Darah Juang di Bumi Syam
Ketika
hembusan nafas demokrasi menderu di pelosok-pelosok negeri. Ketika semua bangsa
lantang meneriakkan Hak Asasi Manusia, dan api kemerdekaan berkobar
menghanguskan kolonialisme, jauh di belahan dunia sana, ada sebuah negeri di
Jazirah Arab yang tengah berteriak lirih.
Suriah.
Sejak tahun 2011 silam, negeri ini dihimpit problematika politik yang menyengsarakan
warga sipil. Bahkan politik bukan satu-satunya akar permasalahan, tapi sesuatu
yang sangat sensitif, yang berbau ideologi agama. Antara aliran yang satu
dengan yang lain. Antara sunni dan syiah, yang berujung pada perang saudara.
Bermula
dari sebuah rezim otoriter Bashar Al Assad yang menegakkan tampuk kepemimpinan sejak
tahun 2000. Gaya pemerintahan yang diktator membuat rakyat kecewa terhadap
Bashar Al Assad. Puncaknya adalah ketika ada seorang anak Suriah menuliskan
kata-kata di tembok tentang Al-Assad. Lalu, anak tersebut dibawa oleh tentara
Al Assad dan mendekam dalam kursi interogasi. Kulitnya dikelupas, dan disiram
cairan yang mengiritasi kulit. Meninggalkan rasa perih yang luar biasa.
Semenjak
itu, segenap rakyat Suriah melakukan kudeta demi menggulingkan kekuasaan
Al-Assad. Satu hal yang membuat mereka gerah dengan pemerintahan Al Assad
adalah penegakkan Islam Syiah yang dinilai sesat dan kejam terhadap penganut
Islam Sunni. Bagi mereka, membunuh penganut Sunni adalah sebuah implementasi
ibadah yang melahirkan pahala. Maka, terjadilah pembantaian umat Islam Sunni di
Suriah yang tak mengenal batasan usia. Anak-anak kecil dipenggal kepalanya.
Perempuan-perempuan muslimah diperkosa dan dirobek harga dirinya. Para pejuang
perang dieksekusi mati. Hanya di negeri inilah, semua orang dipaksa melepas
syariat agamanya, menanggalkan semua atribut-atribut keIslaman yang hakiki, dan
menjunjung tinggi Bashar Al Assad.
Revolusi
Suriah adalah bentuk revolusi yang universal, dengan tujuan menyatukan umat
Islam dunia dalam naungan khilafah. Sebuah sistem pemerintahan di kalangan umat
Islam dengan berdaulat pada satu pemimpin. Ternyata, revolusi ini dipandang
sebagai ancaman bagi bangsa barat yang dengki jika umat Islam seluruh dunia
bersatu. Maka, cara paling ampuh untuk membunuh mimpi rakyat Suriah adalah
dengan membinasakan mereka lewat jalur perang saudara. Sungguh, sebuah
kelicikan yang tak mengenal batas kemanusiaan.
Di
Suriah, ribuan jasad tergeletak bersimpah darah. Anak-anak kehilangan orang
tua. Orang tua kehilangan anak. Tak lagi ada ruang untuk merasakan kedamaian.
Setiap detik di Suriah adalah kecemasan akan kematian. Bangunan-bangunan ibadah
Mesjid di bom dan dihancurkan. Situs bersejarah ‘makam Khalid bin Walid’, sang
pahlawan Islam dihancur leburkan rezim Al Assad. Sungguh, kekejaman yang
menyiksa psikologis umat muslim.
Pada
saat yang sama, dua negara adidaya, Cina dan Rusia ikut menambah deretan
kesengsaraan warga Suriah. Hanya demi kepentingan akan sumber daya minyak yang
melimpah di negeri tersebut dan tentunya, menghancurkan persatuan Islam.
Perserikatan Bangsa-Bangsa tak banyak berperan dan tak tegas melibas kendali
Amerika Serikat yang sentimen terhadap umat Islam. Organisasi itu hanyalah
sebuah simbol ketidakadilan dunia. Organisasi yang berat sebelah dalam
bertindak. Organisasi yang hanya menjadi boneka Amerika Serikat, dan entah
sampai kapan, PBB diam melihat anak-anak Suriah dipenggal seperti binatang. Di
negeri ini, keadilan hanyalah bola-bola mimpi yang terguling dalam lembah
kekuasaan.
Meski
begitu, rakyat Suriah tak gentar membela kebenaran. Mereka berjuang menegakkan
Islam yang hakiki. Mereka tak peduli bangsa barat menancapkan label teroris di
dada mereka. Api semangat yang berkobar di batin mereka adalah senjata paling
ampuh untuk menebas kekejaman rezim Al Assad. Mereka bukan pasukan lemah yang
takut pada dentuman bom dan senapan. Merekalah, sekumpulan pejuang Islam yang
rela mati demi memperjuangkan khilafah.
Lalu,
kemana saja media internasional? Tak adakah yang menyebarkan berita kekejaman
di Suriah? Kemanakah para humanis dan feminis?? Kemanakah umat Islam? Kemanakah
para pejuang keadilan di bumi yang semakin sekarat ini? Apakah tidak sampai
derita-derita dari bumi Syam? Tangis anak-anak yang kehilangan orang tuanya.
Anak-anak yang hidup di bawah kaki penjajahan ideologi. Dan perempuan-perempuan
yang diperkosa dan diinjak-injak harga dirinya.
Sungguh
ironis. Ketika dunia kompak menjunjung tinggi demokrasi dan menegakkan hak
asasi, tapi di belahan dunia sana, di Timur Tengah, berjuta rakyat ditindas.
Anak-anak putus sekolah dan kelaparan. Tapi UNICEF bungkam. Tak banyak
bergerak. Situs-situs bersejarah di Suriah luluh lantah digempur tentara rezim,
tapi UNESCO tak mampu mencegah. Berjuta rakyat sengsara karena perang.
Kedamaian hidup lebur tak berbentuk. Tapi PBB mengalihkan pandangan dengan muka
tak berdosa. Dan sang negara adidaya, dengan keserakahan dan hegemoninya,
sedang duduk manis menikmati pertunjukan di Timur Tengah. Dengan mengutuk para
pejuang revolusi Islam sebagai teroris. Serta menyebarkan berita-berita palsu
soal terorisme, dan menyuplai persenjataan berat untuk membunuh warga sipil di
bumi Syam. Mereka tak peduli dengan darah dan air mata yang berceceran di bumi
itu. Dan entah sampai kapan, demokrasi itu benar-benar berdiri tegak.
Mematahkan sendi-sendi kekuasaan otoriter. Dan tetes keringat dan darah para
pejuang Suriah akan terus menjadi kenangan yang membeku dalam peradaban Islam.