mimpi-mimpiku

Selasa, 25 Februari 2014

Erwiana Sulistyaningsih: Menjerit di Negeri Hongkong


                                               
Tanggal 15 Mei 2013 menjadi tombak bersejarah dalam kehidupan Erwiana Sulistyaningsih. Gadis asal Desa Pucangan, Ngrambe, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur ini memulai kehidupan baru di negeri orang. Menapaki gerbang dunia yang tampak lain, asing, dan penuh adrenalin. Dengan menggenggam sebuah harapan: mengubah putaran nasib, Erwiana melayang pandang ke Hongkong. Ia bekerja sebagai Penata Laksana Rumah Tangga di majikannya, Law Wan Tung.
Erwiana paham betul, bahwa ada dua kemungkinan ketika ia menjadi Tenaga Kerja Wanita. Pertama, ia akan sukses menghasilkan uang dan mampu memobilitas status social keluarganya. Kedua, ia akan mendapati pengalaman pahit sekaligus traumatik seperti yang pernah dirasakan seniornya, Nirmala Bonat, Sumiati, Kokom dan masih banyak lagi. Dan ternyata, takdir telah memilih Erwiana untuk menelan kemungkinan kedua.
Tekad Erwiana begitu kuat untuk bekerja di luar negeri, didorong keinginan untuk membantu orang tuanya membangun rumah. Dia juga bermimpi bisa melanjutkan sekolah dari hasil jerih payahnya di Hongkong, serta membiayai pendidikan adiknya. Janji gaji sebesar 3.920 dolar Hongkong atau setara Rp5,8 juta/bulan tentu saja menggiurkan Erwiana. Dari situlah, tekadnya demakin terpendam kuat untuk mengadu nasib di negeri yang sangat asing bagi dirinya.
Inilah, babak baru dalam kehidupan Erwiana. Perlahan, ia mendapati bahwa mimpi indahnya berubah menjadi petaka yang melahirkan trauma. Baru menginjak bulan pertama, Erwiana sudah berkenalan dengan intimidasi dan perlakuan tak manusiawi sang majikan. Setiap hari dia bekerja sejak pagi hingga malam dengan waktu istirahat hanya satu jam, antara jam satu siang hingga jam lima sore. Sisanya, Erwiana bekerja membersihkan rumah, mencuci, memasak dan sebagainya sesui instruksi majikan yang menungguinya setiap saat. Sekali saja satu pekerjaan molor waktunya, Erwiana harus siap dengan bentakan dan tamparan. Selain itu, Erwiana juga harus merasakan kelaparan berkali-kali karena jarang diberi makan oleh majikannya.
Kehidupan getir itu ia hadapi selama 8 bulan. Tak ada siapapun sebagai penolong. Taka da malaikat tak bersayap yang melindunginya dari jerat kekerasan. Hari-hari Erwiana padam tak bercahaya. Di negeri yang indah itu, ia justru hidup beriring luka. Luka fisik, juga batin. Mungkin kisah yang dialami Erwiana tidak setragis Nirmala Bonat, tapi yang jelas, sekujur fisik Erwiana penuh luka, di kaki, tangan, bahkan di bokongnya yang ketika ia pulang ke Indonesia harus memakai pampers untuk meredam luka saat duduk di pesawat terbang dalam perjalanan ke tanah air.
Selama bekerja delapan bulan, Erwiana kerap disiksa majikan dengan hanger atau benda apa saja yang ada di depan matanya. Dari hasil pemeriksaan, Erwiana mengalami selulitas akut atau pembusukan di wajah, tangan dan kaki. Selain jarang diberi makan Erwiana harus bekerja selama 21 jam dan hanya boleh istirahat tiga jam per harinya. Penderitaan ini, harus Erwiana telan sendiri. Majikannya mengancam akan membunuh orang tua Erwiana, jika ia berani melapor perihal kekerasan yang menimpanya.
 Bekas luka begitu jelas terpampang di sekujur tubuh Erwiana. Di kedua kaki Erwiana ada luka kehitaman dan kulitnya mengelupas seperti bekas dipasung. Kedua lengannya juga banyak bekas luka kehitaman dan bengkak. Sementara di sekitar pipi, kening, mata dan mulut juga banyak luka-luka. Tragis bukan? Entah kekejaman manusiawi seperti apa yang menikam tubuh Erwiana selama 8 bulan. Bukan waktu yang singkat untuk merasakan rejamnya kehidupan sebagai TKW di Hongkong, di negeri yang konon memiliki jumlah kasus kekerasan TKW paling sedikit. Akankah, virus kekerasan dan tindakan tidak manusiawi menyebar,_Hongkong seolah mendapat inspirasi dari negeri Arab dan Malaysia, dua Negara dengan kekejaman terparah terhadap TKW, terutama TKW asal Indonesia.
Mendekam dalam jeruji kekerasan, tentu membawa kerinduan mendalam di hati Erwiana pada kedua orang tuanya. Namun, selama delapan bulan bekerja, Erwiana hanya sempat menelpon sekali ke bapaknya. Itupun hanya empat menit dan ditunggui oleh majikan. Setelah itu, tak pernah ada kabar lagi mengenai Erwiana sampai akhirnya ia pulang dengan oleh-oleh luka di sekujur tubuh.
Kini, ketika dunia membuka tabir kekejaman keluarga Law Wan Tung, ketika seisi dunia menghujat mereka, dan Erwiana dapat berlindung di bawah naungan Hak Asasi Manusia, akankah luka itu berakhir? Lenyap di hati Erwiana? Tenggelam bersamaan dengan berjalannya siding pengadilan? Tentu trauma takkan hilang begitu saja. Butuh waktu untuk mengembalikan batin Erwiana yang seutuhnya. Bahkan mungkin, trauma takkan lenyap, sampai mati ia menghantui sisa hidup Erwiana
Beginilah, nasib pahlawan devisa. Ia seperti lilin: rela mati demi menerangi orang banyak, demi menghidupi bangsanya. Hal yang paling tragis adalah; ketika kasus kekerasan yang dialami para TKW di Negara asing menjadi sebuah masalah klise. Ketika bangsa ini berasumsi bahwa yang menjadi akar masalah adalah kemauan para TKW untuk menceburkan diri di ranah ekspor tenaga kerja. Mereka seolah membuat api keberanian yang pada akhirnya melahirkan asap kesengsaraan. Sehingga kasus seperti ini tidak lagi mendapat simpati tinggi. Media tak lagi genjar menyebarkan berita humanis yang mirip dari segi objektivitas. Sebuah berita yang hanya merupakan repetisi dari berita-berita sebelumnya, hanya garis subjeknya yang berbeda.

Lalu, bagaimana dengan nasib Erwiana dkk? Tentu di luar sana, di Arab, di Malaysia, di Singapura, masih banyak perempuan Indonesia yang tengah menjerit menahan kekerasan fisik. Menahan panasnya air mendidih, tajamnya irisan silet, atau perihnya tamparan bolak-balik dari sang majikan. Dan entah sampai kapan, perempuan Indonesia terus mengeksporkan diri untuk menjadi budak orang asing. Dan seberap kuat istilah Hak Asasi Manusia bertengger di atas kemunafikan. 

Senin, 17 Februari 2014

BAHAN KULIAH TEORI SASTRA



1
PERTEMUAN KE-2
Dalam lingkungan ilmiah, setiap bidang ilmu memiliki obyek kajian yang
khusus. Ilmu yang satu dibedakan dari ilmu yang lain berdasarkan
perbedaan obyek kajian itu. Misalnya, sosiologi biasanya dibedakan dari
antropologi karena obyek kajian sosiologi adalah masyarakat modern,
sedangkan obyek kajian antropologi adalah masyarakat tradisional.
Contoh lain adalah perbedaan psikologi dan psikoanalisis. Psikologi
berupaya mengkaji jiwa manusia dari segi kesadarannya, sedangkan
psikoanalisis mengkaji jiwa manusia dari segi ketaksadarannya. Masingmasing
ilmu memilih obyek kajiannya sendiri dan berusaha
mengembangkan pengetahuan kita tentang obyek tersebut.
Lantas, apa obyek kajian ilmu sastra? Dari sebutannya saja Anda
tentu sudah dapat menebak. Obyek kajian ilmu sastra tentu saja adalah
sastra. Tapi, apakah sastra itu? Bagaimana hubungannya dengan
pengarang dan pembacanya? Inilah persoalan yang akan kita bahas
dalam Pertemuan Ke-2 ini. Masing-masing teori sastra akan menjawab
persoalan-persoalan ini dengan sudut pandang yang berbeda. Pada
pertemuan ini, saya hanya akan memberikan gambaran umum tentang
persoalan tersebut dan kerumitan yang ada dalam memahami pengertian
sastra dan hubungannya dengan pengarang dan pembaca sastra. Kita
akan mempelajari sudut pandang masing-masing teori itu pada
Pertemuan Ke-3 dan seterusnya. Saya akan menjelaskannya dalam
bentuk uraian dan kadang-kadang pula dalam bentuk tanya-jawab. Pada
butir 2.1 berikut ini saya akan menjelaskan dalam bentuk tanya-jawab
antara mahasiswa-mahasiswi (M) dan dosennya (D), sedangkan butir
selanjutnya menggunakan bentuk uraian seperti biasa.
2
2.1 SASTRA SEBAGAI TULISAN FIKSIONAL
M: Setelah saya membaca tulisan Bapak pada Pertemuan Ke-1, terutama
pada bagian tentang kritik STA terhadap novel Belenggu, saya teringat
pada pengalaman saya tentang novel tersebut. Pada waktu saya masih di
SMA, saya diminta oleh guru saya untuk membaca novel Belenggu. Tapi,
setelah saya membacanya, novel tersebut memang sangat
membosankan bagi saya. Saya lebih suka membaca novel-novel teenlit.
Tapi, menurut guru saya, novel-novel teenlit itu bukan novel sastra. Yang
novel sastra adalah seperti novel Belenggu itu. Guru saya mengatakan,
kalau mau belajar sastra, harus membaca novel-novel sastra seperti novel
Belenggu itu, bukannya novel-novel teenlit. Bagaimana menurut pendapat
Bapak?
D: Mari kita coba pahami apa yang biasanya orang maksudkan ketika dia
menyebut istilah “novel sastra” dan “bukan novel sastra”? Tentu saja
maksudnya adalah bahwa “novel sastra” itu berarti novel yang bermutu
tinggi, sedangkan “bukan novel sastra” berarti novel yang bermutu rendah.
Dalam kaitan dengan pengalaman kamu, novel Belenggu dinilai oleh
gurumu sebagai novel yang bermutu tinggi, sedangkan novel teenlit
bukanlah novel yang bermutu tinggi. Begitulah biasanya orang
mengartikan kata “sastra” di dalam istilah “novel sastra” itu. Dari sudut
pandang itu, istilah “sastra” didefinisikan sebagai karangan yang bermutu
tinggi. Definisi semacam ini sebenarnya sangat bermasalah karena akan
sangat tergantung pada siapa yang memberi penilaian. Bagi kamu, novel
Belenggu sangat membosankan. Sebaliknya, bagi gurumu, novel ini
sangat bagus dan menarik. Bagi STA, novel Belenggu dipandang jelek
karena bersifat pesimis, tetapi bagi Umar Junus novel ini bermutu sangat
tinggi dan layak disebut sebagai pembaharu dalam sejarah penciptaan
3
novel di Indonesia.1 Repot sekali kalau begitu. Kita membutuhkan definisi
“sastra” yang lebih obyektif, bukan definisi yang cenderung tergantung
pada penilaian orang per orang.
M: Apa maksud Bapak dengan definisi “sastra” yang lebih obyektif itu?
D: Maksud saya, jika novel Belenggu adalah sastra, maka novel teenlit
seharusnya juga termasuk sastra karena pada dasarnya kedua-duanya
adalah novel. Sesederhana itu. Jadi, istilah “sastra” tidak perlu
dikonotasikan dengan mutu dari sebuah novel. Apakah mutunya jelek atau
bagus, novel apapun adalah bagian dari sastra. Itulah maksud saya
dengan definisi yang lebih obyektif.
M: Kalau begitu, “sastra” sebaiknya didefinisikan sebagai “karangan” saja,
bukan “karangan yang bermutu tinggi”. Apakah itu maksud Bapak?
D: Ya! Kita harus mengembalikan arti kata “sastra” pada hakikatnya yang
asal, yaitu “karangan”.
M: Saya masih penasaran. Jika “sastra” adalah “karangan”, maka
“karangan” itu sendiri apa artinya?
D: Kamu sebenarnya sudah tahu apa arti “karangan”. Saya tidak percaya
kamu belum tahu artinya. Menurut kamu, apa artinya?
M: Yang saya tahu selama ini, “karangan” adalah tulisan yang mengadaada,
tulisan khayalan, yang tidak sesuai dengan kenyataan. Kadangkadang
tidak hanya berwujud tulisan, tapi juga ucapan. Misalnya, kalau
1 Umar Junus adalah salah satu kritikus sastra Indonesia yang terkemuka di era ’80-an.
Kita akan membaca salah satu tulisan kritik sastranya nanti pada saat kita mempelajari
teori sastra Struktural.
4
ada orang yang bicaranya sok tahu atau membual, biasanya akan
dikomentari: “Ah, ngarang lu!”
D: Kamu tidak salah. Tetapi, itu adalah pengertian yang berkonotasi
negatif mengenai konsep “karangan”. Sekali lagi kita perlu lebih dulu
mendefinisikan konsep apapun dalam dunia ilmiah secara lebih obyektif.
Jadi, mari kita pahami konsep “karangan” itu sebagai “tulisan yang bersifat
fiksional”. Dan, hati-hati, jangan sampai disamakan dengan “tulisan yang
bersifat fiktif”. Fiktif itu artinya palsu, dibuat untuk tujuan membohongi, dan
orang yang disodori tulisan fiktif tidak menyadari tentang kepalsuannya,
bahkan menyangka bahwa itu asli. Fiksional tidak demikian artinya. Orang
yang disodori tulisan fiksional tidak akan merasa dibohongi karena dia
tahu bahwa yang ditawarkan oleh tulisan fiksional bukanlah kebohongan,
tetapi permainan, yaitu permainan pikiran tentang dunia yang tidak nyata,
dunia yang dibayangkan.
M: Hmm menarik. Bisa Bapak berikan contoh agar saya dapat lebih
paham?
D: Baik, saya akan beri contoh dari sebuah puisi yang terkenal. Jika
Chairil Anwar pernah menulis baris puisinya yang berbunyi: "Aku ini
binatang jalang", maka "aku" di dalam teks itu tentu saja bukanlah Chairil
Anwar. "Aku" di sana adalah "aku" yang fiksional, "aku" yang hanya
dibayangkan ada. Dengan kata lain, si "aku" itu tidak berada di dunia
nyata ini, tetapi di dunia imajinasi. Jadi, dalam tulisan sastra, hubungan
langsung dengan dunia nyata itu dihentikan atau ditunda. Dalam hal ini,
Chairil Anwar membayangkan sebuah diri, sebuah sosok, atau seorang
"aku" yang berada di antara dirinya sendiri (pengarang) yang nyata dan
diri orang lain (pembaca) yang juga nyata. Dengan tulisan tersebut, Chairil
telah membangun semacam tirai antara dirinya dan diri orang lain yang
membaca puisinya itu. Tirai itulah yang sering kita sebut sebagai dunia
5
imajinasi. Di sinilah letak kekhasan tulisan sastra, yaitu bahwa tulisan
semacam ini membuat komunikasi tertunda dan membuat orang berjarak
dari kenyataan.
M: Apakah komunikasi yang tertunda dan keberjarakan dari kenyataan itu
memang kita perlukan? Untuk apa?
D: Sebagai manusia, kita membutuhkan refleksi, introspeksi, kontemplasi.
Semua itu membantu kita untuk mampu memperdalam pikiran dan
mempertajam perasaan. Nah, tulisan sastra memancing kita untuk
memberi tanggapan yang tidak biasa, tanggapan yang mendalam,
tanggapan yang lain daripada yang biasanya kita berikan dalam
komunikasi sehari-hari. Tanggapan baru ini tentu tidak dapat kita berikan
jika kita tidak mengambil jarak sebentar dari kenyataan dan kebiasaan
komunikasi sehari-hari. Jika seseorang menyapa kita, "Hai, apa kabar?",
kita biasanya akan segera menjawab, "Baik." Terhadap tulisan sastra, kita
tidak bisa memberikan tanggapan otomatis yang biasa semacam ini.
Tulisan sastra sengaja dibuat dengan cara berbahasa yang tidak biasa
dan menuntut tanggapan yang juga tidak biasa.
M: Apakah yang Bapak maksud dengan cara berbahasa yang tidak biasa
itu termasuk juga kata-kata seperti metafora "binatang jalang" dalam puisi
Chairil Anwar itu?
D: Ya, betul. Itu adalah salah satu contohnya. Puisi memang seringkali
penuh dengan metafora. Di samping metafora, ada pula metonimia. Pada
level yang lain, puisi juga banyak memanfaatkan aspek bunyi bahasa,
seperti asonansi dan aliterasi. Kamu akan mempelajari hal ini lebih jauh
dalam mata kuliah Kajian Puisi. Untuk keperluan pembicaraan kita ini,
cukuplah kamu pahami bahwa tulisan sastra itu berusaha memanfaatkan
segala kemungkinan cara berbahasa yang khas, yang tidak biasa. Semua
6
itu mampu menimbulkan efek keberjarakan dan ketertundaan yang sudah
saya sebut tadi.
Nah, pemanfaatan kata-kata dengan cara yang khas, yang tidak biasa,
itulah yang digali dan dikembangkan terus dalam sastra. Karena itu,
bahasa di dalam sastra tidaklah terutama berfungsi sebagai alat
komunikasi, melainkan sebagai alat yang memancing kita untuk
memperhatikan bentuk ungkapannya. Inilah yang dimaksudkan Sutardji
Calzoum Bachri dalam kredo puisinya: "Kata-kata harus bebas dari
penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas
menentukan dirinya sendiri." Dalam kehidupan komunikasi sehari-hari,
kata-kata sudah terlanjur mendapatkan maknanya yang tetap dan jelas.
Sastra berusaha membuat kata-kata dalam kehidupan sehari-hari itu
menjadi memiliki makna baru dan nuansa baru dengan berbagai macam
cara.
M: Ketika Bapak tadi memberikan contoh dari puisi untuk menjelaskan
sifat fiksional dan bentuk khas bahasa sastra, tiba-tiba terbersit dalam
pikiran saya bahwa biasanya tulisan sastra itu sendiri dibagi menjadi tiga
jenis, yaitu puisi, prosa, dan drama. Mengapa dibagi demikian? Apa dasar
atau kriteria pembagian itu?
D: Tulisan sastra biasanya memang dibagi menjadi tiga jenis utama, yaitu
seperti yang kamu sebutkan itu. Kriteria pembedaan yang digunakan
adalah situasi bahasanya. Dalam jenis drama, situasi bahasanya adalah
dialog, yaitu situasi komunikasi yang melibatkan sekurang-kurangnya dua
pihak, yakni tokoh-tokoh drama yang berdialog. Seringkali keduanya
dapat saling bertukar posisi. Artinya, pihak yang sebelumnya berperan
sebagai pembicara dapat saja kemudian berubah menjadi pendengar, dan
begitu pula sebaliknya.
7
Situasi bahasa seperti ini merupakan situasi bahasa yang seringkali pula
kita alami dalam kehidupan komunikasi sehari-sehari. Misalnya, seorang
wartawan datang menemui salah seorang tokoh masyarakat yang menjadi
narasumbernya dalam kasus tertentu yang hendak dia beritakan. Tentu
saja dalam pertemuan tersebut terjadi tanya jawab antara si wartawan
dan si narasumber. Si wartawan merekam wawancara itu dan
menuliskannya kembali di media cetak tempat dia bekerja. Wawancara
lisan itu (dan juga bentuk tertulisnya) merupakan salah satu contoh situasi
bahasa dialog. Situasi bahasa dalam drama juga demikian. Meskipun
wawancara di koran dan teks drama dalam sastra sebenarnya tidak
memiliki perbedaan dari segi situasi bahasa, namun keduanya berbeda
dari segi sifat pengungkapannya, yaitu bahwa wawancara bersifat faktual,
sedangkan drama bersifat fiksional.
Berbeda dengan drama, puisi merupakan jenis sastra yang situasi
bahasanya berupa monolog, yaitu hanya melibatkan satu pihak yang
berbicara (aku-lirik). Pihak pendengar seringkali hanya dibayangkan dan
tentu saja tidak dapat memberikan tanggapan sehingga tidak terjadi
pertukaran posisi seperti dalam dialog.
M: Bagaimana dengan jenis prosa atau cerita?
D: Situasi bahasa yang terjadi dalam cerita disebut dengan istilah
"pencangkokan". Dalam situasi bahasa pencangkokan, kita mendapati
adanya pihak pembicara (narator) yang berbicara kepada pendengar yang
dibayangkan, seperti yang terjadi pada monolog. Akan tetapi, si
pembicara ini juga melakukan pencangkokan atau pengutipan dialog yang
dilakukan oleh pembicara-pembicara lain (tokoh cerita) yang dapat saling
bercakap-cakap. Jadi, dialog tersebut dicangkokkan pada monolog si
narator, maka terjadilah jenis prosa atau cerita.
8
Baik, saya kira pembicaraan kita tentang apa itu sastra sudah bisa kita
cukupkan sampai di sini. Kita akan memperdalam pemahaman kita
tentang hal ini melalui pembahasan tentang hubungan tulisan sastra
dengan pengarang dan pembacanya. Dari uraian di bawah ini nanti akan
tergambar dengan lebih nyata betapa rumitnya sebenarnya obyek kajian
ilmu sastra itu.
2.2 PENGARANG DAN LEMBAGA KEPENGARANGAN
Ketika kamu jatuh cinta, mungkin saja kamu merasa seperti dirasuki oleh
perasaan berdebar yang membuatmu tiba-tiba mampu menghasilkan
karangan berbentuk puisi, yang romantis dan penuh gairah. Ketika kamu
kemudian patah hati, kemampuan itu tidak begitu saja lenyap, malah
makin kuat, meskipun kini puisi-puisimu menjadi lebih muram dan penuh
kepedihan. Akan tetapi, sebagus apapun karangan atau puisi yang sudah
kamu tulis, kamu tidak akan begitu saja disebut pengarang. “Emang siapa
elu?” begitu kira-kira orang akan mencibirmu.
Rupanya pengakuan orang lain sangat menentukan dalam hal ini.
Seseorang bisa saja sudah menulis ratusan puisi atau puluhan cerpen
atau bahkan beberapa novel, tetapi jika tiada seorangpun yang pernah
membacanya, kecuali dirinya sendiri, maka siapa yang akan mengakuinya
sebagai pengarang?
Ketika Soe Hok Gie mencatat pikiran, sikap, dan perasaannya
sendiri tentang berbagai peristiwa yang dialaminya pada era Soekarno,
mungkin dia tidak terlalu terpikir untuk menerbitkan catatan pribadinya itu.
Baru pada tahun 1983, yaitu 14 tahun setelah dia
meninggal, catatan tersebut diterbitkan dengan judul
Catatan Seorang Demonstran. Dengan adanya
penerbitan itu, catatan pribadi yang sebelumnya hanya
diketahui oleh penulisnya sendiri kini dapat dibaca dan
ditonton oleh orang banyak. Maka, pengakuanpun
9
datang. Soe Hok Gie kini telah menjadi salah satu pengarang penting di
Indonesia.
Tapi, kapan sebenarnya pengakuan itu datang? Apakah ia datang
setelah karangan diterbitkan atau sebelum karangan itu diterbitkan?
Dalam kasus Soe Hok Gie, sebenarnya pengakuan itu sudah ada jauh
sebelum Catatan Seorang Demonstran diterbitkan. Di era ‘60-an Soe Hok
Gie adalah penulis yang sangat produktif, dia sudah menulis banyak
sekali artikel untuk surat kabar terkemuka pada masa itu. Dia juga banyak
menulis untuk terbitan-terbitan mahasiswa dan berkorespondensi dengan
para ilmuwan penting. Semua tulisannya merupakan bagian dari gerakan
mahasiswa pada era itu, sebuah gerakan yang akhirnya memaksa
Soekarno melepaskan kekuasaannya. Jadi, penerbitan Catatan Seorang
Demonstran pada dasarnya adalah akibat lanjutan saja dari pengakuan
yang sudah lama diberikan orang terhadap
kepengarangan Soe Hok Gie.
Mari kita lihat contoh lain. Pada tahun 1911
diterbitkanlah untuk pertama kalinya kumpulan surat
pribadi yang ditulis oleh Kartini dalam bahasa Belanda
kepada Nyonya Abendanon dan suaminya. Kartini
sendiri tentu saja tidak pernah melihat hasil terbitan
itu karena dia sudah lebih dulu meninggal pada
tanggal 17 September 1904 di usia 24 tahun. Surat-surat itu sendiri ditulis
oleh Kartini sepanjang tahun 1900-1904. Jika suami-istri Abendanon tidak
menerbitkan surat-surat itu, maka sampai sekarang kita mungkin tidak
terlalu tahu siapa itu Kartini dan bagaimana pikiran-pikirannya. Dia akan
hilang begitu saja ditelan zaman dalam usianya yang masih sangat muda.
Dalam kasus ini, pengakuan terhadap kepengarangan Kartini muncul
secara lebih meluas setelah karangannya diterbitkan meskipun sebagian
kaum nasionalis Indonesia pada masa itu juga sudah mengakui
kepeloporan Kartini dalam membangun sekolah untuk kaum perempuan di
tempatnya, Jepara.
10
Jika kita mengamati lebih jauh, persoalan tentang kapan
pengakuan itu datang seringkali tidak terlalu penting. Yang lebih penting
justru adalah “siapa yang memberikan pengakuan”. Seberapa penting
kedudukan orang yang memberi pengakuan itu dalam masyarakat?
Dalam hal Soe Hok Gie, pihak mana sebenarnya yang mengakui
kepengarangan dia? Seberapa penting kedudukan pihak tersebut dalam
masyarakat Indonesia? Dalam hal Kartini, siapa yang mengakui
kepengarangannya? Apakah itu terkait dengan posisi Nyonya
Abendanon? Siapakah Nyonya Abendanon dan sepenting apa dia?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, mau tidak mau
kita perlu mempertimbangkan konteks sosial-historis yang melingkungi
suatu karangan. Catatan harian Soe Hok Gie yang terbit pada tahun 1983
tidak dapat dipisahkan dari sikap para cendekia pada masa itu yang
memandang penting karangan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari lembaga
penerbit yang menerbitkan karangan tersebut, yaitu LP3ES (Lembaga
Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial). Lembaga
ini merupakan tempat berkumpulnya para pemikir penting di Indonesia.
Para cendekia di lembaga ini tidak jarang harus mengambil posisi yang
berseberangan dengan penguasa Orde Baru. Soe Hok Gie adalah salah
seorang cendekia semacam itu pula yang pada masa hidupnya gigih
mempertahankan independensinya di hadapan kekuasaan. Persamaan
sikap kecendekiaan inilah yang membuat
karangan Soe Hok Gie diakui penting oleh para
cendekia lain pada era ‘80-an. Pentingnya
kepengarangan Soe Hok Gie ternyata
kemudian juga diakui oleh generasi pasca-
Orde Baru sehingga seorang sutradara
terkemuka pada era ini, yaitu Riri Riza, merasa
perlu untuk membuat film tentang kehidupan Soe Hok Gie, yaitu film Gie
(2005) yang dibintangi oleh Nicholas Saputra.
11
Lantas, bagaimana dengan karangan Kartini? Surat-surat Kartini
menjadi penting karena surat-surat tersebut ditujukan kepada orang
penting dalam pemerintahan Belanda pada permulaan era 1900-an.
Orang itu adalah Rosa Manuela Abendanon-Mandri dan suaminya,
Jacques Henri Abendanon yang saat itu menjabat sebagai Direktur
Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda. Pada era tersebut
pemerintah Hindia Belanda sedang mengubah kebijakan kolonialnya,
yaitu yang disebut dengan politik etis. Pasangan suami-istri Abendanon
termasuk kalangan pejabat Belanda yang mendukung kebijakan baru
tersebut. Bagi para pejabat Belanda yang pro-politik etis, surat-surat
Kartini dipandang dapat membuktikan bahwa perempuan pribumi
sebenarnya mampu berpikir maju, kritis, dan modern. Jadi, karangan
Kartini diakui penting oleh para politisi Belanda yang ingin mengubah
politik kolonial Belanda pada era itu. Dengan kata lain, karangan Kartini
dianggap penting karena dipandang cocok dengan wacana politik etis
pada saat itu.
Dari informasi di atas, kita juga bisa menyimpulkan bahwa selain
diakui oleh orang-orang penting
dalam masyarakat,
kepengarangan Soe Hok Gie dan
Kartini juga dianggap penting
karena karangan mereka ditulis
dalam momen perubahan sosial
tertentu. Karangan mereka
berdua mengungkapkan
keterlibatan pikiran dan perasaan
pengarangnya dengan situasi
kehidupan masyarakatnya yang
sedang berada dalam perubahan
besar pada masanya masingmasing.
Soe Hok Gie
SEKILAS INFO
Politik etis adalah kebijakan politik yang diambil
pemerintah Belanda di Netherland selama tahun
1900-1920 untuk “membalas jasa” kepada rakyat di
daerah jajahannya, yaitu Hindia Belanda
(=Indonesia kini). Dikatakan pada waktu itu bahwa
pemerintah Belanda menyadari selama ini mereka
banyak mengeruk keuntungan dari Hindia Belanda
dan telah menelantarkan penduduknya. Karena itu,
mereka merasa berhutang budi kepada penduduk
Hindia Belanda. Sebagai balas jasanya, mereka
kemudian berusaha meningkatkan kesejahteraan di
Hindia Belanda dengan mengajukan tiga program
penting, yaitu pengembangan irigasi pertanian,
pengaturan penduduk melalui transmigrasi, dan
mendirikan sekolah-sekolah untuk kaum pribumi.
Sekolah bagi anak-anak bangsawan pribumi itu di
kemudian hari menjadi pedang bermata dua bagi
pemerintah Belanda sendiri karena pendidikan Barat
itu ternyata turut mempengaruhi munculnya
kesadaran nasional dari para pemuda pribumi yang
berujung pada perjuangan kemerdekaan Indonesia
dari kolonialisme Belanda.
12
menyaksikan dan terlibat dengan perubahan masyarakat dari era Orde
Lama ke Orde Baru, sedangkan Kartini menyaksikan dan terlibat dengan
momen perubahan dalam masyakarat kolonial Hindia Belanda, yaitu
politik etis, yang kemudian terkait dengan munculnya gagasan dan
pergerakan nasional Indonesia. Jadi, karangan yang berisi pikiran tentang
suatu era yang penting dalam perkembangan masyarakat akan turut pula
menentukan apakah penulisnya layak disebut pengarang atau tidak.
Dalam konteks ini kita bisa mengambil contoh
lain yang lebih mutakhir. Novel Saman, misalnya, terbit
pada masa perubahan dari Orde Baru ke Reformasi
pada tahun 1998 dan persoalan yang diangkatnya pun
terkait dengan kritik terhadap Orde Baru di penghujung
tampuk kekuasaannya. Selain itu, novel ini juga
mencerminkan sebagian latar belakang dan semangat
gerakan kaum cendekia/mahasiswi-mahasiswa yang sedang melawan
kekuasaan Orde Baru pada masa itu. Kaitan novel ini dengan konteks
perubahan sosial pada masa itu rupanya mampu mempengaruhi sebagian
pertimbangan para kritikus sastra yang menjadi juri dalam sayembara
novel di Dewan Kesenian Jakarta sehingga novel ini dipilih sebagai
pemenang pertamanya. Sebagian ahli sastra yang lain kemudian juga
menegaskan adanya hubungan novel tersebut dengan konteks perubahan
sosial melalui kajian yang mereka kemukakan di jurnal-jurnal
kesusastraan, makalah-makalah seminar, maupun artikel di surat kabar.
Pada sisi lain, novel ini ternyata menuai kontroversi karena keterusterangan
dan keseriusannya dalam mengangkat persoalan seksualitas.
Kontroversi ini kemudian dimanfaatkan oleh media massa untuk
meningkatkan keuntungan bisnis mereka. Pengarangnya sendiri pun,
yaitu Ayu Utami, akhirnya turut memperolah kejutan popularitas yang
cukup tinggi. Novelnya laku keras. Ayu Utami kemudian diakui sebagai
pengarang baru yang penting dalam percaturan sastra Indonesia pasca-
Orde Baru. Salah seorang kritikus sastra Indonesia, yaitu Korrie Layun
13
Rampan, bahkan menobatkannya sebagai salah satu pelopor Angkatan
2000 dalam kesusastraan Indonesia.
Dalam kasus Ayu Utami ini, kita memang dapat melihat adanya
faktor lain dalam pembentukan kepengarangannya, yaitu peran media
massa seperti koran dan televisi. Kedekatan Ayu Utami dengan
lingkungan media massa yang sudah lama mapan, seperti Tempo dan
Kompas, cukup mempengaruhi naiknya pamor kepengarangannya. Di
samping itu, tidak lama setelah kejatuhan Orde Baru, media massa di
Indonesia memang merasakan terbukanya pintu kebebasan pers yang
lebih besar. Krisis ekonomi sejak 1997 yang parah perlahan-lahan mulai
dapat diatasi. Dalam situasi pertumbuhan ekonomi dan kebebasan politik
yang kondusif, perusahaan media massa mulai menjamur. Stasiun televisi
swasta makin banyak. Koran, tabloid, dan majalah yang baru maupun
yang lama bersaing ketat. Dalam suasana persaingan itu, seringkali topiktopik
yang kontroversial memang akan makin dimanfaatkan untuk
mendongkrak keuntungan. Apalagi saat itu suasana politik di Indonesia
memang sedang panas-panasnya. Maka, kepengarangan Ayu Utami dan
kesuksesan novelnya tidak dapat dilepaskan dari arus besar konflik politik
dan persaingan media massa di era awal Reformasi itu. Dengan kata lain,
kepengarangan Ayu Utami merupakan salah satu bagian dari upaya
demokratisasi dalam wacana Reformasi.
Dalam situasi semacam ini, penerbitan karya sastra makin
memanfaatkan berbagai strategi pemasaran melalui segala bentuk media
untuk mempengaruhi calon pembacanya. Strategi pemasaran itu berperan
pula dalam membentuk citra kepengarangan seorang penulis, terutama
penulis baru. Jika di era sebelumnya pendapat kritikus sastra seringkali
berpengaruh dominan untuk membuat seseorang diakui sebagai
pengarang yang penting, kini di era pasca-Orde Baru ini kepengarangan
seseorang mulai banyak ditentukan pula oleh pendapat atau respons dari
khalayak ramai, dari pasar pembaca pada umumnya. Dalam situasi baru
ini, yang dibutuhkan rupanya tidak hanya ulasan dari para kritikus,
14
melainkan juga komentar, celoteh, dan bahkan gosip dari para pembaca
awam yang tidak saja muncul di televisi, tetapi juga yang makin tersebar
luas di internet. Selain itu, bangkitnya sinema nasional juga turut berperan
menambah popularitas novel-novel tertentu beserta pengarangnya.
Hubungan kepengarangan dengan media massa dan sinema
nasional itu dapat dilihat lebih jelas, misalnya, dalam kasus novel Ayatayat
Cinta karya Habiburrahman El Shirazy. Novel ini mengalami sukses
penjualan yang sangat besar kurang lebih
setahun setelah peluncurannya yang pertama
pada tahun 2004. Kesuksesan novel ini
sebagiannya tidak dapat dilepaskan dari peran
jejaring komunitas sastra yang cukup besar,
seperti Forum Lingkar Pena, ditambah pula
dengan peran surat kabar Republika yang juga menjadi penerbit novel
tersebut. Karena kesuksesan itu, salah satu rumah produksi terkemuka di
Indonesia, yaitu MD Pictures milik keluarga Punjabi, tertarik untuk
mengangkatnya ke layar lebar. Maka, ketika
pada tahun 2008 versi filmnya diputar di
bioskop-bioskop, para pembaca setia novel itu
pergi berbondong-bondong menontonnya
bersama para penonton lain yang belum
sempat membaca novelnya. Maka,
sebagaimana novelnya yang meraih best-seller, filmnya pun mencapai
status box-office.
Sejak itu, hubungan penerbitan novel dan produksi sinema makin
diperhitungkan sebagai dua bisnis yang saling mendukung. Itulah yang
mempengaruhi pula kesuksesan novel Laskar Pelangi karya Andre Hirata
yang dibuat filmnya oleh Riri Riza dan Mira Lesmana, dua sineas penting
saat ini. Bahkan, muncul pula fenomena lain, yaitu tidak hanya upaya
bisnis untuk memfilmkan novel, tetapi juga menovelkan film. Beberapa
film, seperti Biola Tak Berdawai (2003), Naga Bonar Jadi 2 (2007), dan
15
Tanah Air Beta (2010), dibuatkan pula versi novelnya setelah filmnya
diputar.
Namun, di luar hiruk-pikuk hubungan novel dan bisnis media itu,
tidak sedikit pula novel yang sudah dianggap bermutu oleh para kritikus
ternyata tidak cukup berhasil memperoleh
kesuksesan pasar. Novel Hubbu, misalnya, yang
dikarang oleh Mashuri sebenarnya telah berhasil
menjadi pemenang pertama sayembara novel
Dewan Kesenian Jakarta 2006, namun
penjualannya sangat jauh berada di bawah
kesuksesan Ayat-ayat Cinta dan Negeri 5 Menara.
Padahal, ketiganya sama-sama mengangkat
persoalan dengan latar belakang kehidupan pesantren yang memang
sedang digandrungi oleh pasar pembaca di Indonesia. Mengapa novel
yang satu lebih laku dibanding novel yang lain? Apakah tren tema ke-
Islam-an dalam novel-novel kita belakangan ini ada kaitannya dengan
perubahan keadaan sosial-politik di Indonesia dan dunia internasional
sejak merebaknya wacana pro-kontra tentang "terorisme" Islam? Atau,
jika kita memperhatikan iklan untuk beberapa novel belakangan ini yang
berusaha menghubungkan isi novel dengan tagline motivasi diri, maka
apakah itu terkait juga dengan wacana interpreneurship belakangan ini
yang memungkinkan popularnya gagasan tentang motivasi diri yang
kemudian memunculkan profesi baru, yaitu motivator? Apakah ini semua
hanya tren pasar yang bersifat sementara saja? Bagaimana kita mestinya
merumuskan keterkaitan selera pasar, penilaian kritikus, bisnis media,
tema dan gaya karangan, serta konteks perubahan sosial-historis dengan
kesuksesan sebuah karangan dan naik-turunnya kepengarangan
seseorang? Ini adalah permasalahan yang masih terus-menerus digali
dan diteorikan oleh para ahli sastra. Ini merupakan sebagian dari
persoalan penting dalam teori sastra yang sekarang sedang Anda pelajari.
16
Untuk sementara, dari keseluruhan uraian di atas, kita dapat
menyimpulkan bahwa ternyata banyak faktor yang menentukan diakuinya
kepengarangan seseorang, yaitu pengakuan dari kritikus/ahli sastra, pihak
penerbit, pasar pembaca, dan kepentingan media massa. Pengakuan
itupun dipengaruhi pula oleh posisi pengarang dan karangannya dalam
konteks sosial-historis dan momen perubahan sosial tertentu. Perubahanperubahan
penting dalam kehidupan masyarakat akan mempengaruhi
selera, sikap, dan pengetahuan para pembaca yang hidup dalam
masyarakat tersebut. Karena itu, sebuah karangan yang sebelumnya
dianggap jelek mungkin saja pada masa yang akan datang akan
dipandang bagus, begitu pula sebaliknya. Bahkan, selera dan pendapat
para pembaca itu dapat dibentuk pula oleh promosi yang gencar dilakukan
oleh media massa.
Jika kita sudah menyadari berbagai penentu kepengarangan di
atas, maka kita tidak akan menerima begitu saja pandangan umum yang
selama ini mengatakan bahwa pengarang itu adalah individu yang bebas
berkarya. Sebenarnya, tanpa disadari sepenuhnya oleh para pengarang
maupun calon pengarang, berbagai faktor di atas turut mengkondisikan
pilihan-pilihan tema, bentuk, gaya, dan inovasi yang diambil oleh mereka
dalam karya atau karangannya. Berbagai faktor di atas saling terkait,
bersaing, dan adakalanya saling mendukung dalam penentuan posisi
kepengarangan seseorang.
