mimpi-mimpiku

Selasa, 01 April 2014



Darah Juang di Bumi Syam

Ketika hembusan nafas demokrasi menderu di pelosok-pelosok negeri. Ketika semua bangsa lantang meneriakkan Hak Asasi Manusia, dan api kemerdekaan berkobar menghanguskan kolonialisme, jauh di belahan dunia sana, ada sebuah negeri di Jazirah Arab yang tengah berteriak lirih.
Suriah. Sejak tahun 2011 silam, negeri ini dihimpit problematika politik yang menyengsarakan warga sipil. Bahkan politik bukan satu-satunya akar permasalahan, tapi sesuatu yang sangat sensitif, yang berbau ideologi agama. Antara aliran yang satu dengan yang lain. Antara sunni dan syiah, yang berujung pada perang saudara.
Bermula dari sebuah rezim otoriter Bashar Al Assad yang menegakkan tampuk kepemimpinan sejak tahun 2000. Gaya pemerintahan yang diktator membuat rakyat kecewa terhadap Bashar Al Assad. Puncaknya adalah ketika ada seorang anak Suriah menuliskan kata-kata di tembok tentang Al-Assad. Lalu, anak tersebut dibawa oleh tentara Al Assad dan mendekam dalam kursi interogasi. Kulitnya dikelupas, dan disiram cairan yang mengiritasi kulit. Meninggalkan rasa perih yang luar biasa.
Semenjak itu, segenap rakyat Suriah melakukan kudeta demi menggulingkan kekuasaan Al-Assad. Satu hal yang membuat mereka gerah dengan pemerintahan Al Assad adalah penegakkan Islam Syiah yang dinilai sesat dan kejam terhadap penganut Islam Sunni. Bagi mereka, membunuh penganut Sunni adalah sebuah implementasi ibadah yang melahirkan pahala. Maka, terjadilah pembantaian umat Islam Sunni di Suriah yang tak mengenal batasan usia. Anak-anak kecil dipenggal kepalanya. Perempuan-perempuan muslimah diperkosa dan dirobek harga dirinya. Para pejuang perang dieksekusi mati. Hanya di negeri inilah, semua orang dipaksa melepas syariat agamanya, menanggalkan semua atribut-atribut keIslaman yang hakiki, dan menjunjung tinggi Bashar Al Assad.
Revolusi Suriah adalah bentuk revolusi yang universal, dengan tujuan menyatukan umat Islam dunia dalam naungan khilafah. Sebuah sistem pemerintahan di kalangan umat Islam dengan berdaulat pada satu pemimpin. Ternyata, revolusi ini dipandang sebagai ancaman bagi bangsa barat yang dengki jika umat Islam seluruh dunia bersatu. Maka, cara paling ampuh untuk membunuh mimpi rakyat Suriah adalah dengan membinasakan mereka lewat jalur perang saudara. Sungguh, sebuah kelicikan yang tak mengenal batas kemanusiaan.
Di Suriah, ribuan jasad tergeletak bersimpah darah. Anak-anak kehilangan orang tua. Orang tua kehilangan anak. Tak lagi ada ruang untuk merasakan kedamaian. Setiap detik di Suriah adalah kecemasan akan kematian. Bangunan-bangunan ibadah Mesjid di bom dan dihancurkan. Situs bersejarah ‘makam Khalid bin Walid’, sang pahlawan Islam dihancur leburkan rezim Al Assad. Sungguh, kekejaman yang menyiksa psikologis umat muslim.
Pada saat yang sama, dua negara adidaya, Cina dan Rusia ikut menambah deretan kesengsaraan warga Suriah. Hanya demi kepentingan akan sumber daya minyak yang melimpah di negeri tersebut dan tentunya, menghancurkan persatuan Islam. Perserikatan Bangsa-Bangsa tak banyak berperan dan tak tegas melibas kendali Amerika Serikat yang sentimen terhadap umat Islam. Organisasi itu hanyalah sebuah simbol ketidakadilan dunia. Organisasi yang berat sebelah dalam bertindak. Organisasi yang hanya menjadi boneka Amerika Serikat, dan entah sampai kapan, PBB diam melihat anak-anak Suriah dipenggal seperti binatang. Di negeri ini, keadilan hanyalah bola-bola mimpi yang terguling dalam lembah kekuasaan.
Meski begitu, rakyat Suriah tak gentar membela kebenaran. Mereka berjuang menegakkan Islam yang hakiki. Mereka tak peduli bangsa barat menancapkan label teroris di dada mereka. Api semangat yang berkobar di batin mereka adalah senjata paling ampuh untuk menebas kekejaman rezim Al Assad. Mereka bukan pasukan lemah yang takut pada dentuman bom dan senapan. Merekalah, sekumpulan pejuang Islam yang rela mati demi memperjuangkan khilafah.
Lalu, kemana saja media internasional? Tak adakah yang menyebarkan berita kekejaman di Suriah? Kemanakah para humanis dan feminis?? Kemanakah umat Islam? Kemanakah para pejuang keadilan di bumi yang semakin sekarat ini? Apakah tidak sampai derita-derita dari bumi Syam? Tangis anak-anak yang kehilangan orang tuanya. Anak-anak yang hidup di bawah kaki penjajahan ideologi. Dan perempuan-perempuan yang diperkosa dan diinjak-injak harga dirinya.
Sungguh ironis. Ketika dunia kompak menjunjung tinggi demokrasi dan menegakkan hak asasi, tapi di belahan dunia sana, di Timur Tengah, berjuta rakyat ditindas. Anak-anak putus sekolah dan kelaparan. Tapi UNICEF bungkam. Tak banyak bergerak. Situs-situs bersejarah di Suriah luluh lantah digempur tentara rezim, tapi UNESCO tak mampu mencegah. Berjuta rakyat sengsara karena perang. Kedamaian hidup lebur tak berbentuk. Tapi PBB mengalihkan pandangan dengan muka tak berdosa. Dan sang negara adidaya, dengan keserakahan dan hegemoninya, sedang duduk manis menikmati pertunjukan di Timur Tengah. Dengan mengutuk para pejuang revolusi Islam sebagai teroris. Serta menyebarkan berita-berita palsu soal terorisme, dan menyuplai persenjataan berat untuk membunuh warga sipil di bumi Syam. Mereka tak peduli dengan darah dan air mata yang berceceran di bumi itu. Dan entah sampai kapan, demokrasi itu benar-benar berdiri tegak. Mematahkan sendi-sendi kekuasaan otoriter. Dan tetes keringat dan darah para pejuang Suriah akan terus menjadi kenangan yang membeku dalam peradaban Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar