Remang, mataku berkunang, cahaya menjauh. Hilang. Kuingat-ingat kembali, sudah berapa cambukan mendarat di punggungku. Mungkin 50,_atau mungkin juga 59.
***
Kau tahu??
Sejak tahun 2049, kota ini telah kehilangan pesonanya. Menara angkuh yang
melambangkan romantisisme itu telah ambruk. Bahkan bangkai besinya telah lama
terkubur di dalam kerak bumi, sebagian dicuri imigran gelap. Di kota ini kau
takkan pernah temui peradaban. Semua infrastruktur telah hangus terbakar,
membelah diri menjadi bongkahan hitam dan gelap. Pepohonan kering, hanya
tinggal batang, yang diam-diam mencoba bertahan dari serangan matahari di musim
panas. Para model dunia gelagapan, sekarang fashion bukan lagi hal
penting, menyusul tragedi yang menimpa Paris, tanggal 9 September 2049.
“Ini
konspirasi paling mematikan sepanjang sejarah peradaban manusia!” Kalimat itu
diucapkan dengan berapi-api oleh presiden Amerika. Ia sendiri yang memimpin
penyelidikan kasus di Paris. Sebab negara-negara Eropa lain masih shock
dengan bunyi ledakan beruntun yang memecah langit Eropa.
Semua berawal
ketika dunia ini tak lagi jujur membuat kisah hidupnya. Amarah, kebencian, duka, dendam, adalah
seringai yang melatari kehidupan ini. Atau paling tidak, kehidupanku. Aku benci
Paris, karena itulah aku mengebomnya. Atau lebih tepatnya meletakkan
titik-titik benda eksplosif yang tersebar ke seluruh penjuru kota ini.
Mula-mula aku menjual marshmallow secara gratis dalam waktu dua hari. Bom
itu akan bersarang di lambung mereka, atau tertinggal di kloset, di mana saja
yang penting tersebar. Seperti dalam permainan mineswepper. Setelah itu,
kubiarkan bom waktunya bekerja. Dan hasilnya tepat sasaran. Kudengar dari
siaran di kota New York, Paris hangus diguncang bom. Beruntung, aku sudah
pulang ke negara asal. Sebab, aku sudah tahu, bahwa kota itu akan mengalami
kekacauan.
Kau tahu?
Mengapa aku mengebom kota itu? Kota yang begitu penting bagi Perancis. Itu karena
aku ini psikopat. Di negeriku, sangat banyak orang-orang yang memilih hidup
sebagai psikopat. Karena kau tak mesti merasa bersalah jika membunuh orang.
Tapi mengapa Paris yang menjadi korbannya? Itu karena ia mengusirku. Ia
mengusirku sebelum aku menemukan anakku yang hilang di taman bermain. Kejadiannya
empat tahun yang silam. Saat itu, orang-orang di sana tak ada yang bisa
berbahasa Inggris. Mereka justru menudingku gila, dan pengganggu. Sangat tidak
ramah. Sampai akhirnya, aku dideportasi. Semenjak kejadian itu, aku menjadi
kehilangan akal.
Aku bisa
bernafas lega. Dan telah siap dengan sejumlah pasport beragam negara
tujuan. Agar aku bisa melompat-lompat dari satu negara ke negara lain, sampai
mentok, ditangkap, diadili, dan dieksekusi. Lagipula, para intel itu takkan
berburu teroris di Amerika, mereka akan memburunya ke Afghanistan, Yaman, Iraq,
atau Pakistan. Yang jelas, aku puas sekali sudah membuat negeriku sendiri
bingung mencari tahu siapa pelaku teroris sebenarnya? Sebab, semua ini begitu
spontanitas, tanpa rencana, bukan bagian konspirasi seperti yang pernah terjadi
pada tragedi WTC. Sehingga, para agen konspirasi sibuk mencari celah untuk
memfitnah umat muslim. Di lain sisi, mereka harus mengungkap kebenaran, bukan
menuding satu pihak.
Tujuh bulan
berlalu.. Paris masih sunyi. Kosong. Seperti kota kematian. Aku tak percaya
kota itu benar-benar menjadi sepi. Penyelidikan terus berlangsung, meskipun
buntu.
Kepolisian
Perancis nyaris gila menangani kasus ini. Tapi FBI tak pernah lelah mencari.
Mereka terus mengumpulkan bukti-bukti, mengintai jejak dan keanehan yang
terjadi. Hingga didapati fakta mengerikan; bahwa bom itu berasal dari marshmallow
yang tersebar di 87.563 titik di kota Paris dan sekitarnya. Mampu
meledakkan dirinya secara bersamaan dengan jarak semburan 30 meter.
Sial! Mereka
akan tahu siapa pelakunya! Kupastikan sekali lagi bahwa mereka mencari di
Afghanistan.. Yaman.. dan Iraq.. Aku yakin, mereka akan berusaha mati-matian
agar pelaku teror ini adalah muslim. Bagaimanapun caranya harus muslim.
Kalaupun bukan muslim, ada benda-benda yang bisa direkayasa agar pelakunya
terkesan muslim. Biasanya Amerika dan Perancis sudah bergandengan tangan dalam
masalah ini. Tapi keadaan serba mendadak, spontanitas. Dan tentu saja, Perancis
takkan terima, sebab lambang kemegahannya telah hancur berkeping-keping, sebab
di sanalah pusat marshmallow durjana itu dijual. Baginya, lebih
baik menemukan pelaku asli, daripada pelaku buatan, hasil konspirasi.
Tiga puluh
menit setelah pemberitaan, tiga orang agen FBI menggerebek apartemenku.
Kupikir, ini akan menjadi detik-detik yang dramatis, penuh dengan sorotan media.
Mobil-mobil polisi yang parkir di depan gerbang, anjing pelacak, helicopter
yang bermanuver di langit New York. Tapi semua berlalu begitu saja. Nyaris
hening. Aku pasrah. Tanpa perlawanan. Sebab aku ini psikopat.
Di ruang
investigasi, aku dihujani tatapan sinis. Setiap orang di ruangan ini, berhasrat
untuk membunuhku. Di atap kepalaku ada cahaya yang nyaris redup. Ruangan ini
sempit, tapi cahaya lampu tidak berhasil menjangkau setiap sudutnya.
“Apa benar?
Pada tanggal 6 September 2049, anda berada di Kota Paris, Perancis?”
“Ya” jawabku
ringan. Tak berniat untuk mengelak sedikitpun.
“Apa benar?
Anda membagikan marshmallow secara gratis? Di taman dekat menara Eiffel?”
“Ya!”
“Mengapa anda
melakukannya?!”
“Karena dengan
cara itulah.. orang-orang mau mendekati turis yang tidak bisa berbahasa
Perancis ini. Mereka mendadak melirikku. Aku hanya perlu berteriak gratuit guimauve.”
“Dan mengapa
anda meninggalkan bom di setiap marshmallow yang anda bagikan?!”
“Karena aku
psikopat. Dan aku bebas berekspresi!”
“Tidak ada
psikopat yang sanggup melakukan aksi radikal semacam ini. Bicaralah! Bahwa ada
sekelompok orang yang bermain di belakangmu!”
Aku nyengir.
Buggh!
Seseorang
meninjuku.
“Bagaimana kau
bisa melakukan semua hal gila ini?”
“Semua hal
gila gampang sekali dilakukan. Ini 2049. Sistem pertahanan negara kalah canggih
dengan pelaku teror. CCTV, sensor, GPS Tracker, wireless push video, semua bisa
dikibuli!”
Polisi
dihadapanku geleng-geleng kepala.
“Kau bukan
psikopat!” Ucapnya tajam.
Beberapa detik
ia berbisik dengan rekannya. Salah seorang pergi ke luar.
“Apa tujuan
anda?!”
“Tidak penting
apa tujuanku!”
Buggh!
Ctaakk
Kali ini bonus
pecutan di bagian punggung.
“Mengapa harus
9 September?”
“Karena
kupikir.. itu adalah hari konspirasi internasional..”
“Ooh.. jadi
ini adalah konspirasi? Ada operasi senyap di balik semua ini? Coba, terangkan
pada kami!”
“Tidaak..
Tidak.., Aku memang seorang Amerika, tapi aku tidak suka berkonspirasi!”
“Bicara yang
jujur!”
“Apa kau tidak
belajar ilmu jiwa lewat sorotan mata? Atau mungkin.. kau polisi amatir?!”
“Kurang ajar!”
Buggh!
“Pecut dia!
sampai kalian bosan!”
Ctakk...
Ctakk...
***
Remang, mataku
berkunang.. cahaya menjauh. Hilang.Kuingat-ingat kembali, sudah berapa cambukan
mendarat di punggungku.
Mereka
memaksaku berdiri, lalu melepas tubuhku ke kursi. Aku hampir sempoyangan.
Sampai akhirnya salah seorang dari mereka berucap.
“Aku punya
penawaran untukmu.”
Aku tak
merespon, hanya berusaha menatap wajah yang mengajakku berbicara.
“Kau bisa saja
lepas dari hukuman mati, dan mengasingkan diri ke negara lain.. asalkan..”
Kutatap
matanya tajam. Dia tersenyum kecut.
Hening
seketika.
“Katakan di
pengadilan Perancis..!” Katanya kemudian. Aku menelan ludah. “Katakan.. bahwa
kau adalah seorang muslim, dan bagian dari Al Qaidha..”
Aku tertegun,
lalu perlahan-lahan tersenyum licik di antara darah dan keringat yang mengucur
deras.
***

Tidak ada komentar:
Posting Komentar