mimpi-mimpiku

Selasa, 27 Desember 2011

cerpen islami

Takdir Bicara
    By  :   Heri st

Aku masih berpacu untuk berpikir. Mencoba menganalisis titik faedah dari tausiah yang diberikan Annisa,mentor keputrian disekolahku. Tidak banyak yang ia bicarakan,hanya mengulas memori tentang arti penting berjilbab bagi seorang muslimah. Menurutku,tausiah itu lebih tepet jika ditujukan untuk mereka,para muslimah yang futur,yang membiarkan mahkotanya terurai dan diobral secara cuma-cuma. Tapi aku,dan beberapa rekan dikeputrian,kami istiqomah sebagai muslimah yang kafah.
“Hey!”,sapa Stephani membuyarkan lamunanku.Aku hanya tersenyum kecil,sembari menatap kagum akan kecantikan Stephani. Ia bintang sekolah yang multitalented. Kadang,aku harus berusaha keras untuk menghalau rasa hasad saat bersua dengannya.
“Mau dating keacara fashion showku nanti malam?”,Tanya Stephani penuh harap yang tersamar dari selaput matanya. Padahal ia sudah tahu,aku akan menolak ajakannya. Sebenarnya,aku tidak ingin terus menerus membuatnya kecewa. Tapi inilah proposal hidup yang harus kujalani,mencoba bersikap tegas dengan sedikit egoisme,selama itu pilihan terbaik menurut kacamata islam.Ya,fashion show itu dunia malam,sedangkan dunia malamku hanya untuk menjaga ibu saat menentang penyakitnya,kanker tulang.
“Maaf Steph,mungkin lain kali”.
“Ya,sudah kuduga”.Kali ini Stephani melawan rasa kecewanya. Tapi sudah pasti ia gagal. Pasalnya,ia selalu ingin dipandang sebagai model,dan kehadiranku dalam acara fashion show itu…,menjadi kehormatan terbesar sepanjang kariernya.”Bisa memberikan sebuah alas an?”.
“Maaf sekali lagi Steph,soalnya….”,dering ringtone menggunting pembicaraanku. Ada panggilan dari nomor asing.”Tunggu sebentar Steph”.
“Hallo,assalamu’alaikum,maaf,ini siapa ya?”.
“Wa’alaikum salam”,jawab suara dari seberang.”Saya suster April yang tempo hari merwat ibu kamu.Ini Zahra,kan?”.
“Ya,benar.Ada apa ya?”.
“Penyakit ibu kamu kambuh,sekarang sedang dirawat dirumah sakit Anugerah”.
“Kalau gitu..,saya segera kesana!”.Aku segera menghentikan komunikasi. 
“Ada apa Ra?”,Tanya Stephani sedikit cemas. Setengah pikirannya tau apa isi pembicaraan itu. Ia memahami benar semua masalah dikehidupanku. Terutama soal penderitaan ibuku,dan semua kesulitan yang terjadi semenjak ayah pergi.
“Ibuku Steph…,_penyakitnya kambuh”.Jawabku sedikit melankolis.”Maaf,aku harus pergi”.
“Tunggu Ra,aku ikut”.Aku menggeleng halus,tapi tegas. Kurasa..sudah waktunya berhenti membebani Stephani. Ia sudah terlalu banyak berkorban.
“Pokoknya aku harus ikut,kamu butuh aku kan Ra?!”.
Aku termenung,dalam benakku tersibak sosialisme yang tak bias dipungkiri. Sekalipun kucoba untuk menghadapi segerombolan cobaan itu sendiri,tetap saja…aku tak bias munafik. Aku butuh Stephani,dan aku tak bias menentang keberadaannya. Karena saat ini,aku terjebak dalam labirin kehidupan yang setiap incinya sulit untuk ditebak.
                                                         ***
  Kami tiba dirumah sakit Anugerah. Melesat cepat menuju sebuah ruangan,tempat ibuku dirawat. Tampak Fahri,adik semata wayangku yang baru berusia 10 tahun,duduk diruang tunggu. Ia terlihat pilu,dan raut wajah itu…sangat menyiksa. Hampa dan tak bersinar.
Aku merangkulnya,memberikan ia sinar harapan,harapan bahwa ia takkan kehilangan orang tua untuk kedua kalinya. Tidak dalam tempo yang cepat. Meskipun kutahu,_masa itu sudah pasti akan menghampiri. Cepat atau lambat,aku harus ikhlas ketika taddir bicara.
“Ka…,_penyakit ib..bu,makin parah”,ucap Fahri meringis dengan pemakaiaan jeda yang tak beraturan.”Dan kita…gak punya banyak uang untuk bayar biaya rumah sakit”.
“Kamu tenang ya,biar nanti kakak yang urus”.
“Permisi…ng…Zahra,bias tolong diurus administrasinya sebelum kami melakukan tindakan medis selanjutnya?”,pinta suster April dengan nada ramah,walau terkesan dipaksa. Aku hanya mengangguk tanpa harus menatap wajah suster April.
“Kata dokter..ibu kamu harus segera dioperasi,jika tidak,penyakitnya akan semakin parah.Dan biaya untuk melakukan operasi sekitar….23 juta rupiah”.
“Ya Allah…darimana aku bias dapet uang sebanyak itu?”.
“Raa…kamu tenang dulu ya,nanti kita cari jalan keluarnya._Suster,bagaimana kalau dilakukan operasi terlebih dahulu,soal biaya baru akan dilunasi setelah operasinya selesai”.
“Maaf,harus ada kejelasan terlebih dahulu. Paling tidak kalian harus membayar setengahnya,baru kita bisa melakukan operasi”.
“Tapi sus…”,
“Maaf,sebaiknya kalian bicarakan ini berdua,saya harus pergi karena masih banyak pasien yang harus ditangani”.
Aku masih membisu,tak mampu berpikir ataupun berbuat. Kutatap raut wajah ibu yang penuh penderitaan lewat kaca jendela. Sudah hamper setengah tahun ia berjuang melawan penyakitnya. Seperti melawan gravitasi saat terjatuh dari tebing. Mustahil.
“Ra…aku benci harus mengatakan ini ,tapi..aku hanya punya uang 9 juta .Itupun baru kudapat setelah acara fasion show selesai”.
“Aku ngerti Steph”.
“Jika harus meminjam uang…ah tidak bisa,kepada siapa?.Kalau menjual handphone dan sebangsanya…pasti jadi masalah dalam hal tempo.Hmmm,,aku tidak tau ini ide yang bagus atau tidak,pasti kamu nggak akan setuju”.
“Idea apa?”.
“Sudahlah jangan dipikirkan!”.
“Stephh”.
“Hmm…modeling. Kamu cantik,menarik,punya postur tubuh yang ok.Aku berani bertaru,kamu pasti langsung diterima”.
“Itu konyol Steph!.Aku nggak mungkin bisa”.
“Pikirkan lagi Ra,saat ini kamu terjebak,kamu dipermainkan oleh takdir,dan kamu gak punya banyak pilihan. Kalau kamu mau,kamu bias mendapatkan uang lebih dari 23 juta.Hanya tinggal menandatangani kontrak selama 6 bulan”.
“6 bulan”.
“Aku tau ini berat bagimu,Ra.Tapi coba pikirkan sekali lagi tentang penderitaan ibumu dan bagaiman dengan adikmu?,ia terlalu dini untuk merasakan kepenatan hidup”.
“Fashion macam apa yang akan kukenakan?”.
“Fashion remaja yang kontemporer,cukup simple. Kamu hanya diminta untuk melepas jilbab,membiarkan lenganmu terlihat dan sesekali memamerkan betis”.
“Lupakanlah,ibuku pernah berpesan agar aku menjadi seorang muslimah yang berjilbab dan memakai fashion yang tertutup.Karena itulah sosok muslimah yang sebenarnya. Sekalipun aku cantik,pondasi kecantikan itu akan runtuh seiring dengan runtuhnya imanku”.
