mimpi-mimpiku

Jumat, 26 Desember 2014

Kajian Puisi Kucing Berwarna Biru-Afrizal Malna dengan Pendekatan Psikologi Sastra




Kucing Berwarna Biru
Afrizal Malna

sudah tiga malam ini seekor kucing sakit, selalu
tidur di depan pintu rumah saya.
Ia mengeluh dan mengerang
suaranya seperti keluar dari rumpun gelap
di halaman rumah
kadang seperti makhlus halus yang sedang membuat perjanjian
dengan pohon nangka di halaman rumah saya
     orang bilang, kucing itu kena teluh. Saya mencoba mengusirnya.
Tetapi kucing itu menatap saya seperti mata ibu saya.
Katanya dirinya adalah roh saya sendiri yang sedang sakit.
Ia mohon agar bisa tidur dalam kamar saya. Saya tak tega
mengusir kucing itu. Bulu-bulunya seperti kenangan saya
pada kasih sayang.
Malam berikutnya saya mulai terganggu. Keluhnya
berbau darah. Ia mulai menginap dalam pikiran saya.
setiap malam, seperti ada rumpun gelap dalam diri saya,
menyerupai kucing yang sakit itu.
Suara gaib di depan pintu.
setiap malam, seperti ada pohon nangka yang berjalan-jalan
dalam tubuh saya, menyerupai kucing yang mengaku
 sebagai roh saya yang sedang sakit itu.
Akhirnya saya membunuh kucing itu.
menjerat lehernya dengan tali plastik.
matanya seperti kematian yang mengetuk kaca
jendela.
besok pagi saya temukan mulut, telinga dan lubang
hidung kucing itu telah mengeluarkan tanah, berwarna merah.
rumput-rumput tumbuh di atasnya. Saya lihat ikan-
ikan juga telah berenang dalam perut dan tengkorak
kepalanya. Dan seperti seluruh surat kabar, matahari tidak
terbit pagi ini.

Analisis puisi melalui pendekatan psikologis tidak terlepas dari unsur kejiwaan dan pemikiran penyair, baik pemikiran sadar, maupun bawah sadar. Dengan mengkaji perwatakan dalam puisi dan hubungannya dengan sisi psikologis pengarang. Serta mempelajari dampaknya pada psikologi pembaca. Dan kekuatan karya sastra puisi dapat dilihat dari seberapa jauh seorang pengarang mengekspresi kejiwaannya dalam setiap larik yang ia tuliskan.
Dalam puisi Kucing Berwarna Biru karya Afrizal Malna yang ditulis tahun 1997 (merupakan salah satu puisi yang termuat dalam buku kumpulan puisi Kalung Dari Teman (1999)), terdapat 3 bait utama. Melalui analisis per-bagian, puisi Kucing Berwarna Biru dapat dikaji lebih detail. Sehingga unsur psikologis pengarang dapat ditelaah secara mendalam dan sistematis.
Afrizal Malna membuka puisi Kucing Berwarna Biru dengan penggalan konflik pada seekor kucing sakit. Ia mencoba mengungkapan keresahan batin disertai keluhan.
sudah tiga malam ini seekor kucing sakit, selalu
tidur di depan pintu rumah saya.
Pokok permasalahan dalam batin penyair adalah kehadiran kucing yang sakit. Menimbulkan kekhawatiran tersendiri. Dengan citraan penglihatan, penyair mengekspresikan keresahannya melihat kucing yang sedang sakit dan setiap hari (selama tiga malam terakhir) tidur di depan pintu rumahnya. Hal ini menimbulkan kebingungan sekaligus resah, mengingat kejadian tersebut sudah terjadi selama tiga malam berturut-turut. Keresahan penyair diperparah dengan munculnya baris berikut;
Ia mengeluh dan mengerang
suaranya seperti keluar dari rumpun gelap
di halaman rumah
kadang seperti makhlus halus yang sedang membuat perjanjian
dengan pohon nangka di halaman rumah saya
Pada bagian ini, mulai muncul citraan pendengaran yang terkesan menyiksa batin. Erangan kucing yang sedang sakit, begitulah yang menyiksa telinga aku-lirik. Bahkan aku-lirik merasakan suara-suara tersebut berasal dari kegelapan di halaman rumahnya. Di baris-baris inilah, ekspresi halusinasi mulai dimainkan penyair. Gejala abnormal behavior dan mental disorder disatupadukan oleh penyair. Halusinasi yang masih bersifat rasional ada pada baris kedua. Lalu, puncak dari halusinasi mengenai suara kucing ada pada ungkapan; kadang seperti makhluk halus yang sedang membuat perjanjian dengan pohon nangka di halaman rumah saya. Pada bagian ini, penyair mulai menunjukkan sisi schizofrenia yang bernuansan mistis dengan penggunaan diksi makhluk halus.
Pada baris berikutnya, sisi halusinasi dan delusi semakin menebal dalam pikiran penulis. Hal-hal di luar batas kewajaran diungkapkan penulis dengan melibatkan tokoh lain secara majemuk (orang-orang). Sehingga memberi kesan tidak adanya gejala terisolasi dari hubungan interpersonal.
     orang bilang, kucing itu kena teluh. Saya mencoba mengusirnya.
Tetapi kucing itu menatap saya seperti mata ibu saya.
Ketakutan yang dirasakan penyair telah membentuk usaha berupa mengusir kucing yang sedang sakit tersebut. Meskipun upaya tersebut tidak jadi dilakukan karena terhalang dinding-dinding delusi yang semakin menghimpit kejiwaan si penyair. Pada baris terakhir, ia mengungkapkan betapa tatapan kucing tersebut seperti tatapan ibunya sendiri. Seolah mata ibunya telah bersemayam di balik bola mata kucing tersebut. Hal inilah yang mengikis ketegasan penyair untuk mengusir kucing tersebut. Membentuk kelemahan-kelemahan diri yang bersumber dari halusinasi-halusinasi irasional.
Pada baris berikutnya, citraan-citraan pendengaran semakin memperkeruh suasana batin penyair. Kucing itu bersuara dan mengungkapkan suatu informasi, serta permohonan yang dapat ditangkap secara utuh oleh indra penyair. Melalui baris ini, sisi schizofrenia begitu kental ditampilkan oleh penyair. Bagaimana ia memutus keterbatasan bahasa antara manusia dengan hewan.
Katanya dirinya adalah roh saya sendiri yang sedang sakit.
Ia mohon agar bisa tidur dalam kamar saya. Saya tak tega
mengusir kucing itu. Bulu-bulunya seperti kenangan saya
pada kasih sayang.
Gangguan schizofrenia dan halusinasi akut begitu terasa dalam baris pertama yang bunyinya; dirinya adalah roh saya sendiri yang sedang sakit. Penyair telah membentuk hubungan kausalitas antara kondisi berhalusinasi dengan keadaan sakit. Melalui baris ini, schizofrenia tersebut mulai terjawab. Bagaimana kondisi penyair yang sedang sakit, kemudian berhalusinasi tingkat tinggi seputar kucing yang sedang sakit. Dapat dikatakan tokoh utama dengan tokoh kucing sama-sama berada dalam satu kondisi tubuh, yaitu sedang sakit. Dan ada kecenderungan gejala munchausen (menarik perhatian dengan berpura-pura sakit). Sampai di sini, puisi Afrizal Malna masih menyimpan teka-teki; seputar eksistensi kucing tersebut. Apakah nyata? Atau hanya sebatas delusi personal?
Konflik batin semakin dahsyat dirasakan oleh penyair. Secara struktural, alur pemikiran penyair adalah; ia merasa resah melihat kucing sakit di depan pintu rumah, lalu ia mencoba mengusirnya, kemudian kucing itu memohon untuk menumpang tidur di kamar, dan terjadi paradoks dari sikap penyair lewat baris; saya tak tega mengusir kucing itu. Paradoks ini tentu telah menciptakan suasana batin yang terombang-ambing. Antara resah dan ketidaktegaan. Di tengah perasaan resah itu, telah menyusup rasa kasih sayang yang terlampau berlebihan. Tanpa sadar, perasaan itu telah membentuk kelemahan diri. Dan sialnya, kelemahan diri tersebut menyimpan segudang resiko yang dibuktikan pada bait berikut;
Malam berikutnya saya mulai terganggu. Keluhnya
berbau darah. Ia mulai menginap dalam pikiran saya.
setiap malam, seperti ada rumpun gelap dalam diri saya,
menyerupai kucing yang sakit itu.
Kondisi kejiwaan penyair semakin rentan terhadap delusi-delusi yang bersumber dari kucing sakit tersebut. Citraan dalam bait di atas lebih bersifat balutan pikiran yang melibatkan otak dengan dibubuhi halusinasi olfactory (penciuman). Semua berakar dari halusinasi. Paranoid, dan kecemasan berlebih pada bayang-bayang kucing yang sedang sakit. Di balik alam tak sadarnya, penyair mengungkapkan sisi lain dari ketergangguan. Di mana terdapat kata mulai terganggu yang bersifat permulaan dari sebuah adverbia waktu. Seolah melukiskan bahwa kejadian demi kejadian sebelumnya hanya sebatas gangguan indrawi. Tetapi lain dari bait ini, di mana gangguan yang dirasakan lebih mengarah kepada alam pikiran. Penyair mencoba mengungkapkan secara tersirat bahwa gangguan dalam konteks alam pikiran lebih kuat dampaknya dari sekadar gangguan indrawi. Bau darah, bayang-bayang kucing yang menginap dalam pikiran, kabut-kabut gelap yang menguasai diri, semua terbentuk di alam pikiran. Tidak terjangkau oleh indrawi. Bait-bait di atas telah mengukuhkan gejala psikotik yang menjadi tema penting dalam puisi ini.
Gangguan pikiran tersebut semakin menemukan sisi klimaksnya lewat bait berikut yang lebih menyerupai lorong kegilaan dan keanehan Afrizal Malna;
Suara gaib di depan pintu.
setiap malam, seperti ada pohon nangka yang berjalan-jalan
dalam tubuh saya, menyerupai kucing yang mengaku
 sebagai roh saya yang sedang sakit itu.
Halusinasi gaib begitu mendominasi bait di atas. Dengan penekanan pada kegaiban pohon nangka yang telah diceritakan di awal bait, berada di halaman rumah. Kemudian bagaiman Afrizal Malna kembali mengungkapkan sisi gaib dari sebuah pintu rumah. Tempat kucing tersebut biasa tidur di depannya. Dan penyair kembali menekankan pembaca bahwa kucing itu menganggap dirinya adalah roh penyair yang sedang sakit.  
Penggunaan simbol-simbol gelap begitu terasa pada ungkapan pohon nangka yang berjalan-jalan dalam tubuh saya. Baris ini telah menunjukkan kualitas kegilaan yang dialami penyair. Dengan tata letak kata yang tidak terkesan berlebihan namun sanggup membuat pembaca berpikir keras. Pohon nangka telah menjadi objek kegaiban yang maha dahsyat. Dengan mengusung teka-teki di awal bait. Menjadi adanya kelekatan antara kegaiban kucing dengan pohon nangka.
Puncak dari gangguan schizofrenia penyair adalah ketika ia menuliskan keputusasaan tokoh dengan melakukan cara brutal demi mengakhiri segala ganggua yang ditimbulkan kucing itu. Cara brutal itu bersifat klise; membunuh.
Akhirnya saya membunuh kucing itu.
menjerat lehernya dengan tali plastik.
matanya seperti kematian yang mengetuk kaca
jendela.
Di sinilah, sisi kejiwaan yang rusak dari tokoh aku semakin diperjelas. Kondisi schizofrenia telah menimbulkan pemikiran psikopat yang berujung pada pembunuhan. Penyair menuliskan pembunuhan dengan cara menjerat leher kucing dengan tali plastik. Kembali penyair melakukan paradoks pikiran. Dari ketidaktegaan menjadi sebuah kekejaman yang dibumbui ketakutan. Meskipun begitu, ia telah membunuh kucing itu. Dan sampai bait ini, eksistensi kucing sakit tersebut masih menjadi misteri.
Bait-bait berikutnya, lebih mengeksplorasi citraan penglihatan yang mengerikan. Merupakan dampak dari pembunuhan yang telah dilakukan. Sisi schizofrenia lebih tersamarkan pada bait ini. Antara nyata dan tidak nyata tergantung pada kondisi penglihatan tokoh saya. Nyatakah penglihatannya? Atau sekadar delusi?
besok pagi saya temukan mulut, telinga dan lubang
hidung kucing itu telah mengeluarkan tanah, berwarna merah.
rumput-rumput tumbuh di atasnya. Saya lihat ikan-
ikan juga telah berenang dalam perut dan tengkorak
kepalanya. Dan seperti seluruh surat kabar, matahari tidak
terbit pagi ini.
Hubungan bait terakhir dengan bait-bait sebelumnya telah membentuk satu kesatuan keutuhan cerita yang terjadi pada tokoh saya dengan tokoh kucing. Di mana kucing yang telah mati dibunuh merupakan sebuah delusi semata. Dampak dari pembunuhan tersebut adalah adanya rumpun tanah merah yang ke luar dari lubang-lubang tubuh kucing itu,_yang sekali lagi telah dipaparkan merupakan roh penyair yang sedang sakit. Hubungan antara pembunuhan kucing tersebut dengan asal usul keberadaan kucing telah membentuk satu kesatuan makna semantis yang melibatkan ketaksadaran pikiran. Pembaca telah dipaksa untuk menelusuri alam bawah sadar penyair yang lebih menyerupai teror kejiwaan. Pembunuh kucing itu adalah penyair, dan roh dari kucing itu berasal dari penyair. Sehingga membentuk kesatuan subjek dengan objek, yang menciptakan tragedi pembunuhan roh dalam arahan delusi tingkat tinggi. Namun, penyair tak menyisipkan nuansa cotard’s syndrome dalam bait ini. Justru sebaliknya.
Pada bait akhir ini
Bait terakhir menggambarkan betapa sebuah gundukan tanah telah tercipta yang keluar dari lapis demi lapis lubang tubuh penyair, kemudian terdapat rumputan. Tepat di bait terakhir mengisahkan sebuah rutinitas yang berbeda dari biasanya seputar matahari terbit,_yang dianalogikan sebagai surat kabar. Matahari yang tak terbit lagi menggambarkan sebuah ujung dari lorong kehidupan yang menuju kegelapan. Matahari yang tidak terbit. Telah menjadi penutup teka-teki eksistensi kucing sakit dan keterkaitan antara roh dengan kucing, juga subjek-objek pada verba transitif dari kata membunuh. Afrizal dengan segala keanehannya telah menutup puisi Kucing Berwarna Biru dengan teka-teki matahari yang tidak terbit.
Analisis Komprehensif
Seperti kebanyakan puisi Afrizal Malna, puisi Kucing Berwarna Biru ini bersifat prosais dalam pengungkapannya. Letak-letak kata dan hubungan semantis dalam bahasa puisi ini lebih teratur dibanding puisi Afrizal yang lain. Meskipun tetap dibumbui keanehan dan Afrizal Malna seperti menikmati kegilaan personal dalam penulisan kreatifnya. Seperti pada puisi-puisinya yang lain; masyarakat Rosa, dan lelaki yang menjadi seekor burung.
Kucing Berwarna Biru tetap menunjukan sisi gelap dari puisi Afrizal Malna, dengan semangat postmodernisme yang tidak terlalu terlihat. Tak ada unsur pertentangan modernitas dalam puisi ini. Puisi ini hanya sebatas rangkaian gangguan psikologis yang melibatkan hubungan kondisi sakit dengan kemunculan delusi tingkat tinggi.
Puisi Afrizal Malna yang berjudul Kucing Berwarna Biru penuh dengan nuansa gangguan psikologis. Gangguan-gangguan psikologis telah muncul di awal bait, yang merupakan hasil dari keberadaan kucing sakit di depan pintu rumah aku-lirik. Kondisi tersebut telah membentuk keresahan, bahkan telah memunculkan delusi-delusi tak berlandaskan ilmiah. Sesuatu yang irasional. Telah menciptakan gangguan personal dalam kejiwaan penyair yang dapat disebut dengan schizofrenia. Bukti dari keadaan schizofrenia terdapat pada ungkapan; kucing itu bilang ..., seperti makhluk halus yang sedang membuat perjanjian dengan pohon nangka ..., kucing itu mohon untuk bisa tidur di kamar saya.., dan ungkapan-ungkapan lain yang bersifat irasional, penuh halusinasi, dan mengada-ada.
Secara keseluruhan inti dari kondisi jiwa pengarang telah membentuk unsur-unsur keanehan yang bersifat magis. Penuh taburan delusi, dan hal-hal di luar batas kewajaran. Penyair memiliki ketertarikan pada diksi-diksi bernuansa mistik/gaib dalam penyampaian ekspresi ketakutan dalam puisi ini. Tuturan bahasa lebih teratur di banding puisi-puisi Afrizal yang lain, seperti Abad yang berlari, Winter Festival, Kardus Pandora dan lainnya. Puisi Kucing Berwarna Biru cenderung lebih teratur dalam penempatan letupan kata-kata, yang membentuk kesesuaian antar baris dalam bait.
Sisi psikologis yang ditampilkan dalam puisi ini telah menarik pembaca untuk merasakan sensasi halusinasi saat sakit. Bagaimana penyair menggiring ketakutan dan keresahan pada seekor hewan (kucing). Bagaimana seekor kucing dapat berdaya magis dan menimbulkan kecemasan. Citraan-citraan pendengaran yang menyakitkan telinga dan melahirkan ketakutan.
Kucing Berwarna Biru tampaknya mencoba memainkan sisi schizofrenia dengan cara-cara yang masih diterima akal sehat dengan mengandalkan rasionalitas dari sebuah fenomena halusinasi. Hingga menemui titik yang paling ekstrim, merupakan puncak gangguan batin. Sehingga melahirkan dorongan untuk membunuh kucing tersebut. Pada saat inilah, Afrizal memainkan alam tak sadar tokoh saya. Dengan menyisipkan halusinasi yang menanjak. Mulai dari suatu hal yang masih rasional (adanya seekor kucing sakit di depan pintu), kemudian merujuk pada baying-bayang getar suara yang menyiksa batin, ditambah dengan halusinasi mistik, kemudian kemunculan bayang-bayang yang mengganggu pikiran, sampai akhirnya halusinasi pohon nangka yang berjalan-jalan dalam tubuh. Kesemuanya telah menjadi alasan pembunuhan.
Lebih jauh lagi, Afrizal telah menggiring alam tak sadar ke arah yang menanjak berliku. Mulai dari hubungan emosional yang tidak stabil, dengan munculnya perasaan kekejaman dan ketidaktegaan, sampai pada akhirnya, melalui kegilaan dan sensasi schizofrenia, penyair telah menciptakan ruang konflik antara kesadaran membunuh dengan ketaksadaran objek yang dibunuh. Membentuk satu kesamaan antara subjek dan objek pada verba transitif membunuh.     Gejala mem-bunuh roh sendiri inilah yang memang menjadi sisi lain dari kejiwaan Afrizal Malna, seperti tampak gambang dalam penggalan puisi Chanel OO.
permisi,
saya sedang bunuh diri sebentar
Hal-hal yang bersifat paranoid dan delusi-delusi personal memang menjadi keretakan-keretakan dari pemikiran Afrizal Malna. Kata-kata yang berlompatan. Atau schizofrenia bahasa dalam puisinya tampak mempengaruhi unsur semantis dan kejiwaan tokoh. Bagaimana antara tokoh saya dengan si kucing sama-sama memiliki kejiwaan yang rumit. Penuh teka-teki. Puncak dari kerumitan tersebut adalah adanya citraan penglihatan yang bukan merupakan delusi pada bait terakhir,_namun, secara keseluruhan merumitkan unsur semantis menyeluruh dari puisi kucing berwarna biru. Pada bait-bait inilah, keanehan dan gejala schizofrenia terus dimunculkan penyair dengan penyamaran-penyamaran lewat kejadian-kejadian yang masih bersifat rasional. Contohnya pada aktivitas membunuh. Tampak jelas apa yang dilakukan tokoh saya. Namun, buram dalam hal objek sesungguhnya dari aktivitas pembunuhan tersebut. Dan bagaimana tuturan terakhir Afrizal Malna lebih menyerupai babak baru teka-teki puisinya;
Dan seperti seluruh surat kabar, matahari tidak terbit pagi ini.
Begitulah, puisi kucing berwarna biru menunjukkan kerumitan yang mendalam dari sebuah pemikiran. Segala bentuk schizofrenia bertaburan dalam bait demi bait puisi ini. Dan kejiwaan pengarang tampak jelas mengarah pada hal-hal di luar batas kendali rasionalitas dan kemerdekaan dari sebuah pemikiran aneh serta letupan-letupan delusi yang menyimpan teka-teki.