Bagaimanapun, ketika seorang calon pengarang ingin karangannya
mendapat pengakuan, maka dia akan (atau sudah dengan sendirinya)
menyesuaikan diri dengan tuntutan dari sebagian atau semua faktor di
atas. Pilihan gaya estetik karangannya, misalnya, pasti tidak dapat
dilepaskan dari pengaruh karangan-karangan lain yang sudah pernah dia
baca dan juga pengaruh pandangan dari para krtikus atau ahli sastra yang
sempat membentuk pikiran dan sikap estetiknya. Tren pasar juga mungkin
akan memberi motivasi ekonomis padanya untuk memilih tema atau
setting tertentu dalam karangannya. Meskipun demikian, dia juga tentu
17
punya pilihan untuk keluar dari sikap atau aliran estetik tertentu yang
dijunjung tinggi oleh para kritikus yang dominan, dan dia pun bisa saja
tidak memperdulikan selera atau tren pasar yang disukai oleh industri
media. Posisi manapun yang dia pilih, semuanya akan turut menentukan
kepengarangannya, yaitu bagaimana dia akan diakui atau tidak diakui
oleh masyarakat tempat karyanya bersemayam dalam benak
pembacanya.
Ada satu faktor penentu kepengarangan yang
belum kita bicarakan dalam uraian di atas, yaitu posisi
negara. Negara, yang sebagian kekuasaannya ada di
tangan pemerintah, sebenarnya turut memainkan peran
yang menentukan bagi kepengarangan seseorang.
Dalam konteks ini, mari kita ambil contoh yang sangat
jelas, yaitu kasus kepengarangan Pramoedya Ananta
Toer. Selama lebih dari 30 tahun, karangan-karangannya telah dilarang
oleh pemerintah Orde Baru. Orang yang ingin membaca karangannya
pada waktu itu harus membelinya secara sembunyi-sembunyi di pasar
loak atau meminjam dari teman yang mungkin juga telah meminjamnya
dari teman lain yang dapat dipercaya. Sekarang ini, meskipun larangan
tersebut belum dicabut secara resmi, khalayak pembaca telah bebas
membaca karya-karyanya. Bahkan, di masa awal Reformasi karangankarangan
Pram laku keras dan mendapat perlakuan istimewa dari salah
satu distributor buku terkemuka di Indonesia, yaitu Gramedia, dengan
dibuatkannya rak khusus untuk karya-karyanya di toko-toko mereka.
Mengapa karya Pram dilarang oleh negara?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus mundur
agak jauh ke belakang, ke era '60-an, ketika
perdebatan kebudayaan antara kelompok sastrawan
Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dan sastrawan
Manifes Kebudayaan akhirnya berkelindan dengan
pertikaian politik tingkat tinggi di level nasional
18
Indonesia sendiri dan di level internasional dalam era Perang Dingin di
antara dua negara adidaya pada waktu itu, yaitu Amerika Serikat dan Uni
Soviet, yang mencerminkan pertikaian dua ideologi besar, yaitu
kapitalisme dan komunisme. Ketika Amerika Serikat memenangkan
pertarungan itu dan Presiden Soekarno dapat digulingkan dari tampuk
kekuasaannya, Partai Komunis Indonesia kemudian dinyatakan terlarang
oleh pemerintah Orde Baru dan karya para sastrawan dari Lembaga
Kebudayaan Rakyat pun turut dilarang. Pram adalah salah satunya.
Kita tidak akan berpanjang lebar membahas latar historis itu
(apalagi sejarah pada momen itu adalah sejarah yang rumit yang sampai
sekarang masih diperdebatkan oleh para ahli), namun yang ingin saya
katakan di sini adalah ketika sebuah karangan dilarang oleh negara,
apapun alasannya, pelarangan itu pada dasarnya akan menaikkan pamor
pengarangnya secara langsung atau tidak. Kontroversi di dalam
masyarakat akan muncul terhadap pelarangan tersebut dan dengan
sendirinya karangan itu akan banyak dibicarakan dan akan terpatri dalam
ingatan orang banyak. Dengan demikian, karangan tersebut beserta
pengarangnya secara tidak langsung akan dianggap penting, yaitu makin
diakui keberadaanya justru ketika dihilangkan keberadaanya melalui
pelarangan. Inilah paradoks pelarangan.
Sifat paradoks pelarangan ini sering kali dimanfaatkan dengan jeli
oleh industri media massa untuk meningkatkan keuntungan dagangnya.
Mereka akan memainkan rasa ingin tahu atau rasa penasaran dari pasar
pembaca melalui cara-cara promosi yang memikat. Maka, setelah Orde
Baru jatuh pada tahun 1998, nilai ekonomis dari karya-karya Pram
meningkat cukup tajam. Selain itu, pembicaraan akademis dan penelitian
ilmiah tentang karya-karyanya juga makin leluasa dilakukan. Hal-hal yang
sebelumnya tabu untuk diteliti, kini dapat menjadi wilayah perdebatan
akademis yang subur.
***
19
Untuk meringkaskan apa yang sudah kita bahas di atas, mari kita kembali
ke pertanyaan semula: Mengapa orang yang sudah menghasilkan
karangan tidak dapat begitu saja disebut sebagai pengarang? Anda
mungkin akan menjawab, "Karena kepengarangan itu membutuhkan
pengakuan, dan pengakuan itu tidak datang begitu saja tetapi melalui
proses yang rumit yang ditentukan oleh banyak pihak dalam kehidupan
kesusastraan, seperti kritikus, penerbit, media massa, pasar pembaca,
dan negara." Jika Anda menjawab demikian, saya senang Itu berarti Anda
sudah memahami uraian saya tentang pengarang dan lembaga
kepengarangan di atas. Skema berikut ini saya harap dapat mempertajam
pemahaman Anda.
20
Skema tersebut memperlihatkan bahwa seorang PENULIS biasa
atau calon pengarag harus melewati berbagai macam LEMBAGA
KEPENGARANGAN untuk dapat mencapai posisi sebagai PENGARANG.
Artinya, dia lebih dulu harus menerbitkan karangannya setidak-tidaknya di
blog pribadinya di INTERNET atau di MEDIA INTERNAL, seperti terbitan
berkala di komunitasnya sendiri, di sekolah, atau di kampusnya. Dengan
begitu, karangannya dapat diketahui oleh para pembaca, terutama temanteman
terdekatnya. Namun, jika dia cukup percaya diri terhadap
karangannya, dia bisa mengirimkannya ke KORAN atau MAJALAH. Di sini
karangannya akan disaring atau dinilai oleh para redaktur yang biasanya
juga adalah para pengarang yang sudah terkemuka. Jika ternyata dimuat,
bolehlah dia merasa senang karena kepengarangannya mulai
diperhitungkan. Apakah ini saatnya yang tepat untuk mencoba
21
menawarkan karangan ke PENERBIT? Mungkin inilah saatnya, pikir si
penulis baru kita ini. Maka, diapun harus berhadapan dengan saringan
para editor di penerbit. Di sini rupanya dia gagal karena para editor itu
menganggap karangannya tidak punya nilai jual yang cukup tinggi.
Mereka tentu tidak mau dimarahi si PEMILIK MODAL penerbitan itu garagara
rugi, 'kan?
Mari kita teruskan kisah perjalanan penulis baru kita ini. Dia mulai
memperbaiki karangannya, mengubahnya di sana-sini, membandingbandingkannya
dengan karangan lain yang sudah dianggap orang lebih
bagus, dan mencoba menciptakan inovasi dan gaya yang khas miliknya
sendiri. Ketika ada SAYEMBARA yang diselenggarakan oleh sebuah
lembaga sastra yang terpandang, diapun mengirimkan karangannya. Para
juri sayembara (yang tentu saja terdiri dari para sastrawan dan ahli sastra
yang terkemuka) rupanya jatuh hati pada karangannya. Tanpa disangka
sama sekali olehnya, karangannya ternyata diputuskan sebagai
pemenang pertama sayembara itu. Status kepengarangannya kini
meningkat sudah. Maka, datanglah tawaran dari penerbit. Kini dia tidak
perlu menawarkan diri lagi, tapi penerbit itulah yang datang meminta
karangannya untuk diterbitkan. PASAR PEMBACA yang lebih banyakpun
mulai terbayang di depan matanya.
Karangannya ternyata juga menarik minat seorang KRITIKUS/AHLI
SASTRA. Si ahli itu kemudian menuliskan sebuah kajian yang cukup
kontroversial tentang karangannya. Kajian tersebut dimuat di sebuah
JURNAL kebudayaan yang terkenal dan kemudian mendapat tanggapan
dari beberapa ahli sastra lain di dalam forum-forum diskusi akademis yang
cukup bergengsi. Nama penulis kita ini lantas menjadi terkenal. Meski
agak kikuk dengan keterkenalannya yang mendadak itu, dia tetap
mencoba tenang dan low profile. Beberapa kali dia mendapat undangan
wawancara di RADIO dan TELEVISI untuk membicarakan karyanya.
Perlahan tapi pasti, dia mulai menyadari bagaimana rasanya dan apa
artinya pengakuan orang terhadap karyanya. Pergaulannya menjadi lebih
22
luas, dan ketika datang tawaran bahwa karangannya akan difilmkan, dia
mulai menimbang-nimbang apakah SINEMA dapat mengungkapkan inti
karangannya secara sama baiknya dengan media tulis yang dia geluti
selama ini. Dalam perundingan dengan pihak pemilik modal perusahaan
film dan sutradara, sadarlah dia bahwa kompromi dengan kepentingan
ekonomi tidak dapat dia elakkan dengan mudah. Maka, filmnyapun diputar
dan menuai banyak kontroversi.
Begitulah kira-kira perjalanan yang mungkin dialami oleh seorang
penulis baru sampai akhirnya dia diakui sebagai pengarang. Dia harus
melewati semacam tangga kepengarangan yang dibuat oleh lembaga
kepengarangan. Kepengarangannya akan makin diakui jika karangannya
masuk ke dalam KURIKULUM sekolah atau universitas melalui kebijakan
NEGARA dalam bidang pendidikan. Jika lembaga kepengarangan di luar
negeri juga menganggap karangannya penting, maka tentu akan ada
upaya PENERJEMAHAN atas karyanya. Jika karyanya dipandang
memberi pengaruh yang besar dalam pembaharuan pemikiran dan
kebudayaan, maka bukan tidak mungkin PENGHARGAAN bergengsi
pada tingkat nasional maupun internasional akan dia peroleh juga.