“Ayolah..kamu nggak diminta untuk melepas harga diri kan?!”.
“Maaf Steph,itu terlalu berat”.Aku melangkah menjauhi Stephani,menatap lirih raut wajah kepedihan ibuku lewat kaca jendela.Kutatap wajah lelah Fahri,ia sedang tertidur pulas. Tubuh kecilnya memenuhi tiga bangku yang berderetan.
“Ra,,,,kamu masih ingat dengan postulat Einstein yang tadi kita bicarakan,tidak ada yang benar benar benar dan tidak ada yang benar benar salah. Jadi sekalipun kamu melakukan kesalahan besar,ingat,ada secerca kebaikan yang kamu perbuat. Dan kebaikan itu ada ketika kamu menolong ibumu sendiri.Maaf Ra,aku harus pergi ke tempat fashion show.Aku akan kembali setelah acaranya selesai.Aku yakin,ibumu akan diberi kekuatan”.
Stephani melangkah menuju keluar,semakin menjauhi medan magnetku. Aku masih terpaku pada ibu. Kubiarkan Stephani semakin jauh. Tapi setengah hatiku ingin agar ia tetap disini.
“Tunggu Steph!!”_antarkan aku menjadi seorang model”.
                                                                ***
Nadiku bergetar,gempa diotak semakin bergoncang,tak karuan skala ricternya. Kucoba menentukan pikiran yang berlika-liku,mencari sebuah kata mufakat antara dua kubu yang bertentangan. Sabda iblis versus malaikat. Ah,ini buruk,tak ada waktu untuk shalat istikharah. Tak tahu mana yang madu,mana yang racun. Sampai pada akhirnya,kugores sebuah tanda tangan diatas secarik surat perjanjian. Aku….model amatiran.
Dua puluh lima juta,kini berada digenggamanku. Menjadi golongan Abu Lahab selama 1 semester. Selama itu pula,aku harus mengubur rahasia. Rahasia bahwa aku seorang model. Dan malam ini,aku langsung mendapat training dari Stephani dan beberapa rekannya. Tapi yang paling mengejutkan,aku harus menyandangkan sebuah gaun berlengan tanggung,dan tentu saja….menanggalkan jilbab saat ini juga. Bosku meminta agar aku mengantikan Valent,yang berhalangan hadir hari ini. Jujur,itu sangat menyesakkan,dari sini kutahu titik faedah dari tausiah itu. Aku juga tahu,alasan mengapa ibu memaksaku mengenakan jilbab sejak kecil. Alasan mengapa mereka,mengibaskan mahkotanya,dan aku adalah mereka…para muslimah yang futur.
Berjam-jam sudah,kami mengikuti fashion show.  Acara belum juga usai,tapi kami meminta izin untuk pulang lebih awal setelah selesai mengerjakan tugas. Tugas yang terasa asing bagiku. Tapi aku dipaksa untuk adaptif.
Kami berpacu menuju RS.Anugerah. Dalam perjalanan aku menangis. Tak percaya dengan apa yang telah kuperbuat. Mengumbar kecantikan. Tapi tidak secara Cuma-Cuma. Tapi tetap saja menyedihkan.
Kami tiba digerbang RS.Anugerah. Tampak Fahri duduk dipelataran. Air matanya berlinang. Raut wajahnya legam. Tak bersemangat sedikitpun. Seperti kehilangan sebagian cahaya hidupnya.
“Fahri….??”,desisku bingung. Tanpa basa-basi ia langung memelukku,begitu erat. Aku semakin bingung,dan Fahri tetap membisu. Menumpahkan air matanya kebajuku. Tak berapa lama suster April datang,wajahnya menampakkan perasaan bersalah yang tak bisa dimaafkan.
Perlahan kantung mataku retak,pecah merekah begitu kudapati sebuah jawaban. Ternyata terlambat. 25 juta itu….tak lagi berarti. Fashion show tadi…hanya bingkisan pahit malam ini. Dan semua yang kulakukan……hanya lelucon. Aku gagal menghalau malaikat maut,karena takdir…terlanjur bicara
                                                           ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar