mimpi-mimpiku

Rabu, 05 Maret 2014

Sebuah Feature; Perempuan Tionghoa di Bulan Mei 1998


 
Tak ada kesan istimewa setiap kali Saya melewati jalan Daan Mogot. Bergerak lurus ke arah Grogol sesuai relativitas kecepatan bus Trans Jakarta tujuan Harmoni. Berada di sayap kanan Universitas Trisakti. Begitu hampir setiap hari, selama masa perkuliahan di Universitas Negeri Jakarta.
Semula tampak biasa, tak berkesan, dan berjalan pada umumnya. Sampai akhirnya, halte Grogol disisipkan nama belakang menjadi Grogol: 12 Mei Reformasi. Halte itu menjadi gerbang kenangan, seperti sebuah hyperlink untuk membuka lembaran hitam tragedi kerusuhan Mei 1998. Sebuah tragedi yang mungkin takkan pernah bisa dilupakan oleh sebagian besar etnis tionghoa. Pasalnya, tragedi tersebut merupakan hantaman keras bagi mereka. Sebuah upaya genosida terhadap bangsa Cina. Mereka ibarat bangsa Yahudi di masa pemerintahan Nazi Jerman. Mereka tidak hanya dianiaya, dibunuh, dirampas harta bendanya, atau juga dijarah toko mereka. Akan tetapi juga, ratusan perempuan tionghoa diperkosa pemuda pribumi.
Entah, perasaan apa yang mendera wanita tionghoa setiap kali mendengar istilah Mei 1998. Bagaimana dengan mereka yang menjadi korban pemerkosaan dan anak-anak blaster-an Cina-Pribumi yang lahir dari tragedi. Betapa teriris hati mereka setiap kali waktu berputar menuju angka pertengahan Mei. Trauma mereka adalah trauma yang berkala.

Pada saat itu, Saya masih berusia 4 tahun. Tak ada yang terekam jelas di memori otak, kecuali jajanan high class dan minuman kaleng hasil jarahan keluarga Saya di supermarket milik etnis Cina. Saya tak pernah tahu bahwa detik itu begitu mencekam, yang jelas, saya merasa beruntung, karena baru berusia 4 tahun. Saya tidak tumbuh menjadi pemuda yang membuat kerusuhan dengan membakar toko-toko milik Cina, dan mencegat mobil-mobil mewah yang melesat di hadapannya. Jika pengendara mobil orang pribumi, tak jadi masalah. Namun, jika yang empunya mobil perempuan tionghoa, maka, habis sudah keperawanannya melayang, dengan cara-cara yang anomali. Bengis, melibas batas kemanusiaan.
Sampai detik ini, Saya tidak pernah tahu bagaimana rasanya jadi etnis tionghoa kala itu. Bagaimana mereka bergerak resah ke Bandara Soekarno-Hatta demi ke luar dari ranah kerusuhan. Bagaimana mereka berharap wajah mereka berubah menyerupai pribumi, agar lepas dari cengkraman pemuda pro reformasi yang anarkis.
Pertanyaan yang menggelepar di pikiran Saya mulai bercabang. Mengapa mesti etnis tionghoa? Mengapa krisis finansial bisa merebak begitu ganas, sehingga mencabik-cabik sisi kemanusiaan bangsa ini. Mengapa aparat keamanan dengan tampang innocent­-nya tega menarik pelatuk untuk membidik jantung 4 mahasiswa Trisakti? Mengapa para pemuda pribumi sampai hati memperkosa perempuan tionghoa dan mencampakkannya di pinggir jalan, atau bahkan melemparkan ke dalam kubangan api? Mengapa orang-orang kompak melakukan kudeta dengan cara yang sistematis? Mengapa nama Prabowo Subianto dikait-kaitkan sebagai dalang kerusuhan? Mengapa sampai detik ini rasa sakit hati etnis tionghoa tidak bisa dituangkan ke dalam hukum? Persoalan ini menjadi; seberapa pandai mereka membuang kenangan tragedi 1998.
Di tahun yang sama, sebulan setelah tragedi, Seno Gumira Ajidarma membuat sebuah cerpen yang mewakili nasib perempuan tionghoa di masa pra reformasi. Cerpen itu berjudul Clara. Bercerita tentang perempuan tionghoa yang menjadi korban pemerkosaan. Cerpen itu dengan tegas memaparkan kebusukan pemuda pribumi yang memperkosa Clara, dua adiknya, bahkan ibunya juga ikut diperkosa. Lalu cerpen itu berlanjut dengan judul Jakarta 2039. Berkisah tentang masa depan anak hasil tragedi, ibunya, dan pemerkosa ibunya. Membentuk semacam trilogi tokoh tragedi 1998. Seno memuat harapan tersirat akan nasib pelaku pemerkosaan. Harapannya; pada tahun 2039 (40 tahun 9 bulan setelah tragedi 1998), hokum akan berdiri tegak. Mematahkan ketidakadilan, dan mereka, para pria don juan yang tidak berperikemanusiaan akan habis ditimpa hukuman berat.
Lalu, masih menarikkah cerita cerita tentang perempuan tionghoa? Apakah ada yang mencari tahu berapa banyak anak hasil tragedi yang hidup di panti asuhan? Berapa banyak perempuan tionghoa yang menderita sakit jiwa karena trauma kekerasan seksual, dan berapa banyak janin yang mati karena praktek aborsi? Sejauh ini, topik menarik tentang 1998 hanyalah mengenai persoalan turun takhtanya Presiden Soeharto, dan kisah epik gerakan mahasiswa yang berdarah-darah ingin membunuh kekuasaan Presiden. Kisah perempuan tionghoa tak lagi mendapat sorotan. Hyperlink itu tak lagi berfungsi. Kini, semua orang kompak mengubur kenangan memalukan bangsa ini. Dan entah sampai kapan, Saya ragu bahwa tragedi kekejaman itu benar-benar nyata. Membelenggu kehormatan bangsa ini.