Tanggal
15 Mei 2013 menjadi tombak bersejarah dalam kehidupan Erwiana Sulistyaningsih.
Gadis asal Desa Pucangan, Ngrambe, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur ini memulai
kehidupan baru di negeri orang. Menapaki gerbang dunia yang tampak lain, asing,
dan penuh adrenalin. Dengan menggenggam sebuah harapan: mengubah putaran nasib,
Erwiana melayang pandang ke Hongkong. Ia bekerja sebagai Penata Laksana Rumah
Tangga di majikannya, Law Wan Tung.
Erwiana
paham betul, bahwa ada dua kemungkinan ketika ia menjadi Tenaga Kerja Wanita.
Pertama, ia akan sukses menghasilkan uang dan mampu memobilitas status social
keluarganya. Kedua, ia akan mendapati pengalaman pahit sekaligus traumatik
seperti yang pernah dirasakan seniornya, Nirmala Bonat, Sumiati, Kokom dan
masih banyak lagi. Dan ternyata, takdir telah memilih Erwiana untuk menelan
kemungkinan kedua.
Tekad Erwiana begitu kuat untuk bekerja di luar
negeri, didorong keinginan untuk membantu orang tuanya membangun rumah. Dia
juga bermimpi bisa melanjutkan sekolah dari hasil jerih payahnya di Hongkong,
serta membiayai pendidikan adiknya. Janji gaji sebesar 3.920 dolar Hongkong
atau setara Rp5,8 juta/bulan tentu saja menggiurkan Erwiana. Dari situlah,
tekadnya demakin terpendam kuat untuk mengadu nasib di negeri yang sangat asing
bagi dirinya.
Inilah, babak baru dalam kehidupan Erwiana.
Perlahan, ia mendapati bahwa mimpi indahnya berubah menjadi petaka yang
melahirkan trauma. Baru menginjak bulan pertama, Erwiana sudah berkenalan
dengan intimidasi dan perlakuan tak manusiawi sang majikan. Setiap hari dia
bekerja sejak pagi hingga malam dengan waktu istirahat hanya satu jam, antara
jam satu siang hingga jam lima sore. Sisanya, Erwiana bekerja membersihkan
rumah, mencuci, memasak dan sebagainya sesui instruksi majikan yang
menungguinya setiap saat. Sekali saja satu pekerjaan molor waktunya, Erwiana
harus siap dengan bentakan dan tamparan. Selain itu, Erwiana
juga harus merasakan kelaparan berkali-kali karena jarang diberi makan oleh
majikannya.
Kehidupan
getir itu ia hadapi selama 8 bulan. Tak ada siapapun sebagai penolong. Taka da
malaikat tak bersayap yang melindunginya dari jerat kekerasan. Hari-hari
Erwiana padam tak bercahaya. Di negeri yang indah itu, ia justru hidup beriring
luka. Luka fisik, juga batin. Mungkin kisah yang dialami Erwiana tidak setragis
Nirmala Bonat, tapi yang jelas, sekujur fisik Erwiana penuh luka, di kaki,
tangan, bahkan di bokongnya yang ketika ia pulang ke Indonesia harus memakai
pampers untuk meredam luka saat duduk di pesawat terbang dalam perjalanan ke
tanah air.
Selama bekerja delapan bulan, Erwiana kerap
disiksa majikan dengan hanger atau
benda apa saja yang ada di depan matanya. Dari hasil pemeriksaan, Erwiana
mengalami selulitas akut atau pembusukan di wajah, tangan dan kaki. Selain
jarang diberi makan Erwiana harus bekerja selama 21 jam dan hanya boleh
istirahat tiga jam per harinya. Penderitaan ini, harus Erwiana telan sendiri.
Majikannya mengancam akan membunuh orang tua Erwiana, jika ia berani melapor
perihal kekerasan yang menimpanya.
Bekas luka begitu jelas terpampang di sekujur tubuh Erwiana. Di kedua kaki Erwiana ada luka kehitaman dan kulitnya
mengelupas seperti bekas dipasung. Kedua lengannya juga banyak bekas luka
kehitaman dan bengkak. Sementara di sekitar pipi, kening, mata dan mulut juga
banyak luka-luka. Tragis bukan? Entah kekejaman manusiawi seperti apa yang
menikam tubuh Erwiana selama 8 bulan. Bukan waktu yang singkat untuk merasakan
rejamnya kehidupan sebagai TKW di Hongkong, di negeri yang konon memiliki
jumlah kasus kekerasan TKW paling sedikit. Akankah, virus kekerasan dan
tindakan tidak manusiawi menyebar,_Hongkong seolah mendapat inspirasi dari
negeri Arab dan Malaysia, dua Negara dengan kekejaman terparah terhadap TKW,
terutama TKW asal Indonesia.
Mendekam dalam jeruji kekerasan, tentu membawa
kerinduan mendalam di hati Erwiana pada kedua orang tuanya. Namun, selama
delapan bulan bekerja, Erwiana hanya sempat menelpon sekali ke bapaknya. Itupun
hanya empat menit dan ditunggui oleh majikan. Setelah itu, tak pernah ada kabar
lagi mengenai Erwiana sampai akhirnya ia pulang dengan oleh-oleh luka di
sekujur tubuh.
Kini, ketika dunia membuka tabir kekejaman
keluarga Law Wan Tung, ketika seisi dunia menghujat mereka, dan Erwiana dapat
berlindung di bawah naungan Hak Asasi Manusia, akankah luka itu berakhir?
Lenyap di hati Erwiana? Tenggelam bersamaan dengan berjalannya siding
pengadilan? Tentu trauma takkan hilang begitu saja. Butuh waktu untuk
mengembalikan batin Erwiana yang seutuhnya. Bahkan mungkin, trauma takkan
lenyap, sampai mati ia menghantui sisa hidup Erwiana
Beginilah, nasib pahlawan devisa. Ia seperti
lilin: rela mati demi menerangi orang banyak, demi menghidupi bangsanya. Hal
yang paling tragis adalah; ketika kasus kekerasan yang dialami para TKW di
Negara asing menjadi sebuah masalah klise. Ketika bangsa ini berasumsi bahwa
yang menjadi akar masalah adalah kemauan para TKW untuk menceburkan diri di
ranah ekspor tenaga kerja. Mereka seolah membuat api keberanian yang pada
akhirnya melahirkan asap kesengsaraan. Sehingga kasus seperti ini tidak lagi
mendapat simpati tinggi. Media tak lagi genjar menyebarkan berita humanis yang
mirip dari segi objektivitas. Sebuah berita yang hanya merupakan repetisi dari
berita-berita sebelumnya, hanya garis subjeknya yang berbeda.
Lalu, bagaimana dengan nasib Erwiana dkk? Tentu
di luar sana, di Arab, di Malaysia, di Singapura, masih banyak perempuan
Indonesia yang tengah menjerit menahan kekerasan fisik. Menahan panasnya air
mendidih, tajamnya irisan silet, atau perihnya tamparan bolak-balik dari sang
majikan. Dan entah sampai kapan, perempuan Indonesia terus mengeksporkan diri
untuk menjadi budak orang asing. Dan seberap kuat istilah Hak Asasi Manusia
bertengger di atas kemunafikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar