Sastra; adalah sebuah ungkapan realita kehidupan. Potret
dari suatu kenyataan, yang digubah dalam bentuk cerita/puisi/drama,_dalam
penceritaannya inilah, tergantung pada idealisme pengarang. Sastra, adalah
mesin persebaran pengaruh. Distribusi pemikiran dari satu tokoh ke tokoh lain,
dan kepada khalayak pembaca. Sebab itulah, lekra dan manifes kebudayaan sempat
berseteru. Karena ada unsur benturan budaya di dalamnya. Benturan idealisme.
Golongan kanan dan golongan kiri. Ada unsur perang dingin di dalamnya.
Kebanyakan sastrawan, memiliki kecenderungan berpikir
filosofis. Inilah modal penting untuk membuka cakrawala pemikiran. Karakter
bakat yang mendukung bernama intellection,
naluri menyendiri untuk menemukan konsep-konsep berpikir. Contoh sederhana,
mengapa hujan itu tajam seumpama jarum-jarum yang berjatuhan. Lalu dengan
filosofi liar, sang pegiat sastra akan membuat cerita tentang rasa sakit karena
cinta, membuat hujan ini terasa tajam menikam dada.
Inti dari filosofi yang dibuat adalah tentang bagaimana
analogi kehidupan diseret masuk ke dalam analogi kata, metafor-metafor segar,
dan mungkin serangkaian gaya bahasa yang ada. Semua bermodalkan kemampuan
berpikir filosofis. Makna terdalam yang ada pada suatu peristiwa. Filosofi
hujan yang tajam itu baru potongan kata. Belum menjurus pada satu dimensi
cerita secara keseluruhan. Misalnya dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis, makna terdalam dari ide
cerita tersebut kental dengan konsep teologi Islam. Berawal dari konsep teologi
itu, sampai diolah ke dalam bentuk prosa, (jujur) bukan main susahnya.
Lantas, bagaimana Islam menempatkan diri dalam sastra.
Bagaimana sastra dan Islam bersatu membangun kekuatan melawan dampak benturan
budaya. Meskipun dalam perkembangannya, sangat sulit membendung hegemoni sastra
berhaluan porno, atau penanaman ideologi nyeleneh, dan penyesatan akidah. Kita
pernah disuguhkan oleh panasnya pertarungan antara Taufik Ismail, yang
cenderung berhaluan Islam, dengan aktivis liberalisme sastra; Ayu Utami. Dan
pada akhirnya, novel vulgar sekaliber Saman tetap menjadi barang legal untuk
dibaca publik. Untungnya novel ini memang berkelas.
Setidaknya, ada dua hal yang menjadikan sastra, berbahaya bagi
konsumsi publik non idealis (mereka yang tak punya prinsip hidup jelas/yang
masih bisa diutak-atik ideologinya). Pertama, sastra lahir dari pemikiran
filosofis. Kedua, sastra menyelipkan unsur idealisme di dalamnya. Selama sang
sastrawan adalah pemilik akal yang jernih, setidaknya dia akan berpikir ulang
untuk membuat karya-karya non-esensial bagi perkembangan dunia. Hal inilah yang
kemudian mengubah gaya penulisan puisi WS Rendra untuk selamanya, semenjak
sosok Rendra menjadi tipe sastrawan religius dan nasionalis. Pikiran jernih,
yang menentukan ide cerita, konsep-konsep berpikir yang di luar dari jalur
nyeleneh. Karena itulah saya masih berpikir, kalau buat tulisan sekelas Harry
Potter, atau Percy Jackson, kontribusi apa yang bisa saya berikan pada dunia,
di luar dari segmen hiburan dan pemantik imajinasi. Tentu, pengarang fantasi
takkan pernah meraih nobel lewat karya super idealis, sementara kemiskinan
berada di sampingnya. Inilah barangkali yang membuat, karya sastra
negara-negara berkembang lebih jujur, daripada negara-negara kaya di luar sana.
Setiap karya sastra, harusnya memiliki unsur idealisme di
dalamnya. Walaupun tidak semua penulis punya maksud dan tujuan khusus dalam
penulisan karya. Bolehlah, sekali-kali kita merasa sok pintar membongkar
ideologi dalam novel atheis, ayat-ayat cinta, atau parasit lajang. Dalam
atheis, dari judulnya sudah berasa kesan horor. Tapi narasi-narasi di dalamnya,
juga cuplikan dialog pada adegan-adegan diskusi ketuhanan lebih menjurus pada
pencerdasan. Penggambaran tentang bobroknyapemikiran ‘beriman untuk tidak
meyakini Tuhan’. Bagaimanapun, novel ini dibuat tahun 1950-an, berarti di era
itu, gejala penyesatan akidah sudah sangat merajalela. Beruntung ada sosok AK.
Mihardja yang berjuang dengan penanya.
Kita beralih ke yang lebih kekinian. Ayat-Ayat Cinta. Yang
jelas, novel ini seperti penyeimbang dengan maraknya karya-karya yang tidak
sejalan dengan Islam. Sehingga AAC muncul sebagai alat reparasi ideologi Islam.
Di awal, sudah menceritakan tentang dahsyatnya Al-Qur’an. Jelas sekali, muatan
dakwah bertaburan dalam novel ini. Citra Islam dibangun lewat karakter tokoh
utama. Walaupun akhirnya, idealisme dalam novel ini dijegal dalam filmnya
sendiri. Sebab film AAC tidak memiliki spirit dakwah yang sama. Paling tidak,
novel ini menjelaskan Islam secara lebih terbuka, langsung, tidak samar-samar
dan terlalu filosofis seperti novel Khotbah Di Atas Bukit.
Untuk parasit lajang, saya sarankan, bagi anda yang belum
punya pemahaman tentang makna hidup, jangan baca kumpulan esai ini dulu.
Apalagi bagian-bagian akhir. Tentang sejumlah pertanyaan sang penulis yang pada
intinya menjerumus ke arah; tidak mensyukuri hidup. Seorang yang tahu sepak
terjang Ayu Utami, tentu sadar, ke mana arah ideologi itu di bawa dalam setiap
detail karyanya.
Inti dari tulisan ini adalah, dari dua hal pokok di atas,
sangat penting bagi siapapun yang ingin memperjuangkan idealismenya untuk
bermain di ranah sastra. Jika novel 5 cm menjadi pelopor gaya hidup hiking, novel Dealova membuat kesan
keren pada anak basket, dan novel Laskar Pelangi melahirkan gelora para pejuang
pendidikan, maka kita juga butuh karya – karya yang mengklarifikasi kedatangan
Islam di Indonesia, membongkar kasus pembantaian muslim Bosnia, atau tragedi
mengerikan Mavi Marmara, pembelaan atas tuduhan Islam intoleran, perkembangan
Islam di Eropa, dan apa saja,_yang harus dunia tahu. Ada banyak kisah dan
kebenaran yang perlu dibongkar, dan setahu saya, sastra lebih jujur dalam mengungkap
kebenaran itu, daripada surat kabar harian.
***