Hukuman mati. Sebuah kompositum yang mengerikan. Berdengung di balik dinding kelam penjara, dan mungkin menjadi jalan terakhir menumpas kriminalitas. Begitulah yang sering orang awam inginkan. Mereka berkicau; pelaku pedofilia harus dihukum mati. Pelaku korupsi juga harus dihukum mati. Gembong teroris harus dihukum mati. Dan berbagai retorika ekstremis lainnya. Lantas, apakah sebuah eksekusi mati menjadi solusi paling jitu demi melibas kriminalitas sampai ke akarnya.
Berbagai argumen dilontarkan seputar relevansi antara pemberian hukuman mati (death punishment) dengan penurunan angka kriminalitas. Memang, hanya pelaku kejahatan berat sajalah yang harus dihukum mati. Tentu kita masih ingat, ketika media menampilkan detik-detik Imam Samudra (dkk), pelaku bom bali, meringkuk dalam perjemputan kematian. Menanti malaikat maut mengantarkan pelor berderik di jantung. Itu adalah harga dari sebuah kejahatan berat. Namun, apakah cukup sampai disitu? Apakah garis kultural terorisme putus tak tersisa. Apakah gembong teroris lenyap? Tentu, eksekusi mati bukanlah jalan yang visioner. Eksistensi terorisme justru merebak dengan gerakan yang pasif, tapi membahayakan.
Dalam hukum Islam sendiri yang banyak diterapkan negara-negara Timur Tengah, hukuman mati memang diterapkan pada beberapa aturan. Seperti perzinahan, pembunuhan berat, dan lain sebagainya. Namun, penerapan hukuman mati di Indonesia memang masih menuai kontroversi. Apalagi jika penetapan hukuman mati hanya sebatas pelampiasan dari rasa kekesalan. Contohnya, ketika ada pejabat yang korupsi, dengan dalih telah menyengsarakan rakyat, dan menyisakan kelaparan pada rakyat kecil. Atau pada titik yang paling ekstrem, perspeksi bahwa koruptor telah membunuh rakyat kecil lewat jalur kelaparan.
Meski begitu, negara ini terikat pada suatu Hak Asasi Manusia, termasuk di dalamnya Hak Untuk Hidup. Lantas, bukankah para pelaku tindak kriminal tingkat tinggi sejatinya memiliki hak untuk hidup. Sebuah pemberian kesempatan dengan upaya preventif yang lebih diprioritaskan. Bukan sekadar mencari solusi lewat jalan yang menebas garis Hak Asasi Manusia.
Bicara soal hukum, atau hukuman mati, yang paling tragis adalah ketika sekelompok Densus 88 menggerebek kelompok bersenjata yang diduga teroris di Ciputat, hingga menewaskan beberapa orang dari kelompok tersebut. Tanpa mengindahkan istilah azas praduga tak bersalah, densus 88 menjadi algojo yang mengantarkan sekelompok orang tersebut menuju destinasi terakhirnya. Memang semua itu adalah upaya untuk menumpas terorisme dan bentuk proteksi diri maksimal. Namun hasil yang ditimbulkan telah menyisakan luka batin yang mendera kualitas hukum Indonesia. Maka sekali lagi, jika hukuman mati menjadi solusi, lantas hendak dikemanakan hak untuk hidup individu?? Apakah nyawa telah masuk ke dalam perdagangan bebas dengan nilai nominal yang bebas pula ditentukan individu lain??
Berbagai argumen dilontarkan seputar relevansi antara pemberian hukuman mati (death punishment) dengan penurunan angka kriminalitas. Memang, hanya pelaku kejahatan berat sajalah yang harus dihukum mati. Tentu kita masih ingat, ketika media menampilkan detik-detik Imam Samudra (dkk), pelaku bom bali, meringkuk dalam perjemputan kematian. Menanti malaikat maut mengantarkan pelor berderik di jantung. Itu adalah harga dari sebuah kejahatan berat. Namun, apakah cukup sampai disitu? Apakah garis kultural terorisme putus tak tersisa. Apakah gembong teroris lenyap? Tentu, eksekusi mati bukanlah jalan yang visioner. Eksistensi terorisme justru merebak dengan gerakan yang pasif, tapi membahayakan.
Dalam hukum Islam sendiri yang banyak diterapkan negara-negara Timur Tengah, hukuman mati memang diterapkan pada beberapa aturan. Seperti perzinahan, pembunuhan berat, dan lain sebagainya. Namun, penerapan hukuman mati di Indonesia memang masih menuai kontroversi. Apalagi jika penetapan hukuman mati hanya sebatas pelampiasan dari rasa kekesalan. Contohnya, ketika ada pejabat yang korupsi, dengan dalih telah menyengsarakan rakyat, dan menyisakan kelaparan pada rakyat kecil. Atau pada titik yang paling ekstrem, perspeksi bahwa koruptor telah membunuh rakyat kecil lewat jalur kelaparan.
Meski begitu, negara ini terikat pada suatu Hak Asasi Manusia, termasuk di dalamnya Hak Untuk Hidup. Lantas, bukankah para pelaku tindak kriminal tingkat tinggi sejatinya memiliki hak untuk hidup. Sebuah pemberian kesempatan dengan upaya preventif yang lebih diprioritaskan. Bukan sekadar mencari solusi lewat jalan yang menebas garis Hak Asasi Manusia.
Bicara soal hukum, atau hukuman mati, yang paling tragis adalah ketika sekelompok Densus 88 menggerebek kelompok bersenjata yang diduga teroris di Ciputat, hingga menewaskan beberapa orang dari kelompok tersebut. Tanpa mengindahkan istilah azas praduga tak bersalah, densus 88 menjadi algojo yang mengantarkan sekelompok orang tersebut menuju destinasi terakhirnya. Memang semua itu adalah upaya untuk menumpas terorisme dan bentuk proteksi diri maksimal. Namun hasil yang ditimbulkan telah menyisakan luka batin yang mendera kualitas hukum Indonesia. Maka sekali lagi, jika hukuman mati menjadi solusi, lantas hendak dikemanakan hak untuk hidup individu?? Apakah nyawa telah masuk ke dalam perdagangan bebas dengan nilai nominal yang bebas pula ditentukan individu lain??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar