Aku
tak pernah berpikir untuk merasakan kehilangan begitu dalam. Namun rasa
itu perlahan semakin nyata tatkala virus-virus jahanam menggerogoti
setiap inci hidupnya.Januari 2002
Dia. Velisa Natalia. Gadis cantik berambut hitam lurus. Dia seksi dan berbibir tipis. Sangat sulit untuk mendeskripsikan kecantikannya yang sempurna. Kadang, aku merasa iri padanya. Karena aku tidak memiliki komponen kecantikan apapun kecuali kulit putih dan hidung mancung. Tapi ada sisi gelap yang tak bisa kutolerir. Dia adalah pekerja seks komersial.
Aku sudah mengetahui hal ini sejak beberapa bulan yang lalu. Saat itu Velisa datang ke rumahku. Sebagai sahabat terdekatnya, Velisa selalu mencurahkan hatinya padaku.
“Ren...,” ucap Velisa lirih.
“Kenapa Vels..?”
“Kemarin...gua..._” Velisa berusaha tegar dan menepis rasa takutnya. “aborsi...”
Saat itulah, aku tahu. Velisa sebatang kara. Hidupnya berakar dari panti asuhan. Untuk bertahan hidup, dia melepas keperawanan dan membiarkan pria-pria don juan menikmati tubuh sintalnya.
Juli 2002
Waktu semakin sulit diajak kompromi. Terus berputar dengan ganas. Tidak akan terasa setiap jengkal detiknya akan menuntunmu menuju masa yang baru. Masa kuliah ...benar-benar sesuatu yang terkesan rumit. Apalagi di luar negeri. Haah...Japan, i’m coming..! Trims God. You have realized my dream.
Takut dan bangga berbaur menjadi satu. Itulah yang kuhadapi saat ini. Pasalnya, aku berhasil lolos program beasiswa monbugakusho untuk kuliah ke Jepang. Dan aku akan berangkat sekitar tiga minggu lagi. Sebelumnya, aku harus mengunjungi Velisa terlebih dulu. Dialah yang selama ini men-supportku untuk terus maju.
Malam hari di kos Velisa.
“Velisa...!” teriakku ketika Velisa membuka pintu kos. Aku langsung menggapai tubuhnya. Sudah hampir satu minggu kami tak bertemu. “Vels...elo tau gak?” ucapku sambil mengontrol emosi yang meluap-luap. “Gua berhasil dapet beasiswa ke JEPANG!!” sambungku penuh semangat sambil mempererat pelukan. Tapi reaksi Velisa datar, dia hanya menopang dagu di pundakku. Sambil membungkam isak tangisnya. Perlahan, aku me-regangkan pelukan. “Kenapa??” tanyaku ketika melihat ada sebentuk air mata yang memoles pipi Velisa. Tangisnya begitu dalam dan penuh rahasia. Perlahan, jari-jarinya merayap hendak mengambil secarik kertas di meja nakas. Dia memberikan secarik kertas itu padaku yang isinya; surat keterangan medis yang memvonis bahwa Velisa positif mengidap HIV.
Setiap detak jarum jam terasa busur panah bagi Velisa. Ia mencoba bertahan di tengah kesulitan hidup. Semangat hidupnya runtuh, senyumnya mati dicengkeram virus-virus durjana. Kecantikannya memudar. Sepanjang hari, Velisa tenggelam dalam rasa sakit. Hal tersulit dalam hidupnya adalah, ia tak punya siapa-siapa lagi kecuali aku, yang bisa terus menyuntikkan cairan semangat agar dia sanggup bertempur melawan hiv.
“Vel...elu harus semangat, elu harus tegar ngadepin semua ini...” kataku saat menjenguk Velisa.
“Gua gak bisa Ren..gua gak mungkin bisa.”
“Elu nggak boleh kayak gitu. Elu harus yakin sama yang namanya mukjizat..”
“Gua nggak percaya sama yang namanya mukjizat Ren.” Balas Velisa sambil meruncingkan bola matanya. Sehingga terkesan menusuk. “Mukjizat itu cuma dongeng. Kalaupun dia nyata, dia nggak pernah hadir dalam hidup gue.”
“Elu salah besar Vel...!”
“Salah??!” tukas Velisa. Suaranya naik setengah oktaf. “Sekarang gua mau tanya sama luh...diamana mukjizat saat gue gak punya sepeserpun uang untuk makan. Dimana mukjizat, ketika gue gak bisa sekolah karena gak punya uang, dan dimana mukjizat saat gue terlantar di panti asuhan,_dan nggak akan ada mukjizat yang bisa menolong penderita hiv.”
“Elu pikir...kehadiran gua disini bukan mukjizat?!” Velisa menggeleng sambil memamerkan tatapan kosongnya. Dengan sigap, aku meninggalkan Velisa tanpa pamit.
Agustus 2002
Salah satu penghambat kepergianku ke Jepang adalah Velisa. Sebelah hatiku tak tega meninggalkannya. Siapa lagi yang akan memaksa Velisa untuk tersenyum. Siapa lagi yang akan menyingkirkan halusinasi Velisa tentang bunuh diri. Dan siapa lagi yang akan menipu Velisa kalau hiv bisa disembuhkan. Mengubahnya menjadi lebih fiktif. Tapi aku tak bisa, mem-black list impianku soal pendidikan. Benar-benar tidak bisa.
“Please...Ren...gua mohon sama loh, jangan pernah tinggalin gue. Gue gak punya siapa-siapa lagi selain elu..!” ringis Velisa sambil menyeka air matanya dengan punggung tangan. Sepintas, aku melirik lingkaran pergelangan tangan Velisa yang mulai menyusut diameternya. Ia kehilangan berat badan begitu cepat.
“Tapi Vel....”aku berusaha berjuang menampik rasa empati. Karena aku tak punya pilihan. Aku masih punya masa depan, aku tidak ingin menjadi lemah karena Velisa. Tapi di satu sisi, aku tidak bisa menampik sisi perasaku yang terkadang agak berlebihan.
“Ren...gua mohon. Gua gak mau elu ninggalin gua ke Jepang Ren. Jepang itu jauh.”
“Gua gak punya pilihan Vel...”
“Renata please...hidup gua bakal semakin ancur...!” Tangis Renata semakin pecah. Aku masih berusaha membentengi sisi nuraniku.
“Sorry Vel...gua harus pergi.”
***
Aku kehilangan tiga puluh menit setiap harinya hanya untuk memikirkan
Velisa. Di Jepang, mungkin keadaan lebih nyaman. Tapi aku tak pernah
bisa menghapus rasa bersalahku pada Velisa. Meskipun aku menghadirkan
Bebyta, duta hiv/aids di Jakarta Selatan, untuk membantu Velisa
mengarungi hidup, tapi aku yakin, kedamaian Velisa hanya datang setiap
kali ia melihat bola mataku. Aku tau, hidup Velisa benar-benar hancur.
Bagaikan kepingan puzzle yang retak.September 2002
Kutipan surat dari Bebyta,
Dia pergi. Bersama dengan hempasan virus-virus jahanam itu. Tak banyak pesan yang dia katakan, dia hanya bilang terima kasih atas berupa-rupa mukjizat yang kamu hadirkan. Dia sadar, waktu terus berotasi. Durasi hidupnya akan berakhir. She was tall me...you’re the angle who has changed her life to be more beautyful.
Kututup jurnal kusam itu, sambil berusaha menahan laju air mataku. Seandainya saja aku punya time machine..., mungkin setiap tetes air mataku akan lebih berarti.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar