Tak ada kesan istimewa
setiap kali Saya melewati jalan Daan Mogot. Bergerak lurus ke arah Grogol
sesuai relativitas kecepatan bus Trans Jakarta tujuan Harmoni. Berada di sayap
kanan Universitas Trisakti. Begitu hampir setiap hari, selama masa perkuliahan
di Universitas Negeri Jakarta.
Semula tampak
biasa, tak berkesan, dan berjalan pada umumnya. Sampai akhirnya, halte Grogol
disisipkan nama belakang menjadi Grogol: 12 Mei Reformasi. Halte itu menjadi
gerbang kenangan, seperti sebuah hyperlink untuk membuka lembaran hitam tragedi
kerusuhan Mei 1998. Sebuah tragedi yang mungkin takkan pernah bisa dilupakan
oleh sebagian besar etnis tionghoa. Pasalnya, tragedi tersebut merupakan
hantaman keras bagi mereka. Sebuah upaya genosida terhadap bangsa Cina. Mereka
ibarat bangsa Yahudi di masa pemerintahan Nazi Jerman. Mereka tidak hanya
dianiaya, dibunuh, dirampas harta bendanya, atau juga dijarah toko mereka. Akan
tetapi juga, ratusan perempuan tionghoa diperkosa pemuda pribumi.
Entah, perasaan
apa yang mendera wanita tionghoa setiap kali mendengar istilah Mei 1998.
Bagaimana dengan mereka yang menjadi korban pemerkosaan dan anak-anak blaster-an Cina-Pribumi yang lahir dari
tragedi. Betapa teriris hati mereka setiap kali waktu berputar menuju angka
pertengahan Mei. Trauma mereka adalah trauma yang berkala.
Pada saat itu,
Saya masih berusia 4 tahun. Tak ada yang terekam jelas di memori otak, kecuali
jajanan high class dan minuman kaleng
hasil jarahan keluarga Saya di supermarket milik etnis Cina. Saya tak pernah
tahu bahwa detik itu begitu mencekam, yang jelas, saya merasa beruntung, karena
baru berusia 4 tahun. Saya tidak tumbuh menjadi pemuda yang membuat kerusuhan
dengan membakar toko-toko milik Cina, dan mencegat mobil-mobil mewah yang
melesat di hadapannya. Jika pengendara mobil orang pribumi, tak jadi masalah.
Namun, jika yang empunya mobil perempuan tionghoa, maka, habis sudah
keperawanannya melayang, dengan cara-cara yang anomali. Bengis, melibas batas
kemanusiaan.
Sampai detik
ini, Saya tidak pernah tahu bagaimana rasanya jadi etnis tionghoa kala itu.
Bagaimana mereka bergerak resah ke Bandara Soekarno-Hatta demi ke luar dari
ranah kerusuhan. Bagaimana mereka berharap wajah mereka berubah menyerupai
pribumi, agar lepas dari cengkraman pemuda pro reformasi yang anarkis.
Pertanyaan yang
menggelepar di pikiran Saya mulai bercabang. Mengapa mesti etnis tionghoa?
Mengapa krisis finansial bisa merebak begitu ganas, sehingga mencabik-cabik
sisi kemanusiaan bangsa ini. Mengapa aparat keamanan dengan tampang innocent-nya tega menarik pelatuk untuk
membidik jantung 4 mahasiswa Trisakti? Mengapa para pemuda pribumi sampai hati
memperkosa perempuan tionghoa dan mencampakkannya di pinggir jalan, atau bahkan
melemparkan ke dalam kubangan api? Mengapa orang-orang kompak melakukan kudeta
dengan cara yang sistematis? Mengapa nama Prabowo Subianto dikait-kaitkan
sebagai dalang kerusuhan? Mengapa sampai detik ini rasa sakit hati etnis tionghoa
tidak bisa dituangkan ke dalam hukum? Persoalan ini menjadi; seberapa pandai
mereka membuang kenangan tragedi 1998.
Di tahun yang
sama, sebulan setelah tragedi, Seno Gumira Ajidarma membuat sebuah cerpen yang
mewakili nasib perempuan tionghoa di masa pra reformasi. Cerpen itu berjudul
Clara. Bercerita tentang perempuan tionghoa yang menjadi korban pemerkosaan.
Cerpen itu dengan tegas memaparkan kebusukan pemuda pribumi yang memperkosa
Clara, dua adiknya, bahkan ibunya juga ikut diperkosa. Lalu cerpen itu berlanjut
dengan judul Jakarta 2039. Berkisah tentang masa depan anak hasil tragedi,
ibunya, dan pemerkosa ibunya. Membentuk semacam trilogi tokoh tragedi 1998.
Seno memuat harapan tersirat akan nasib pelaku pemerkosaan. Harapannya; pada
tahun 2039 (40 tahun 9 bulan setelah tragedi 1998), hokum akan berdiri tegak.
Mematahkan ketidakadilan, dan mereka, para pria don juan yang tidak
berperikemanusiaan akan habis ditimpa hukuman berat.
Lalu, masih
menarikkah cerita cerita tentang perempuan tionghoa? Apakah ada yang mencari
tahu berapa banyak anak hasil tragedi yang hidup di panti asuhan? Berapa banyak
perempuan tionghoa yang menderita sakit jiwa karena trauma kekerasan seksual,
dan berapa banyak janin yang mati karena praktek aborsi? Sejauh ini, topik
menarik tentang 1998 hanyalah mengenai persoalan turun takhtanya Presiden
Soeharto, dan kisah epik gerakan mahasiswa yang berdarah-darah ingin membunuh
kekuasaan Presiden. Kisah perempuan tionghoa tak lagi mendapat sorotan.
Hyperlink itu tak lagi berfungsi. Kini, semua orang kompak mengubur kenangan
memalukan bangsa ini. Dan entah sampai kapan, Saya ragu bahwa tragedi kekejaman
itu benar-benar nyata. Membelenggu kehormatan bangsa ini.