mimpi-mimpiku

Selasa, 25 Februari 2014

Erwiana Sulistyaningsih: Menjerit di Negeri Hongkong


                                               
Tanggal 15 Mei 2013 menjadi tombak bersejarah dalam kehidupan Erwiana Sulistyaningsih. Gadis asal Desa Pucangan, Ngrambe, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur ini memulai kehidupan baru di negeri orang. Menapaki gerbang dunia yang tampak lain, asing, dan penuh adrenalin. Dengan menggenggam sebuah harapan: mengubah putaran nasib, Erwiana melayang pandang ke Hongkong. Ia bekerja sebagai Penata Laksana Rumah Tangga di majikannya, Law Wan Tung.
Erwiana paham betul, bahwa ada dua kemungkinan ketika ia menjadi Tenaga Kerja Wanita. Pertama, ia akan sukses menghasilkan uang dan mampu memobilitas status social keluarganya. Kedua, ia akan mendapati pengalaman pahit sekaligus traumatik seperti yang pernah dirasakan seniornya, Nirmala Bonat, Sumiati, Kokom dan masih banyak lagi. Dan ternyata, takdir telah memilih Erwiana untuk menelan kemungkinan kedua.
Tekad Erwiana begitu kuat untuk bekerja di luar negeri, didorong keinginan untuk membantu orang tuanya membangun rumah. Dia juga bermimpi bisa melanjutkan sekolah dari hasil jerih payahnya di Hongkong, serta membiayai pendidikan adiknya. Janji gaji sebesar 3.920 dolar Hongkong atau setara Rp5,8 juta/bulan tentu saja menggiurkan Erwiana. Dari situlah, tekadnya demakin terpendam kuat untuk mengadu nasib di negeri yang sangat asing bagi dirinya.
Inilah, babak baru dalam kehidupan Erwiana. Perlahan, ia mendapati bahwa mimpi indahnya berubah menjadi petaka yang melahirkan trauma. Baru menginjak bulan pertama, Erwiana sudah berkenalan dengan intimidasi dan perlakuan tak manusiawi sang majikan. Setiap hari dia bekerja sejak pagi hingga malam dengan waktu istirahat hanya satu jam, antara jam satu siang hingga jam lima sore. Sisanya, Erwiana bekerja membersihkan rumah, mencuci, memasak dan sebagainya sesui instruksi majikan yang menungguinya setiap saat. Sekali saja satu pekerjaan molor waktunya, Erwiana harus siap dengan bentakan dan tamparan. Selain itu, Erwiana juga harus merasakan kelaparan berkali-kali karena jarang diberi makan oleh majikannya.
Kehidupan getir itu ia hadapi selama 8 bulan. Tak ada siapapun sebagai penolong. Taka da malaikat tak bersayap yang melindunginya dari jerat kekerasan. Hari-hari Erwiana padam tak bercahaya. Di negeri yang indah itu, ia justru hidup beriring luka. Luka fisik, juga batin. Mungkin kisah yang dialami Erwiana tidak setragis Nirmala Bonat, tapi yang jelas, sekujur fisik Erwiana penuh luka, di kaki, tangan, bahkan di bokongnya yang ketika ia pulang ke Indonesia harus memakai pampers untuk meredam luka saat duduk di pesawat terbang dalam perjalanan ke tanah air.
Selama bekerja delapan bulan, Erwiana kerap disiksa majikan dengan hanger atau benda apa saja yang ada di depan matanya. Dari hasil pemeriksaan, Erwiana mengalami selulitas akut atau pembusukan di wajah, tangan dan kaki. Selain jarang diberi makan Erwiana harus bekerja selama 21 jam dan hanya boleh istirahat tiga jam per harinya. Penderitaan ini, harus Erwiana telan sendiri. Majikannya mengancam akan membunuh orang tua Erwiana, jika ia berani melapor perihal kekerasan yang menimpanya.
 Bekas luka begitu jelas terpampang di sekujur tubuh Erwiana. Di kedua kaki Erwiana ada luka kehitaman dan kulitnya mengelupas seperti bekas dipasung. Kedua lengannya juga banyak bekas luka kehitaman dan bengkak. Sementara di sekitar pipi, kening, mata dan mulut juga banyak luka-luka. Tragis bukan? Entah kekejaman manusiawi seperti apa yang menikam tubuh Erwiana selama 8 bulan. Bukan waktu yang singkat untuk merasakan rejamnya kehidupan sebagai TKW di Hongkong, di negeri yang konon memiliki jumlah kasus kekerasan TKW paling sedikit. Akankah, virus kekerasan dan tindakan tidak manusiawi menyebar,_Hongkong seolah mendapat inspirasi dari negeri Arab dan Malaysia, dua Negara dengan kekejaman terparah terhadap TKW, terutama TKW asal Indonesia.
Mendekam dalam jeruji kekerasan, tentu membawa kerinduan mendalam di hati Erwiana pada kedua orang tuanya. Namun, selama delapan bulan bekerja, Erwiana hanya sempat menelpon sekali ke bapaknya. Itupun hanya empat menit dan ditunggui oleh majikan. Setelah itu, tak pernah ada kabar lagi mengenai Erwiana sampai akhirnya ia pulang dengan oleh-oleh luka di sekujur tubuh.
Kini, ketika dunia membuka tabir kekejaman keluarga Law Wan Tung, ketika seisi dunia menghujat mereka, dan Erwiana dapat berlindung di bawah naungan Hak Asasi Manusia, akankah luka itu berakhir? Lenyap di hati Erwiana? Tenggelam bersamaan dengan berjalannya siding pengadilan? Tentu trauma takkan hilang begitu saja. Butuh waktu untuk mengembalikan batin Erwiana yang seutuhnya. Bahkan mungkin, trauma takkan lenyap, sampai mati ia menghantui sisa hidup Erwiana
Beginilah, nasib pahlawan devisa. Ia seperti lilin: rela mati demi menerangi orang banyak, demi menghidupi bangsanya. Hal yang paling tragis adalah; ketika kasus kekerasan yang dialami para TKW di Negara asing menjadi sebuah masalah klise. Ketika bangsa ini berasumsi bahwa yang menjadi akar masalah adalah kemauan para TKW untuk menceburkan diri di ranah ekspor tenaga kerja. Mereka seolah membuat api keberanian yang pada akhirnya melahirkan asap kesengsaraan. Sehingga kasus seperti ini tidak lagi mendapat simpati tinggi. Media tak lagi genjar menyebarkan berita humanis yang mirip dari segi objektivitas. Sebuah berita yang hanya merupakan repetisi dari berita-berita sebelumnya, hanya garis subjeknya yang berbeda.

Lalu, bagaimana dengan nasib Erwiana dkk? Tentu di luar sana, di Arab, di Malaysia, di Singapura, masih banyak perempuan Indonesia yang tengah menjerit menahan kekerasan fisik. Menahan panasnya air mendidih, tajamnya irisan silet, atau perihnya tamparan bolak-balik dari sang majikan. Dan entah sampai kapan, perempuan Indonesia terus mengeksporkan diri untuk menjadi budak orang asing. Dan seberap kuat istilah Hak Asasi Manusia bertengger di atas kemunafikan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar