mimpi-mimpiku

Senin, 12 Januari 2015

Detak Jantung Sang Pembunuh


Jam dua malam Leha masih terjaga. Ia menyeret sebongkah mayat yang berlumuran darah. Mata mayat itu membelalak, seperti menagih nyawa. Di lehernya ada bekas sabitan celurit. Dan dadanya koyak dihantam tujuh belas tusukan yang mencipratkan darah. Leha duduk sebentar. Ia kelelahan. Dalam benaknya melintas pertanyaan; “mau kuapakan mayat ini?”
Leha berpikir keras. Ia mengamati darah segar yang menetes dari lingkar leher Sapri. Seketika ia teringat saat sepuluh menit yang lalu. Saat ia membunuh lelaki itu. Dengan tujuh belas tusukan di pusaran jantung, dan sabitan di leher. Beruntung lelaki itu tengah tertidur lelap, sehingga tak ada kesempatan untuk menyerang balik. Leha menang. Ia berhasil menebus rasa sakit yang ditimbulkan oleh mayat itu,_yang tidak lain adalah suaminya sendiri.
Mula-mula Leha menyetel radio. Tidak penting apa salurannya, dan siapa penyiarnya,_yang penting bisa menelan kesunyian malam dan kengerian bersama mayat. Sekali lagi ia bertanya; “mau kuapakan mayat ini.” Tetes keringat meluncur lagi. Pikiran Leha kalap direjam ketakutan.
Leha mengambil pisau daging. Lalu memotong jasad suaminya menjadi delapan bagian. Takk!! Mula-mula kepala, agar ia bisa membungkus wajah ngeri yang ditampilkan jasad itu. Kemudian kedua tangannya. Takut tangan-tangan itu tiba-tiba saja menggerayang dan membalas membunuh Leha. Darah memburai lagi. Mengalir di lantai kamar mandi menuju lubang saluran air. Lantas Leha memotong kedua kaki mayat tepat dua senti di bawah lututnya. Terakhir, ia memotong lingkar perut yang penuh lemak. Leha terus memotong-motong jasad di hadapannya. Menghentakkan pisau dengan tulang kaki yang keras. Membelah daging dan organ tubuh di perut. Darah bercipratan di wajah Leha. Tangannya bermandikan cairan merah. Isi perutnya mulai melonjak, begitu organ tubuh Sapri menyembul di balik potongan tubuh.
Potongan-potongan itu dimasukkan ke dalam karung. Bersama helai demi helai kain dan cairan pembersih lantai ditumpahkan di dalamnya. Leha bergidik setiap kali tangannya mengangkat potongan mayat yang kaku, dan menaruhnya dalam karung. Kulit-kulit yang dingin seakan menempel dalam relung takutnya. Juga sisa-sisa serpihan daging yang berceceran di lantai.
Leha kembali bingung. Sementara keringat dingin terus menetes di sekujur wajahnya. Tangannya gemetar. Debar-debur jantungnya kian menghentak keras. “Mau dibuang kemana mayat ini?” pikir Leha. Ia melihat jarum jam. Sudah hampir jam tiga.
Leha ke luar lewat pintu belakang. Ia celingukan. Memandang sekitar. Gelap. Di hadapannya berdiri pepohonan pisang yang memagari halaman belakang rumah. Halaman itu sempit, gelap dan dipenuhi belukar. Di sekeliling sepi. Hanya ada suara jangkrik dan lolongan anjing yang berasal dari bukit. Tak kan ada siapapun yang berkeliaran di sini. Aman.
Leha menggali gundukan tanah yang lembab. Membentuk liang lahat. Sesekali ia menatap di sekitar, dan melirik jam lewat celah pintu. Sepuluh menit berselang, belum juga terlihat pas. Belum dalam. Ia terus menggali, sampai nafasnya habis, ngos-ngos-an. Jantungnya masih memburu. Hidungnya gelagapan mencium bau amis darah yang bersumber dari saluran air. Tapi Leha terus menggali. Menggali sampai menemukan kedalaman.
Menjelang subuh, semuanya telah beres. Bercak-bercak darah sudah dibersihkan. Bau amis sudah ditelan bau parfum dan karbol. Jasad itu sudah dikubur bersama barang-barang bukti yang berlapiskan darah. Tapi Leha masih cemas. Jantungnya masih berlompatan. Ia mencoba untuk tidur. Mendekap guling dan membenamkan wajahnya dalam ketakutan.
***
Leha terbangun saat mentari berdiri tepat di ubun-ubun. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat. Jantungnya kembali berdebar. Ia mengecek lagi seluruh lapisan lantai. Takut masih ada darah yang tertinggal. Ia juga mengecek halaman belakang. Pundaknya bergidik.
Seluruh gorden jendela ditarik oleh Leha. Ia tak membiarkan hembusan angin masuk ke rumahnya,_dan mengabarkan pada khalayak soal kasus pembunuhan yang ia lakukan. Leha kembali menarik selimut, dan menonton televisi. Tapi kemudian dimatikan. Karena jam segini televisi banyak menggelar siaran berita. Terutama berita kematian.
Leha tak jadi tiduran. Hari ini ia harus membayar tagihan sewa. Tapi tak ada uang. Mau tidak mau ia pergi menemui Sundari untuk pinjam uang. Di perjalanan menuju rumah Sundari, Leha mengamati wajah-wajah penduduk. Tatapan mereka seperti mengintai gerak-gerik Leha. Seperti ada belatung yang menggeliat di bola mata. Setiap kali mereka mendekat, Leha bergerak cemas menghindar. Takut ditangkap dan diadili. Ia terus bergerak. Seperti anak tikus yang dikepung dalam labirin. Di setiap ujungnya berkobar api dari neraka. Dan lahar panas meleleh dari setiap dinding yang ia temui. Bayangan Leha seperti roh Sapri yang mengikutinya. Menagih potongan-potongan tubuh dan minta dikembalikan nyawanya. Dan lagi, setiap wajah yang ia temui, seperti gumpalan belatung yang menari-nari dalam karung. Menghisap darah dan menggerogoti daging busuk. Leha tak jadi ke rumah Sundari. Bias pucat di wajahnya telah membentuk kecurigaan.
“Leha? Kau kenapa? Sakit? Wajahmu pucat sekali..” tutur lembut Mirah sambil menyentuh pipi Leha. Leha menggeleng. “Kau mau kemana? Biar kuantar..” Entah mengapa Leha merasa Mirah akan mengantarnya ke kantor polisi. Ia bergegas menjauh dari perempuan itu. Kembali ia menyaksikan belatung-belatung halus di bola mata Mirah.
Dua hari sudah Leha mengurung diri di dalam rumah. Hanya keluar untuk belanja dan menjemur pakaian. Ia sering mengecek kuburan Sapri. Takut kuburan itu menyembulkan bau busuk, dan diusik orang. Leha juga mulai jarang tidur di kamar, dan selalu ketakutan setiap kali melangkah masuk ke dalam toilet.
Kini Leha menjadi pemurung. Bayang-bayang wajah mengenaskan suaminya selalu menghiasi tidur Leha. Ia takut roh Sapri gentayangan dan menuntut balasan. Terutama di malam-malam dingin dan sepi. Malam kliwon, dan bulan menggenapkan terangnya. Lela selalu merasa dihantui bisikan-bisikan gaib. Seolah ada getaran halus yang mengetuk-ngetuk sukmanya. Memanggil nama Leha. Dan minta dikuburkan dengan semestinya.
Menjelang sore, ada seorang pria yang bertandang ke rumah Leha.
“Saprinya ada??” tanya Jafar. Karib Sapri yang tinggal di kampung sebelah.
“B..b..Bang Sapri,_udah tiga hari ini ke Purworejo. Ada proyek di sana,” jawab Leha seraya memalingkan ketakutannya.
“Kok dia nggak bilang?”
“Mungkin nggak sempet bilang kali bang.. Soalnya mendadak,” Jafar mengangguk-angguk. “Ada sesuatu yang penting?”
“ng.. nggak ada kok._kapan dia balik ke rumah?”
“Mungkin satu bulan lagi,” jawab Leha asal. Kini ia mulai menikmati kebohongannya.
“Ya sudah.. bang Jafar balik dulu ya Ha... jaga diri kau baik-baik. Kalau Sapri sudah pulang, suruh ia main ke rumah abang.”
“Iya bang.. nanti Leha sampaikan..”
Leha segera menutup pintu begitu Jafar pergi. Ia menarik nafas lega. Tapi beberapa detik kemudian, pintu diketuk kembali. Leha berpikir sejenak. Debar-debur di jantungnya kembali berulah. Ketukan pintu semakin keras dan mendesak. Leha membuka pintu. Sepasang matanya menangkap paras bu Lastri yang masam. Leha ingat; ia belum bayar sewa bulan ini.
“mm.. Bang Sapri._lagi ada proyek di Purworejo. Baru tiga hari ini. Jadi belum bisa kirim uang. Barangkali minggu depan.” Bu Lastri diam saja. Tatapan matanya kembali menusuk. Leha merasakan ada belatung-belatung kecil yang menggeliat di bola mata perempuan itu. Lengkap dengan jarum dan mata paku.
“mulai besok! datang ke rumah saya jam delapan. Jangan telat!” Bu Lastri langsung pergi. Leha menutup pintu cepat-cepat. Seperti biasa, jika uang sewa kontrakan telat dibayar, Leha menjadi buruh cuci dan setrika di rumah bu Lastri. Setidaknya, ia tidak perlu repot-repot lagi memikirkan makan siang.
***
Leha baru pulang dari rumah bu Lastri ketika seonggok mobil polisi bertengger di depan rumahnya. Ia gelagapan. Di halaman rumahnya berkerumun orang-orang dengan bias wajah muram. Sebagian menangis terisak. Sebagian menampilkan paras kebingungan. Ada garis polisi yang melintang di rumah  bu Tuminah. Dan beberapa polisi bermasker mondar-mandir sekitar pekarangan rumah tersebut. Leha semakin bingung. Paling tidak ia aman, karena semua ini tidak ada sangkut pautnya dengan kematian Sapri.
Dalam hati, sebetulnya Leha ingin cepat-cepat pergi. Ia takut dimintai keterangan sebagai saksi. Tapi ketika ia membalikkan tubuhnya, bu Sundari datang dan menarik lengan Leha. Pipi perempuan itu lembab oleh air mata.
“Leha..” lirih Sundari sembari memeluk sahabatnya. Leha semakin bingung.
“Ada apa??”
“b..bu.. bu Minah Leha..! BU MINAH..!”
“ADA APA dengan bu Minah?” tanya Leha sembari mencoba melepas pelukan Sundari. Sundari menahan isak.
 “Bu Minah BUNUH DIRI!!” Leha shock mendengar jawaban Sundari. Dadanya sesak. Ia tidak percaya dengan apa yang dikatakan Sundari. “Innalillahi..wa inna ilaihi roji’un..” ucapnya kemudian. “Ke sana yuk.. polisi dari tadi menunggumu untuk memberikan kesaksian.”
Dugg. Jantung Leha kembali berdetak kencang. Ia menelan ludah. Terbayang tatapan mata penyidik yang mengintai setiap perubahan wajah. Dan gerak serta ucapan-ucapan seseorang yang sedang menutupi kriminalitas akan mudah ditafsirkan. Derap langkah Leha semakin berat. Ia melihat seorang polisi bergerak mendekatinya.
“Anda bu Leha? Tetangga dekat bu Minah?” tanya seorang polisi. Leha mengangguk, dan menelan ludah.
“Boleh minta waktunya sebentar? Kami butuh kesaksian dari Anda.” Leha menggangguk lagi. Jemarinya dingin dan nafasnya tercekat.
Satu jam tiga puluh menit Leha memberi kesaksian. Selepas itu ia lansung pulang ke rumah. Mendekap di bilik kamar yang gelap. Senja semakin merangkak menuju malam. Sementara di luar masih ramai. Telah berkali-kali orang bertanya seputar keberadaan suami Leha. Perempuan itu selalu menjawab bahwa suaminya di Purworejo. Dan baru kembali sebulan kemudian.
Malamnya, seorang pemuda berkunjung ke rumah Leha. Namanya Bahri. Ia anak semata wayang Leha dan Sapri yang merantau ke Jakarta sejak dua tahun yang lalu. Bagi Leha, kehadiran Sapri bisa menebas rasa takut sekaligus kesepiannya. Tapi juga menambah kecemasan Leha soal pembunuhan beberapa hari yang lalu.
“Bapak ke mana bu??” tanya Bahri sambil menggantungkan jaketnya di paku tembok.
“Bapakmu lagi ada proyek,_di Purworejo. Baru selesai tiga atau empat minggu kemudian..” jawab Leha. Tampaknya ia mulai terbiasa dengan kebohongan ini. “Gak papa kan?” Leha mengamati paras kecewa Bahri. Pemuda itu lantas tersenyum hangat pada Leha. Meskipun ia sering berantem dengan bapaknya, tapi lelaki itu masih sangat peduli, dan menyimpan kasih sayang yang dalam.
“Bapak masih seperti dulu bu??” tanya Bahri kemudian. Leha berkaca-kaca sambil menghentikan gerak tangannya menjahit baju. “Masih suka pukulin ibu kalau kalah judi?_Dan nyuri duit simpanan buat mabok-mabokan. Terakhir.. masih suka main serong sama perempuan lain?”
“Cukup Bahri!” tukas Leha dingin. Ia meneruskan jahitannya. Suasana hening sesaat.
“Ibu nggak bisa terus-terusan diam begini dong bu.._Ibu jangan mau disakitin terus sama Bapak. Ibu harus lakuin sesuatu.”
“Cukup! Ibu lagi nggak mau bahas masalah ini!” Bahri diam sejenak. Lalu berujar lagi. Anak itu semakin membandel.
“Liat ajah. Bapak pergi sebulan. Uang yang dibawa pulang gak seberapa. Udah abis duluan buat main judi!” Leha tak merespon. Hanya hatinya terasa terbakar. Seketika ia menemukan kembali alasannya membunuh Sapri. “Padahal ibu tuh cantik. Tipe istri yang penurut. Tapi Bapak ...” Bahri tak meneruskan ucapannya. Ia menatap wajah kosong ibunya.
“Ibu.. nggak ada niatan buat cerai sama Bapak??”
BRAKKK!
Leha menggebrak meja dengan keras. Tatapannya tajam menusuk bola mata Bahri. Lelaki itu terdiam. Suasana semakin dingin. Lekas Bahri beranjak menuju kamar tidur.
***
Pagi-pagi sekali Leha berurusan dengan anjing liar di belakang rumahnya. Lidah anjing itu menjulur kehausan. Tubuhnya yang kurus berlindung dalam bulu-bulu gelap. Matanya mengintai, seperti burung kematian yang mengepakkan sayap di atas jenazah. Leha terus mengusirnya dengan tongkat kayu, krikil, pelepah pisang, dan apa saja yang ada di sekitar.
HUSSH.. HUSSSH
Anjing itu tak bergeming. Ia terus-terusan mengendus tanah datar di halaman belakang rumah Leha. Cakarnya menggaruk-garuk tanah. Leha semakin jengah melihat tingkah anjing itu. Ia semakin keras mengusir anjing itu, tapi binatang itu semakin agresif menyerang sergapannya, dan mengerang buas ke arah Leha. Nyali Leha menciut. Anjing itu semakin buas memecah tanah kuburan.
Lagi-lagi Leha gregetan melihat anjing itu. Ia semakin cemas. Tapi rasa takutnya semakin besar. Setiap kali melihat taring-taring dan cakar-cakar yang meruncing. Begitu anjing yang liar itu menggonggong ke arahnya. Seperti hendak menerkam Leha. Anjing kelaparan. Benak Leha.
Ctakk!!
Anjing itu melompat kesakitan begitu peluru krikil menghantam betisnya. Ia berlari separuh pincang. Tiba-tiba saja Bahri keluar dari pintu sambil membawa ketapel. Ia hendak membidik anjing itu lagi. Tapi urung, begitu ibunya menyuruh Bahri untuk masuk kembali.
“Sebentar bu..” pinta Bahri. Setetes keringat mulai menjalar di pelipis Leha. Bahri mendekati tanah datar yang berserak dedaunan. Bekas cakaran anjing masih menghiasi gundukan itu. Membentuk lubang-lubang tak beraturan. Seperti bongkahan lubang di batu karang. Bahri mengamati sebentar, lalu mengambil cangkul yang terletak di pojok pohon pisang. Leha berkeringat lagi. Di genggam tangannya ada setetes dingin yang menggigil.
***




Catatan Kasih Seorang Ibu

Perempuan itu berlari. Dengan keringat menganak sungai di pelipisnya. Dari Syafa ke Marwa. Dari Marwa ke Syafa. Terus berlari hingga tujuh kali. Demi menemukan air untuk menuntaskan dahaga bayinya. Karena cintanya pada Allah, dan keimanan yang tak retak, pertolongan itu datang setelah lelah menghimpit jiwanya. Bersama limpahan air yang mengucur dari kaki sang bayi, perempuan itu berujar; zam..zam.. (berkumpulah)
 
Selama ini, tak banyak yang tahu, sosok ibu di balik penguasaan Imam Syafi'i terhadap fiqih. Kecerdasannya menghafal Qur'an tidak terlepas dari peran Ibunya yang merupakan hafidzah Qur'an. Sang ibu juga merupakan sosok yang cerdas, dan pantang menyerah demi menempatkan anaknya dalam kultur pendidikan terbaik di Mekkah. Maka jadilah, sesosok pemuda pengubah peradaban yang mazhabnya terkenal seseantaro jagat.

Bercerita tentang kisah kasih seorang ibu, tentu tidak lengkap jika mengesampingkan kisah tentang kebijaksanaan Raja Solomon. Suatu ketika, dua orang ibu saling menuding dan memperebutkan seorang bayi. Keduanya tak mau mengalah. Sampai akhirnya, Raja Solomon mengusulkan untuk membagi dua tubuh bayi tersebut. Salah seorang ibu bersorak kegirangan, dan seorang lagi meringis kepada sang Raja, seraya mengalah dan memohon agar bayi tersebut diserahkan saja kepada ibu yang bersorak itu. Dengan bijak, Raja Solomon memutuskan, kepada siapa bayi ini berhak untuk diberikan.. dan kasih sayang ibu yang tulus tampak nyata dalam kisah ini.

Pernahkah mendengar kisah di balik perang Vietnam-Amerika? tentang seorang perempuan yang mengandung dan melahirkan di terowongan Chu Ci. Demi menyelamatkan nasib banyak orang di lorong bawah tanah, perempuan itu rela membunuh bayinya yang baru lahir, karena saat itu, Vietnam dilarang menambah populasi penduduknya. Jika tidak, bom artileri akan menyapu bersih penduduk di lorong bawah tanah tersebut.

Di era modern, catatan kasih seorang ibu tak pernah redam diterkam zaman. Sebut saja Ibu Esti Wahyuntari yang menyelamatkan putranya dari kecelakaan kereta api. Meskipun ia harus rela kehilangan anggota keluarga lain, termasuk suaminya. Tapi kasih sayang yang refleks itu, justru tertuju kepada putranya yang masih kecil.

Pernahkah mendengar kisah inspiratif-Islami dari Ibu Wirianingsih (anggota Komisi IX DPR RI 2009/14 dari fraksi PKS), yang berhasil mendidik sepuluh anaknya menjadi hafidzul Qur'an. MasyaAllah...

Di Afganistan, seorang ibu melancarkan aksi balas dendam terhadap pasukan teroris Taliban yang telah menembak mati putranya. Perempuan itu menembak mati 25 pasukan Taliban dalam sebuah pertempuran militan yang berlangsung selama 7 jam.

MasyaAllah.. kisah-kisah tadi hanyalah segelintir dari banyaknya kisah yang tak sempat dicatat sejarah. Tentunya masih banyak sosok ibu inspiratif yang senantiasa membentangkan lautan kasih untuk putra-putrinya. Dan sebagai anak? barangkali perlulah sejenak kita menatap simpul senyum di bibir ibu, dan menyaksikan lekuk keriput yang melekat di dahinya. Dan sejenak meresapi kehangatan surgawi dari bongkahan mata seorang ibu.

Mengapa Saya Memilih LDF?

Mengapa saya memilih LDF (Lembaga Dakwah Fakultas)???

jawaban mutlaknya; karena Allah...
tapi akan saya paparkan sedikit, perjalanan menemukan jawaban itu...

Awalnya.. masuk LDF itu sesuatu yang asing, karena memang pada dasarnya, Islam hadir sebagai sesuatu yang asing di tengah kehidupan jahiliah. Masuk organisasi dakwah sebenarnya bukan sesuatu yang spontanitas. Sempat terpikir ketika SMK, sebelum akhirnya saya memilih ekskul jurnalistik, dan melepas keinginan masuk rohis.
Seperti kebanyakan naluri maba; menyeleksi daftar ormawa (atau umumnya disebut UKM, istilah anak SMA-nya ekskul) yang ingin diselancari. Kala itu, saya tertarik untuk ikut BEM, LKM, KOPMA, dan FSI-KU. Setelah fix jadi anak BEM (departemen HUMAS), seorang teman berucap; "kalau BEM itu... lebih ke duniawi. Dan FSI-KU untuk akhiratnya. Biar seimbang."
Saat itu, ada banner besar di Mesjid tercinta UNJ: Mesjid Nurul Irfan, yang isinya Open Recruitment FSI-KU. Saya baca sejenak setiap selesai wudhu. Dan tertancap sebuah nama: MCNR (Media Center N' Relationship). Kala itu, masih berpikir: mungkin gak ya?? jadi anak LDF? Sikap masih amburadul... ilmu agama masih cetek.. dan haahh.. masih banyak masih-masih yang lain...
Beberapa bulan sebelumnya, seorang teman meminjamkan buku karya Helvy Tiana Rosa yang judulnya; Ketika Mas Gagah Pergi. Dia bilang; "buku ini pas banget dibaca sama orang-orang kayak Heri." Alhasil, saya jadi penasaran. Dan... setelah baca sampai habis, saya merasa masih jauh sekali dengan karakteristik Mas Gagah yang dicitrakan sebagai Ikhwan dalam cerita itu. Tapi ajaib, saya ingin meniru tokoh tersebut. Dan mulai memasukkan nama FSI-KU ke dalam daftar ormawa yang ingin diikuti.
Setelah lama kuliah di UNJ, saya mulai melek tentang dunia kampus yang keras. Pertarungan ideologi menyelinap di tengah-tengah perkuliahan dan diskusi. Salah gaul sedikit, bisa terjerumus ke arah yang menjauhkan diri kita dari nilai-nilai keIslaman. Maka, masuk FSI-KU menjadi harga mati bagi saya untuk mereformasi iman. Saya nggak betah dengan hidup yang gini-gini ajah. Jadi umat Islam yang hanya menjalankan ritual rutin keagamaan, seperti shalat, puasa, zakat. Tahajudnya masih di musim-musim pengharapan (saat UN, SBMPTN, dan ajang lomba), jarang mengkaji Al-Qur'an, dan cuek sama perkembangan Islam.
Dan entah... sudut hati bagian mana yang menggerakkan saya untuk mengetik SMS: Daftar FSI-KU_MCNR dan blablabla. Hmm... hidayahkah?? Yang jelas, prinsip saya; jika seseorang ikut BEM, ia punya kapasitas lebih untuk berurusan dengan birokrat dan punya pengalaman mengurus event. Anak LKM terasah jiwa kritis dan kelihaian menulisnya. Anak teater jago akting dan lebih PD berekspresi di depan umum. Anak UKO lebih tangkas di bidang olahraga yang ia geluti. Dan tentu... sobat muslim punya jawaban yang homogen, jika menjadi anak FSI-KU... maka... (Silogisme ini sudah konvensional untuk dimengerti).
Barangkali, jika dulu saya masih menuruti hawa nafsu berfikir dengan perspeksi negatif; "Ahh, gak usah masuk LDF. Kalau mau Islami, secara autodidak ajah berkembangnya." Saya tidak tahu... apakah hati ini sampai untuk menjerat cintanya Allah. Apakah hati ini sanggup menebas ganasnya hidup? Jika dulu saya tidak menancapkan tombak perjuangan mereformasi iman, mungkin saat ini masih jauh dari nilai-nilai Islam. Langkah kaki ini masih amat berat untuk shalat berjamaah di Mesjid. Masih sering menyisipkan emoticon titik dua bintang kepada lawan jenis dalam hubungan sosial media. Tidak keberatan berkhalwat. Pakai celana dandy yang ketat. Masih hobi setel musik Lady Gaga, Rihanna, Eminem. Menulis cerita cinta yang kurang bermanfaat. Makan sambil berdiri. Baca Al-Qur'an kalau lagi mood doang.. dan masih banyak sederet sikap jahiliah yang tertanam dalam akhlak.
Intinya, LDF menjadi wadah untuk berdakwah. Dakwah untuk diri sendiri, keluarga, teman-teman, dan orang-orang terdekat lainnya. Buat teman-teman yang masih terombang-ambing (seperti sebongkah sekoci di lautan lepas... halaah) dalam mencari cintanya Allah. Mencari makna tersembunyi dari kata I-S-L-A-M., tak pernah ada kata terlambat selagi nafas belum di penghabisan. Jaringlah teman-teman, yang ketika kamu bersamanya, kamu lebih mengingat Allah dan menghindari kemaksiatan. dan ingatlah kawan... hidup hanya sekali, matipun sekali. Sebenarnya tak ada pilihan dalam hidup. Pilihannya hanya satu; menjadi orang baik dan shalih.

Kejarlah hidayahnya Allah... jemput dia... dan dapati dirimu dalam keadaan... tengah menangis di dua pertiga malam, untuk menyesali masa-masa jahiliah yang pernah mengisi hidupmu. Seorang teman di awal perjumpaannya mengatakan:

"setiap orang punya sejarah kelamnya masing-masing"

Kau hanya harus memilih... masa kelam itu berakhir sebagai sejarah, atau berlanjut sebagai episode kelam yang di ujungnya telah menanti; sebuah penyesalan tak bertepi.

-Semoga tulisan dari manusia yang fakir ini bisa bermanfaat....-

Jakarta, 11 Januari 2015

*berikut, link untuk membaca cerpen yang bagi saya... sangat inspiratif. Ketika Mas Gagah Pergi
 http://dunia-cerpen.blogspot.com/2007/09/oleh-helvi-tyana-rosa-mas-gagah-berubah.html


Selasa, 06 Januari 2015

Analisis Cerpen "Thank Iz" dengan Pendekatan Feminis

Cerpen Thank Iz merupakan literasi remaja yang dimuat dalam majalah sekolah KERTAS tahun 2010. Bercerita tentang tokoh utama Disya yang harus menelan manis dan pahitnya cinta yang diberikan Faiz terhadapnya. Analisis cerpen ini mengarah pada konteks karakteristik Disya dan Faiz yang merupakan hasil bentukan budaya patriarkis di kalangan remaja.
Wacana patriarkis tampak di awal pengadeganan cerpen ini, di mana tokoh Disya tak memiliki kendali penuh untuk memutuskan perkara hatinya. Kelemahan diri seorang wanita ditunjukkan lewat adanya ketidakmandirian berpikir. Citra tokoh utama terkesan unindependent woman. Sehingga menganggap cinta hanya sebatas kompromi perasaan. Mencintai Faiz, karena Faiz mencintainya. Pada awalnya, Disya mencoba berpikir sebelum memutuskan untuk menerima cinta Faiz. Namun, watak Faiz digambarkan sebagai sosok yang tidak bisa menunggu, dan menciptakan pressure terhadap olah pikir Disya. Kelemahan diri seorang wanita ditampilkan lewa narasi yang menceritakan rasa kagum tersembunyi Disya pada kakak kelasnya, Zakki. Sebuah rasa yang harus terkubur dalam dan dihempas bersama dengan datangnya cinta Faiz. Ketidakmampuan wanita untuk "take control" menjadi lahan kepenulisan dari narasi ini. Bagaimana sebuah kultur yang berjenjang (hierarkis) membuat wanita tidak memiliki kesempatan untuk memilih, atau sekadar menyatakan kekaguman. Karena, telah lebih dulu muncul rasa tabu bagi seorang wanita untuk menunjukkan perasaannya. Alhasil, Disya tak memiliki otoritas untuk mengkontruksi kisah cintanya sendiri. Mulai dari ia harus membuang jauh-jauh rasa cintanya pada Zakki, sampai ia harus menerima dengan setengah hati cinta yang dihadirkan Faiz. Jadilah Disya sebagai korban ketidaksetaraan gender.
Tokoh Disya yang lebih tertutup dalam menjaga rahasia hubungannya dengan Faiz berbeda seratus delapan puluh derajat dengan sikap Faiz. Faiz digambarkan lebih terbuka dan acapkali mengirim sms, atau mendekati Disya di jam istirahat. Sehingga kendali relasi komunikasi ada di tangan Faiz. Karakteristik yang tidak setara kembali ditonjolkan. Di mana tokoh wanita dicitrakan pasif, dan tokoh pria dicitrakan aktif.
Pada struktur cerita berikutnya, terdapat penggalan yang memunculkan ketidakberdayaan wanita di bawah kekuasaan pria, mengenai hubungan Disya dan Rafi. Mulai dari wacana Disya meminta izin kepada Faiz untuk pulang bareng dengan teman lesnya, Rafi. Sampai pada terpurukmya Disya pada rasa bersalah. Sehingga memunculkan kesan, wanita harus lebih tunduk di bawah otoritas pria. Maka, lagi-lagi hierarki gender muncul dalam cerpen ini.
Sisi kelemahan diri tokoh utama  kembali diperlihatkan lewat adanya serangan mental pasca ia memutuskan relasi cinta dengan Faiz. Kemampuan Faiz membangun suasanan dramatis telah menunjukkan  adidaya dirinya dalam menyetir alur kisah cinta bersama Disya. Secara masif, orang-orang menghujat dan memojokkan Disya lewat ketangkasan Faiz dalam menjaring simpati. Disya digambarkan tak berdaya dan hanya bisa curhat pada temannya. Tak ada kesan meninggikan harga diri dalam benak Disya. Ia terlalu mudah terjebak dalam kubangan rasa bersalah. Padahal, rasa bersalah tersebut merupakan hasil settingan Faiz yang memanfaatkan kelemahan diri Disya, ditambah oleh rasa gengsi (prestise) karena diputuska oleh gadis itu. Maka, asumsi kehancuran hidup Faiz lahir dari pertautan rasa lemah diri Disya dan energi prestise-egoisme dalam diri Faiz.
Karakteristik Disya semakin diperlemah dan masuk zona hierarki dasar, manakala tokoh Faiz berhasil menipu dirinya. Dan memiliki kompetensi untuk melupakan cintanya pada Disya dengan cara menjalin hubungan dengan Yesi. Saat itu juga, tanpa sadar, penulis telah meruntuhkan daya proteksi harga diri tokoh Disya. Tokoh Disya terkesan sebagai tokoh yan menjadi korban karena kelemahan dalam dirinya. Dan kelemahan itu merupakan hasil bentukan dari budaya patriarki.
Di paragraf akhir dalam cerpen ini, diceritakan sebuah narasi yang merupakan ungkapan dan perasaan Disya setelah memuntahkan emosinya lewat kata-kata. Ia puas, karena telah menusuk hati Faiz dengan cercaan yang sifatnya elegan, dalam artian tidak terlalu emosional. Namun, memberi kesan kepasrahan yang berlebih. Seolah, cara wanita meluapkan emosinya hanya dalam bentuk kata-kata yang ketar-ketir di udara. Lalu, berhasil membuat lawan bicara tertunduk malu. Tapi lebih dari itu, emosi sakit hati dan rasa kesal Disya tak tersalurkan seratus persen. Sisanya mesti ditelan dalam kepahitan luka. Dia merasa dirinya tak punya kapasitas untuk membalas perilaku Faiz secara lebih ekstrem dan setimpal. Menunjukkan ciri perempuan yang lebih pemaaf dan rela untuk disakiti.
Secara keseluruhan, Cerpen Thank Iz menampakkan sisi kelemahan diri wanita dalam membuat putusan, sehingga menimbulkan kerisauan yang sulit tersalurkan, karena adanya tata nilai mengekal dalam budaya patriarkis. Dan kelemahan diri itu semakin menebal lewat karakteristik pemaaf dan terlalu pasrah menerima penipuan dan menelan hidangan rasa sakit yang disajikan oleh otoritas kekuasaan pria dalam hierarki gender tanpa dasar hakiki.

*Dibuat sebagai pemenuhan tugas akhir mata kuliah Kajian Prosa Fiksi