Namun, semua itu tentu tidak dia capai dengan gampang karena di
dalam lembaga kepengarangan itu bersemayam berbagai kepentingan
yang saling bersaing di antara banyak pihak, seperti negara, pemilik
modal, kritikus/ahli sastra, dan juga khalayak pembaca. Pada skema di
atas, hubungan di antara berbagai pihak itu ditandai dengan panah yang
bergaris putus-putus karena hubungan mereka kebanyakan terjadi secara
tidak langsung, yaitu diperantarai oleh lembaga kepengarangan yang ada
di tengah skema. Pada skema itu, pihak kritikus/ahli sastra sengaja diberi
lingkaran penegas untuk sekadar mengingatkan bahwa di situlah Anda
berposisi nantinya sebagai sarjana ilmu sastra maupun guru sastra. Anda
diharapkan terlibat di dalam arena lembaga kepengarangan itu dan
memberikan kontribusi bagi kemajuan kesusastraan, pemikiran, dan
kebudayaan Indonesia.
23
2.3 PEMBACA SASTRA DAN PENAFSIRAN
Pada bagian ini saya akan menjelaskan hubungan tulisan sastra dan
penafsiran yang dibuat oleh pembacanya. Saya akan menjelaskannya
melalui sebagian kecil dari peristiwa sastra yang penting dalam perjalanan
sastra Indonesia yang saya tata dalam urutan waktu (timeline) yang bolakbalik.
Bandung, 1973.
Seorang pemuda kurus tapi tegap, dengan rambutnya yang ikal gondrong
sebahu, terlihat awut-awutan. Kumis, cambang, dan jenggotnya juga
terkesan tak terurus. Matanya nyalang, tapi juga menyimpan kedalaman.
Dialah Sutardji Calzoum Bachri, yang pada saat itu mencanangkan
sebuah kredo puisi yang mengejutkan. Dengan tegas dia menyatakan,
"Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Katakata
harus bebas menentukan dirinya sendiri."
Sekarang, mari kita lihat bagaimana dia membebaskan kata dari
beban pengertian. Dari
kumpulan puisinya O
Amuk Kapak, saya
ambilkan dua buah
puisinya, yang berjudul
"Pot" dan "Luka",
sebagai contoh:
24
Nah, apa makna kedua puisi itu? Jika kita bertanya demikian, tentu
saja itu adalah pertanyaan yang keliru. Sekali kita memberi makna pada
puisi tersebut, pada saat itu pula kita telah turut membebani kata dengan
pengertian, kita telah menjajah kata dengan pengertian. Mungkin ada
yang tidak setuju dan membantah, "Tapi, bukankah kita perlu memberi
makna pada sebuah puisi? Jika tidak, lantas untuk apa puisi itu?" Justru di
situlah letak permainannya. Dengan memberi makna pada puisi Sutardji,
kita tertangkap basah telah melanggar kredo puisi Sutardji itu sendiri. Di
sini kita sedang dihadapkan dengan paradoks makna. Artinya, ketika kita
memberi makna, kita telah melanggar kredo itu; tetapi ketika kita tidak
memberi makna, kita pun tetap melanggarnya karena "tidak-memberimakna"
adalah suatu tindakan pemberian makna juga. Kita semua,
sebagai para pembaca, telah terperangkap dalam penjara makna yang
jalan keluarnya sudah tidak ada. Yang bisa kita lakukan hanya mengganti
makna yang satu dengan makna yang lain, begitu seterusnya. Apa boleh
buat, kita sudah ditakdirkan menjadi makhluk yang memberi makna.
Maka, persoalan yang perlu kita ajukan adalah: Bagaimanakah orang
memberikan makna pada sesuatu? Atau, bagaimanakah orang
menafsirkan sesuatu? Inilah pertanyaan kuliah kita hari ini.
POT
pot apa pot itu pot kaukah pot aku
pot pot pot
yang jawab pot pot pot pot kaukah pot itu
yang jawab pot pot pot pot kaukah pot aku
pot pot pot
potapa potitu potkaukah potaku?
POT
1970
LUKA
ha ha
1976
25
Manhattan, 1965.
Jane dan Marno sedang memandang ke luar jendela apartemen, menatap
rembulan yang lewat.
"Bulan itu ungu, Marno."
"Kau tetap hendak memaksaku untuk percaya itu?"
"Ya, tentu saja, Kekasihku. Ayolah akui. Itu ungu, bukan?"
"Kalau bulan itu ungu, apa pula warna langit dan mendungnya itu?"
"Oh, aku tidak ambil pusing tentang langit dan mendung. Bulan itu
u-ng-u! U-ng-u!
Ayolah, bilanglah, ungu!"
"Kuning keemasan!"
"Setan! Besok aku bawa kau ke dokter mata."
Bagi Anda yang sudah mengenal dengan baik
cerpen-cerpen Umar Kayam, tentu Anda tidak asing
dengan percakapan Jane dan Marno di atas. Ya, ini
memang saya kutip dari cerpennya yang terkenal, yaitu
"Seribu Kunang-kunang di Manhattan". Percakapan
mereka hendak saya jadikan contoh untuk membahas
pertanyaan kuliah kita di atas. Mari kita mulai.
Mengapa Jane berkata bahwa bulan itu ungu? Apakah pada saat
itu bulannya memang pada kenyataanya ungu? Jika memang demikian,
apakah dia sekadar bermaksud hendak memberitahu Marno bahwa warna
bulan itu ungu, atau ada maksud lain dengan ucapannya itu? Mungkinkah
Jane hanya sekadar iseng berbasi-basi dengan ucapannya itu karena
sudah tidak ada bahan obrolan lain? Jadi, sebenarnya dia tidak terlalu
peduli apakah warna bulan itu ungu atau bukan, yang penting ada bahan
obrolan untuk memecah suasana sepi di antara mereka. Apakah demikian
maksud dia sesungguhnya? Atau, ada maksud lain, misalnya, minta
perhatian saja dari Marno? Kita tidak tahu pasti.
26
Selanjutnya, jika kita lihat jawaban Marno, yaitu "Kau tetap hendak
memaksaku untuk percaya itu?", maka kita bisa menyimpulkan bahwa
rupanya omongan tentang bulan ungu itu bukan sekali ini saja diajukan
oleh Jane. Itu bisa kita simpulkan dari adanya kata "tetap" dalam jawaban
Marno tersebut. Tapi, mengapa Marno tidak menyetujui saja pendapat
Jane bahwa bulan itu ungu? Apakah Marno tidak mengerti bahwa Jane
hanya sekadar basi-basi? Atau, Marno memang menangkap ada maksud
lain dari ucapan Jane itu sehingga dia malah berbelit-belit dengan
bertanya balik tentang warna lagit dan awan mendung? Apakah
pertanyaannya tentang warna langit dan mendung itu hanya sekadar
menggali informasi tentang kenyataan warnanya, ataukah dia bermaksud
menggoda Jane dengan mesra seperti layaknya dua kekasih yang
menyatakan kemesraan mereka justru dengan cara pura-pura
bertengkar? Atau, mungkinkah Marno justru tidak bermaksud menggoda
Jane dengan mesra, tapi dia memang sedang tidak mood ngobrol dengan
Jane? Sebenarnya Marno hanya memaksakan diri ngobrol bersama Jane
sehingga ketidaksetujuan dia tentang warna bulan menunjukkan jarak
yang ingin dia ambil terhadap Jane. Apakah demikian? Kita tidak tahu
pasti.
Umar Kayam, sebagai pengarang cerpen tersebut, memang tidak
melengkapi percakapan kedua tokohnya itu dengan informasi tentang
maksud ucapan mereka masing-masing. Kita, sebagai pembaca, hanya
bisa menebak-nebak dari segala pilihan maksud yang mungkin dari
ucapan-ucapan mereka, seperti yang sudah saya tawarkan sebagiannya
di atas.
Dari contoh percakapan di atas, saya hanya bermaksud
mengatakan bahwa dalam kehidupan pergaulan sehari-hari, kita selalu
harus menebak maksud lawan bicara kita. Kadang-kadang tebakan kita
tepat, tapi tidak jarang pula meleset. Jika tebakan kita tepat,
percakapanpun akan terus berlangsung dengan asyik. Jika meleset,
muncullah kesalahpahaman alias nggak nyambung, dan percakapan
27
dapat berubah pelan-pelan menjadi pertengkaran yang sia-sia atau
perasaan boring yang mematikan. Jadi, pemberian makna atau penafsiran
dalam konteks ini dapat didefinisikan sebagai tebakan terhadap maksud
yang tidak dinyatakan dalam ucapan. Ini baru pengertian awal yang
umum.
Lantas, apa maksud Umar Kayam mencantumkan percakapan
tentang bulan ungu itu di permulaan cerpennya?
Jakarta, Januari 2002.
Sekelompok pengarang muda, yaitu A.S.
Laksana, Hasif Amini, dan Sitok Srengenge,
berkunjung ke rumah Umar Kayam. Mereka
bermaksud mewawancarai pengarang Indonesia
yang sudah sepuh itu. Salah satu pertanyaan
yang rupanya juga menggelitik mereka adalah
apa maksud Umar Kayam mencantumkan
percakapan tentang bulan ungu itu di permulaan
cerpennya. Memang tidak persis seperti itu
rumusan pertanyaan mereka, tapi saya kira maksudnya mirip begitu. Saya
kutipkan saja tanya jawab mereka tentang hal itu berikut ini.
Pertanyaan:
Dalam "Seribu Kunang-kunang di Manhattan", ada percakapan antara
Jane, perempuan New York, dan Marno, lelaki Jawa, yang seringkali tidak
pernah ketemu. Apakah anda bermaksud bicara soal perbedaan cara
pandang Timur dan Barat, misalnya, yang diwakili oleh perbedaan antara
Jane dan Marno dalam memahami warna bulan dan sebagainya?
Jawaban:
28
Boleh saja kalau mau diartikan demikian. Saya sekadar mau cerita
tentang kesedihan, keterasingan orang di lingkungan yang lain. Marno
mewakili suatu lingkungan lain di New York, dan Jane seorang bule New
York. Perempuan itu, meskipun sudah cerai, referensinya masih tetap
bekas suaminya. Itu nulisnya susah payah betul. Menggambarkan orang
kesepian, membayangkan kesedihan di New York, caranya bagaimana?
Saya kemudian memotret diri saya sendiri. Membayangkan orang asing
kesepian di New York, ya akhirnya saya menengok kehidupan saya
dengan istri saya. Ngapain saya ini, sekolah kok jauh-jauh.
Tampaknya tebakan si penanya agak meleset. Mereka mengira
bahwa maksud Umar Kayam dengan cerpennya itu adalah ingin
menggambarkan perbedaan cara pandang Timur dan Barat. Meskipun
Umar Kayam tidak menyalahkan tebakan mereka, tapi dia sebenarnya
punya maksud tersendiri, yaitu "sekadar mau cerita tentang kesedihan,
keterasingan orang di lingkungan yang lain". Jika demikian, apakah
tebakan si penanya itu sia-sia belaka? Saya kira, di sinilah letak uniknya
karya sastra. Meskipun tebakan makna yang diajukan oleh si penanya itu
tidak sama dengan yang dimaksudkan si pengarang, justru kemelesetan
itu telah membuka kemungkinan makna yang lain. Karya sastra memang
menghendaki terbukanya kemungkinan makna. Seorang ahli sastra
terkemuka dari Inggris, Jonathan Culler, menyebut hal ini sebagai
"Permainan Tentang". Dalam hal ini, maksudnya adalah meskipun si
pengarang mengatakan bahwa karyanya TENTANG kesedihan dan
keterasingan, bukan berarti si pembaca tidak boleh mengartikannya
dengan cara lain, yaitu TENTANG perbedaan cara pandang Timur dan
Barat. Terbukanya kemungkinan makna yang lain itu justru akan
mendorong dan memberi kesempatan bagi berkembangnya tingkat
pertukaran pemikiran dan pergaulan yang lebih maju dan sehat.
Tapi, bagaimana jika "Permainan Tentang" itu justru menimbulkan
pertikaian yang berbahaya?
29
Jakarta, Agustus 1968.
Majalah Sastra yang dipimpin oleh H.B. Jassin, kritikus kawakan sastra
Indonesia, memuat cerpen yang berjudul "Langit Makin Mendung" yang
dikarang oleh seseorang yang hanya dicantumkan nama samarannya:
Kipandjikusmin. Cerpen tersebut kemudian mendapat tanggapan ramai di
surat kabar. Dalam waktu yang cukup panjang mereka mengadakan
polemik di surat kabar mengenai cerpen itu. H.B. Jassin sendiri juga ikut
berpartisipasi dalam polemik tersebut.
Secara garis besar, mereka terbagi dalam
dua kutub, yaitu pihak yang memandang bahwa
cerpen tersebut telah bermaksud menghina
agama Islam dan pihak yang berpendapat
bahwa cerpen tersebut justru bermaksud
mengingatkan orang agar kembali menjalankan
Islam dengan benar. Masalahnya rupanya
berpusat pada bentuk cerpen ini yang
mempersonifikasikan Tuhan, Jibril, dan Nabi Muhammad dengan cara
yang satir karikatural. Polemik yang produktif itu kemudian berubah
menjadi serangan politis, pelarangan majalah Sastra, dan tuntutan hukum
terhadap H.B. Jassin, yang saat itu tetap pada komitmen moralnya untuk
tidak mengungkapkan identitas Kipandjikusmin yang sebenarnya di
hadapan pengadilan. Dalam pembelaan dirinya, H.B. Jassin menyatakan
bahwa personifikasi Tuhan di dalam
cerpen itu tidak bisa dilihat sebagai
sesuatu yang real, melainkan itu harus
dilihat sebagai bagian dari dunia fiksi,
dunia imajinasi, yang mempunyai kaidah
logikanya sendiri.
Dari peristiwa ini kita bisa menyimpulkan bahwa tindakan
pemberian makna terhadap karya sastra pada dasarnya dipengaruhi oleh
30
sejauh mana seorang pembaca memahami kode-kode fiksional yang
mendasari bentuk karya tersebut, yang dalam kasus ini adalah
personifikasi Tuhan, Malaikat, dan Nabi dengan cara satir karikatural.
Perbedaan dalam memahami kode-kode tersebut dengan sendirinya akan
menghasilkan perbedaan dalam pemberian makna.
Kode-kode tersebut seringkali cukup rumit, seperti yang terlihat
pada puisi Sutardji yang telah kita bicarakan di bagian terdahulu. Dalam
kasus puisi Sutardji, yang terjadi justru adalah pembaharuan kode.
Sutardji sengaja menentang konvensi penciptaan dan pemaknaan puisi
yang berlaku sebelumnya dan berusaha menawarkan konvensi atau kodekode
fiksional yang baru yang harus dipecahkan maknanya oleh
komunitas pengarang dan kritikus/ahli sastra itu sendiri. Dalam
sejarahnya, komunitas ini memang menjunjung tinggi sikap kebaruan
terus-menerus yang menjiwai kemerdekaan kreativitas. H.B. Jassin juga
berada dalam komunitas ini sehingga keputusannya untuk memuat cerpen
"Langit Makin Mendung" itu dapat dipandang sebagai bagian dari
penghargaannya terhadap kemerdekaan kreativitas.
Namun, tidak semua kalangan dalam masyarakat memiliki sikap
hidup seperti itu. Sebagian kalangan memilih untuk mempertahankan apa
yang mereka anggap sebagai konvensi luhur dalam kehidupan mereka,
yang tidak boleh berubah. Dalam hal ini, personifikasi satir karikatural ala
cerpen "Langit Makin Mendung" tampaknya telah dipandang melanggar
konvensi tersebut, yaitu konvensi untuk tetap menggambarkan Tuhan,
Malaikat, dan Nabi dengan cara yang agung.
Perbedaan dua kelompok di atas dapat
dianalogikan dengan cerita anekdot berikut ini. Ada
seorang mahasiswi dari Slovakia yang sedang
mengikuti program pertukaran pelajar di Indonesia.
Dia memilih Jakarta untuk tempat belajarnya.
Selama di Jakarta, dia mulai menyadari bahwa persoalan berat yang
harus dia hadapi adalah makanan di kota ini ternyata terlalu pedas
31
baginya. Maka, ketika suatu kali dia memesan nasi goreng yang lewat dan
tukang nasi goreng itu bertanya, "Pedas nggak, Neng?", dia langsung
menjawab dengan tegas, "Nggak pedas!" Tetapi, ketika dia makan, nasi
goreng itu ternyata tetap terasa pedas. Tentu saja dia protes.
"Saya 'kan sudah bilang nggak pedas, tapi mengapa masih pedas
juga?"
"Lho, itu memang sudah nggak pedas, Neng."
"Tapi ini tetap pedas!"
"Wah, kalo begitu ya nggak usah dikasih cabe dong, Neng."
"Ya, memang. Saya tidak mau ada cabe!"
"Oh, bilang dong dari tadi."
"Tadi 'kan saya sudah bilang!"
"Tadi Neng bilangnya nggak pedas, bukannya nggak pake cabe."
Dengan agak bersungut-sungut si tukang nasi goreng akhirnya
membuatkan nasi goreng baru sesuai dengan permintaan si mahasiswi.
Sementara itu, si mahasiswi menyadari sudah ada kesalahpahaman
sehingga dia merasa tidak enak hati karena sudah marah-marah. Ketika
dia kemudian bermaksud membayar seharga dua porsi nasi goreng, si
tukang nasi goreng ternyata hanya memintanya membayar satu porsi nasi
goreng. Sejak itulah si mahasiswi menjadi pelanggan berat nasi
gorengnya.
Sebagai orang Indonesia, Anda tentu bisa memahami apa artinya
"nggak pedas" dalam situasi tersebut. Pada umumnya orang Indonesia,
tidak mungkin tidak makan dengan bumbu cabe. Hanya ukuran pedasnya
saja yang berbeda-beda. Tapi, bagi orang dari budaya yang berbeda,
seperti Slovakia yang sangat tidak terbiasa makan pedas, ungkapan
"nggak pedas" akan mereka pahami secara harfiah sebagai memang
"nggak pake cabe". Di sinilah letak kesalahpahaman si mahasiswi dan si
tukang nasi goreng. Kedua belah pihak tidak saling memahami bawaan
budaya masing-masing yang dapat mempengaruhi makna dari ungkapan
"nggak pedas".
32
Demikianlah pula yang terjadi dengan pro-kontra cerpen "Langit
Makin Mendung". Kedua pihak membawa konvensi budayanya masingmasing
dalam memahami ungkapan personifikasi yang satir karikatural
dalam cerpen tersebut, yaitu sebagai penghinaan terhadap agama Islam,
di satu pihak, dan sebagai ajakan untuk menjalankan agama Islam
dengan baik, di pihak lain.
Pertanyaan lebih lanjutnya adalah jika tindakan pemberian makna
itu memang sangat dipengaruhi oleh bawaan budaya atau konvensi
budaya dari si pemberi makna, maka "budaya" itu sendiri apa?
Bandung, 1935.
Sulastri sangat kecewa dan sedih karena karangannya ditolak oleh
penerbit Balai Pustaka. Dia tidak mengerti mengapa mereka menolak
karangannya yang sudah dia ciptakan dengan sangat bersungguhsungguh.
Dia merasa terpukul dan merasa dirinya begitu bodoh.
Suaminya, Sudarmo, menganggap istrinya terlalu berlebihan. Menurut
Sudarmo, seharusnya Sulastri tidak perlu terlalu kecewa dan larut dalam
kesedihan karena penilaian redaktur Balai Pustaka bukanlah segalagalanya
dan lagipula para redaktur itu tidak mengerti pembaharuan sastra
yang telah ditawarkan istrinya. Tapi, bagi Sulastri, masalahnya rupanya
lebih dari itu. Yang lebih menyakitkan baginya adalah bahwa dia harus
berpisah dari bahasanya sendiri, yaitu bahasa Sunda. Itu artinya dia harus
mengarang dalam bahasa Belanda, bahasa kaum terpelajar pada masa
itu.
"Dar, inilah titik peralihan dalam hidupku. Aku telah berpisah
dengan bahasa Sunda," katanya pada suaminya.
"Tulislah dalam bahasa apapun juga. Bahasa Sunda paling-paling
tinggal sebagai bahasa daerah saja. Dan juga, yang penting bukan
bahasanya, tetapi apa yang kau ingin katakan," sahut suaminya
menyemangati.
33
Sulastri mulai mendapatkan lagi tekadnya. Dia menyadari bahwa
meskipun dia akan menulis dalam bahasa Belanda, dia akan menulis
tentang pengalaman hidupnya, yaitu pengalaman menjadi manusia yang
merdeka, manusia Indonesia.
Sulastri bukanlah tokoh nyata, dia adalah tokoh
dalam novel Buiten het Gareel (=Di Luar Jalur) yang
dikarang oleh Suwarsih Djojopuspito yang terbit pada
tahun 1940 di Belanda. Novel ini memang ditulis
dalam bahasa Belanda, tetapi menceritakan
pengalaman manusia baru, manusia Indonesia, di
tahun 30-an. Di tengah tekanan pemerintah Belanda yang makin
meningkat terhadap pergerakan nasional Indonesia, beberapa intelektual
muda, termasuk Sulastri dan suaminya, gigih mendirikan sekolah untuk
kaum pribumi agar gagasan dan semangat pergerakan nasional Indonesia
tetap dapat dijaga. Pengalaman guru-guru muda itulah
yang diangkat dalam novel ini yang kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun
1975 dengan judul Manusia Bebas.
Saya sengaja mengambil kutipan percakapan
Sulastri dan Sudarmo dari novel tersebut untuk
membahas persoalan: apa itu budaya? Pertama-tama,
budaya adalah BAHASA. Bahasa yang dimaksud di sini adalah segala
rekaman pikiran, perasaan, dan pengalaman orang-orang dalam
masyarakat tertentu. Bahasa di sini tidak hanya mencakup apa yang
tertulis, tetapi juga yang dilisankan. Namun, tidak hanya itu. Kita juga
dapat melihat perwujudan bahasa dalam berbagai benda-benda yang
digunakan orang dalam kehidupan sehari-hari mereka: pakaian,
perhiasan, makanan, tempat tinggal, kendaraan, peralatan, dan
sebagainya. Benda-benda itu mampu menyatakan siapa dan bagaimana
mereka. Semua itu bukan semata-mata benda, tetapi benda yang
34
memberi makna kepada mereka dan diberi makna oleh mereka. Karena
itu, benda-benda itu telah menjadi bahasa.
Ketika Sulastri memutuskan untuk mengarang dalam bahasa
Belanda dan tidak lagi dalam bahasa Sunda, dia merasa bahwa titik
peralihan dalam hidupnya telah terjadi. Itu artinya dia akan memasuki
budaya baru yang membuat dia berpikir dalam cara baru, yaitu cara yang
ditentukan oleh bahasa baru tersebut. Tetapi, apakah dengan demikian
dia berubah menjadi orang Belanda? Tentu tidak sesederhana itu.
Kebelandaan tidak hanya ditentukan oleh bahasa lisan atau tulisan, tetapi
juga oleh keseluruhan benda-benda yang membentuk identitas sebagai
orang Belanda. Salah satu "benda" pentingnya dalam hal ini adalah kulit
tubuh. Dalam konteks penjajahan Belanda di Indonesia, perbedaan kulit
atau perbedaan ras sangat menentukan tinggi-rendahnya kedudukan atau
status sosial seseorang di dalam masyarakat. Jadi, kulit telah menjadi
bahasa karena telah diberi makna, yaitu sebagai penanda hierarki sosial.
Dengan kata lain, hierarki ras adalah bagian dari kebudayaan kolonial.
Sulastri tidak mungkin menjadi Belanda meskipun dia berbahasa
Belanda karena tubuh dan pengalamannya berada dalam posisi orang
terjajah. Namun, di sisi lain, karena Sulastri adalah pihak yang terjajah
dan ras yang dianggap rendah (pribumi Sunda) dalam kebudayaan
kolonial, maka tentu saja perpindahan dia ke bahasa Belanda membuat
dia mampu memahami alam pikiran penjajahnya. Di sini dia mengalami
lompatan kesadaran, yaitu tidak lagi menjadi orang terjajah dan bukan
pula penjajah, tapi dapat memahami keduanya. Dia menjadi manusia
baru: manusia merdeka, manusia yang bebas. Terbentuklah suatu
identitas baru. Inilah yang dia maksud ketika dia mengatakan pada
suaminya, "Dar, inilah titik peralihan dalam hidupku."
Nah, novel yang kemudian dia tulis--yang merekam pikiran,
perasaan, dan pengalaman manusia baru itu--merupakan salah satu
benda budaya dari masyarakat baru yang sedang dibangun oleh manusia
yang bebas itu. Kerena itu, selain berarti bahasa, budaya juga adalah
35
identitas. Dalam pengalaman Sulastri--dan tentu saja Suwarsih,
pengarangnya--identitas itu tidaklah stabil atau mantap, identitas barunya
itu selalu berada dalam ketegangan dengan identitas ke-Sunda-an dan
ke-Belanda-an yang melingkungi dirinya pada saat itu.
Kebanyakan para cendekia muda Indonesia saat itu mengalami hal
serupa. Mereka bergelut dengan identitas kedaerahan mereka yang
feodal, di satu sisi, dan identitas ke-Belanda-an yang kolonial, di sisi lain.
Amir Hamzah, salah satu penyair yang menamakan diri Pujangga Baru di
masa itu, mengungkapkan dalam sebagian bait puisinya yang berjudul
"Gema" tentang betapa perihnya menghidupi identitas baru itu:
Hancur badanku
Zahir badanku
dari gelombang dua berimbang
akulah buih dicampakkan tepuk
akulah titik rampatan mega
suara sunyi di rimba raya
A k ulah gema tiada berupa
Jauh sebelumnya, Kartini juga telah merasakan kepedihan yang
sama. Dalam salah satu suratnya tertanggal 13 Januari 1900, dia
mengumpamakan kepedihan identitas baru itu dengan Ginonjing, salah
satu komposisi gamelan Jawa:
Aku mendengarkan Ginonjing ribuan kali tapi tak ada satupun bunyi
yang bisa kutirukan. Sekarang suara gamelan itu sudah berlabuh,
aku juga tak bisa mengingat satu suara pun, semuanya hilang dari
ingatanku; rintihan suara yang menyayat hatiku itu di saat yang
sama terdengar sangat melankolis. Aku tidak bisa mendengarkan
Ginonjing tanpa turut hanyut bersamanya. Aku hanya butuh
mendengar musik awalnya saja lalu aku akan langsung terbuai
dalam pesonanya. Aku tak ingin mendengar lagu yang
menyedihkan itu tapi ternyata, aku harus, aku harus, aku harus
mendengar getarannya yang bercerita tentang masa silam dan
masa datang, seolah suara itu adalah getar napas gamelan yang
36
berhembus menyingkap tirai penutup masa depanku. Dan seperti
cerahnya hari, angan masa depanku sudah hilang sebelum benak
mataku. Menggigil sendi tulangku, melihat sosok gelap yang
bangkit di depanku. Aku tidak mau melihat tapi mataku tetap
terbelalak dan, di hadapan kakiku ternganga jurang dalam yang
membuatku pening; tapi, jika aku tengadahkan kepalaku,
terbentanglah bentaran langit biru di atasku dan sinar emas sang
surya yang membuai kapas awan putih dan terbitlah cahaya dalam
hatiku sekali lagi!
Identitas diri pada dasarnya memang tidak bisa kita klaim begitu
saja secara sepihak karena dalam kehidupan sosial terdapat kehadiran
identitas yang lain. Jika identitas yang lain itu lebih mendominasi dan
menekan identitas diri kita, maka beridentitas menjadi sesuatu yang tidak
mudah. Identitas diri akan terus-menerus berada dalam ketegangan
antara penerimaan dan pengabaian dari pihak identitas yang lain.
Demikianlah posisi identitas dalam kebudayaan. Dalam konteks para
cendekia muda di awal pergerakan nasional Indonesia, identitas diri baru
yang masih belia itu sudah langsung berhadapan dengan tarikan dominasi
identitas feodal dan kolonial. Karena itu, Kartini menegaskan jauh-jauh
hari bahwa "siapapun yang terpilih oleh nasib menjadi ibu rohani untuk
melahirkan 'yang baru' harus menanggung derita."
***
Mari kita kembali pada persoalan awal kita, yaitu bagaimanakah orang
memberikan makna pada sesuatu atau bagaimanakah orang menafsirkan
sebuah karya sastra. Dari uraian di atas, bisa kita simpulkan lagi di sini
bahwa bawaan budaya ternyata sangat mempengaruhi cara orang
menafsirkan sebuah karangan. Kita sudah pula membahas pengertian
budaya itu sendiri secara singkat dengan mengambil ilustrasi dari
pengalaman para cendekia muda di zaman pergerakan nasional.
Karangan-karangan yang mereka hasilkan menuntut kita untuk
37
menafsirkannya dalam konteks zamannya dan dalam dilema yang
dihadapi pengarangnya pada zaman itu.
Sepanjang perkenalan dan pendalaman Anda dengan dunia
kesusastraan Indonesia dalam perkuliahan Anda di jurusan ini, Anda akan
bertemu dengan berbagai karya sastra, baik lama maupun baru. Semua
upaya penafsiran yang nanti akan Anda lakukan terhadap karya sastra
apapun pada dasarnya merupakan upaya untuk menyadari bawaan
budaya Anda sendiri dan bawaan budaya pengarangnya serta tegangantegangan
yang mungkin ada di antara Anda, si pengarang, dan konteks
sosial-historis di mana Anda hidup. Itulah yang saya sebut dengan
kepembacaan. Melalui kepembacaan itulah peradaban kita dipertaruhkan
karena membaca berarti bertemu. Dan, dalam pertemuan itu mampukah
segala identitas di dalam masyarakat hidup berdampingan secara damai,
dalam kesetaraan harkat, saling mengerti, dan giat bekerjasama? Ini
pertanyaan yang tidak perlu Anda jawab. Perlahan tapi pasti, nanti Anda
akan mengerti sendiri bahwa jawabannya sangatlah tidak gampang.
Untuk memberikan gambaran yang ringkas dan lebih visual tentang
berbagai hal yang terkait dengan kepembacaan yang sudah saya
jelaskan, berikut ini saya berikan skemanya. Karena kepembacaan itu
tidak terlepas dari kepengarangan, maka skema ini saya sebut "Skema
Kepembacaan dan Kepengarangan". Karena itu, skema ini pada dasarnya
terkait dengan "Skema Lembaga Kepengarangan" yang sudah kita
pelajari sebelumnya.
38