mimpi-mimpiku

Rabu, 15 Februari 2017

Sastra dan Islam

Sastra; adalah sebuah ungkapan realita kehidupan. Potret dari suatu kenyataan, yang digubah dalam bentuk cerita/puisi/drama,_dalam penceritaannya inilah, tergantung pada idealisme pengarang. Sastra, adalah mesin persebaran pengaruh. Distribusi pemikiran dari satu tokoh ke tokoh lain, dan kepada khalayak pembaca. Sebab itulah, lekra dan manifes kebudayaan sempat berseteru. Karena ada unsur benturan budaya di dalamnya. Benturan idealisme. Golongan kanan dan golongan kiri. Ada unsur perang dingin di dalamnya.
Kebanyakan sastrawan, memiliki kecenderungan berpikir filosofis. Inilah modal penting untuk membuka cakrawala pemikiran. Karakter bakat yang mendukung bernama intellection, naluri menyendiri untuk menemukan konsep-konsep berpikir. Contoh sederhana, mengapa hujan itu tajam seumpama jarum-jarum yang berjatuhan. Lalu dengan filosofi liar, sang pegiat sastra akan membuat cerita tentang rasa sakit karena cinta, membuat hujan ini terasa tajam menikam dada.
Inti dari filosofi yang dibuat adalah tentang bagaimana analogi kehidupan diseret masuk ke dalam analogi kata, metafor-metafor segar, dan mungkin serangkaian gaya bahasa yang ada. Semua bermodalkan kemampuan berpikir filosofis. Makna terdalam yang ada pada suatu peristiwa. Filosofi hujan yang tajam itu baru potongan kata. Belum menjurus pada satu dimensi cerita secara keseluruhan. Misalnya dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis, makna terdalam dari ide cerita tersebut kental dengan konsep teologi Islam. Berawal dari konsep teologi itu, sampai diolah ke dalam bentuk prosa, (jujur) bukan main susahnya.
Lantas, bagaimana Islam menempatkan diri dalam sastra. Bagaimana sastra dan Islam bersatu membangun kekuatan melawan dampak benturan budaya. Meskipun dalam perkembangannya, sangat sulit membendung hegemoni sastra berhaluan porno, atau penanaman ideologi nyeleneh, dan penyesatan akidah. Kita pernah disuguhkan oleh panasnya pertarungan antara Taufik Ismail, yang cenderung berhaluan Islam, dengan aktivis liberalisme sastra; Ayu Utami. Dan pada akhirnya, novel vulgar sekaliber Saman tetap menjadi barang legal untuk dibaca publik. Untungnya novel ini memang berkelas.
Setidaknya, ada dua hal yang menjadikan sastra, berbahaya bagi konsumsi publik non idealis (mereka yang tak punya prinsip hidup jelas/yang masih bisa diutak-atik ideologinya). Pertama, sastra lahir dari pemikiran filosofis. Kedua, sastra menyelipkan unsur idealisme di dalamnya. Selama sang sastrawan adalah pemilik akal yang jernih, setidaknya dia akan berpikir ulang untuk membuat karya-karya non-esensial bagi perkembangan dunia. Hal inilah yang kemudian mengubah gaya penulisan puisi WS Rendra untuk selamanya, semenjak sosok Rendra menjadi tipe sastrawan religius dan nasionalis. Pikiran jernih, yang menentukan ide cerita, konsep-konsep berpikir yang di luar dari jalur nyeleneh. Karena itulah saya masih berpikir, kalau buat tulisan sekelas Harry Potter, atau Percy Jackson, kontribusi apa yang bisa saya berikan pada dunia, di luar dari segmen hiburan dan pemantik imajinasi. Tentu, pengarang fantasi takkan pernah meraih nobel lewat karya super idealis, sementara kemiskinan berada di sampingnya. Inilah barangkali yang membuat, karya sastra negara-negara berkembang lebih jujur, daripada negara-negara kaya di luar sana.
Setiap karya sastra, harusnya memiliki unsur idealisme di dalamnya. Walaupun tidak semua penulis punya maksud dan tujuan khusus dalam penulisan karya. Bolehlah, sekali-kali kita merasa sok pintar membongkar ideologi dalam novel atheis, ayat-ayat cinta, atau parasit lajang. Dalam atheis, dari judulnya sudah berasa kesan horor. Tapi narasi-narasi di dalamnya, juga cuplikan dialog pada adegan-adegan diskusi ketuhanan lebih menjurus pada pencerdasan. Penggambaran tentang bobroknyapemikiran ‘beriman untuk tidak meyakini Tuhan’. Bagaimanapun, novel ini dibuat tahun 1950-an, berarti di era itu, gejala penyesatan akidah sudah sangat merajalela. Beruntung ada sosok AK. Mihardja yang berjuang dengan penanya.
Kita beralih ke yang lebih kekinian. Ayat-Ayat Cinta. Yang jelas, novel ini seperti penyeimbang dengan maraknya karya-karya yang tidak sejalan dengan Islam. Sehingga AAC muncul sebagai alat reparasi ideologi Islam. Di awal, sudah menceritakan tentang dahsyatnya Al-Qur’an. Jelas sekali, muatan dakwah bertaburan dalam novel ini. Citra Islam dibangun lewat karakter tokoh utama. Walaupun akhirnya, idealisme dalam novel ini dijegal dalam filmnya sendiri. Sebab film AAC tidak memiliki spirit dakwah yang sama. Paling tidak, novel ini menjelaskan Islam secara lebih terbuka, langsung, tidak samar-samar dan terlalu filosofis seperti novel Khotbah Di Atas Bukit.
Untuk parasit lajang, saya sarankan, bagi anda yang belum punya pemahaman tentang makna hidup, jangan baca kumpulan esai ini dulu. Apalagi bagian-bagian akhir. Tentang sejumlah pertanyaan sang penulis yang pada intinya menjerumus ke arah; tidak mensyukuri hidup. Seorang yang tahu sepak terjang Ayu Utami, tentu sadar, ke mana arah ideologi itu di bawa dalam setiap detail karyanya.
Inti dari tulisan ini adalah, dari dua hal pokok di atas, sangat penting bagi siapapun yang ingin memperjuangkan idealismenya untuk bermain di ranah sastra. Jika novel 5 cm menjadi pelopor gaya hidup hiking, novel Dealova membuat kesan keren pada anak basket, dan novel Laskar Pelangi melahirkan gelora para pejuang pendidikan, maka kita juga butuh karya – karya yang mengklarifikasi kedatangan Islam di Indonesia, membongkar kasus pembantaian muslim Bosnia, atau tragedi mengerikan Mavi Marmara, pembelaan atas tuduhan Islam intoleran, perkembangan Islam di Eropa, dan apa saja,_yang harus dunia tahu. Ada banyak kisah dan kebenaran yang perlu dibongkar, dan setahu saya, sastra lebih jujur dalam mengungkap kebenaran itu, daripada surat kabar harian.

***




Tidak ada komentar:

Posting Komentar