menerima cinta Faiz. Namun, watak Faiz digambarkan sebagai sosok yang tidak bisa menunggu, dan menciptakan pressure terhadap olah pikir Disya. Kelemahan diri seorang wanita ditampilkan lewa narasi yang menceritakan rasa kagum tersembunyi Disya pada kakak kelasnya, Zakki. Sebuah rasa yang harus terkubur dalam dan dihempas bersama dengan datangnya cinta Faiz. Ketidakmampuan wanita untuk "take control" menjadi lahan kepenulisan dari narasi ini. Bagaimana sebuah kultur yang berjenjang (hierarkis) membuat wanita tidak memiliki kesempatan untuk memilih, atau sekadar menyatakan kekaguman. Karena, telah lebih dulu muncul rasa tabu bagi seorang wanita untuk menunjukkan perasaannya. Alhasil, Disya tak memiliki otoritas untuk mengkontruksi kisah cintanya sendiri. Mulai dari ia harus membuang jauh-jauh rasa cintanya pada Zakki, sampai ia harus menerima dengan setengah hati cinta yang dihadirkan Faiz. Jadilah Disya sebagai korban ketidaksetaraan gender.
Tokoh Disya yang lebih tertutup dalam menjaga rahasia hubungannya dengan Faiz berbeda seratus delapan puluh derajat dengan sikap Faiz. Faiz digambarkan lebih terbuka dan acapkali mengirim sms, atau mendekati Disya di jam istirahat. Sehingga kendali relasi komunikasi ada di tangan Faiz. Karakteristik yang tidak setara kembali ditonjolkan. Di mana tokoh wanita dicitrakan pasif, dan tokoh pria dicitrakan aktif.
Pada struktur cerita berikutnya, terdapat penggalan yang memunculkan ketidakberdayaan wanita di bawah kekuasaan pria, mengenai hubungan Disya dan Rafi. Mulai dari wacana Disya meminta izin kepada Faiz untuk pulang bareng dengan teman lesnya, Rafi. Sampai pada terpurukmya Disya pada rasa bersalah. Sehingga memunculkan kesan, wanita harus lebih tunduk di bawah otoritas pria. Maka, lagi-lagi hierarki gender muncul dalam cerpen ini.
Sisi kelemahan diri tokoh utama kembali diperlihatkan lewat adanya serangan mental pasca ia memutuskan relasi cinta dengan Faiz. Kemampuan Faiz membangun suasanan dramatis telah menunjukkan adidaya dirinya dalam menyetir alur kisah cinta bersama Disya. Secara masif, orang-orang menghujat dan memojokkan Disya lewat ketangkasan Faiz dalam menjaring simpati. Disya digambarkan tak berdaya dan hanya bisa curhat pada temannya. Tak ada kesan meninggikan harga diri dalam benak Disya. Ia terlalu mudah terjebak dalam kubangan rasa bersalah. Padahal, rasa bersalah tersebut merupakan hasil settingan Faiz yang memanfaatkan kelemahan diri Disya, ditambah oleh rasa gengsi (prestise) karena diputuska oleh gadis itu. Maka, asumsi kehancuran hidup Faiz lahir dari pertautan rasa lemah diri Disya dan energi prestise-egoisme dalam diri Faiz.
Karakteristik Disya semakin diperlemah dan masuk zona hierarki dasar, manakala tokoh Faiz berhasil menipu dirinya. Dan memiliki kompetensi untuk melupakan cintanya pada Disya dengan cara menjalin hubungan dengan Yesi. Saat itu juga, tanpa sadar, penulis telah meruntuhkan daya proteksi harga diri tokoh Disya. Tokoh Disya terkesan sebagai tokoh yan menjadi korban karena kelemahan dalam dirinya. Dan kelemahan itu merupakan hasil bentukan dari budaya patriarki.
Di paragraf akhir dalam cerpen ini, diceritakan sebuah narasi yang merupakan ungkapan dan perasaan Disya setelah memuntahkan emosinya lewat kata-kata. Ia puas, karena telah menusuk hati Faiz dengan cercaan yang sifatnya elegan, dalam artian tidak terlalu emosional. Namun, memberi kesan kepasrahan yang berlebih. Seolah, cara wanita meluapkan emosinya hanya dalam bentuk kata-kata yang ketar-ketir di udara. Lalu, berhasil membuat lawan bicara tertunduk malu. Tapi lebih dari itu, emosi sakit hati dan rasa kesal Disya tak tersalurkan seratus persen. Sisanya mesti ditelan dalam kepahitan luka. Dia merasa dirinya tak punya kapasitas untuk membalas perilaku Faiz secara lebih ekstrem dan setimpal. Menunjukkan ciri perempuan yang lebih pemaaf dan rela untuk disakiti.
Secara keseluruhan, Cerpen Thank Iz menampakkan sisi kelemahan diri wanita dalam membuat putusan, sehingga menimbulkan kerisauan yang sulit tersalurkan, karena adanya tata nilai mengekal dalam budaya patriarkis. Dan kelemahan diri itu semakin menebal lewat karakteristik pemaaf dan terlalu pasrah menerima penipuan dan menelan hidangan rasa sakit yang disajikan oleh otoritas kekuasaan pria dalam hierarki gender tanpa dasar hakiki.
*Dibuat sebagai pemenuhan tugas akhir mata kuliah Kajian Prosa Fiksi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar